Translate

Minggu, 07 April 2013

Buah Kelengkeng Yang Tidak Sempat Matang

Oleh: Muhaimin Iqbal
SAYA ada menanam empat pohon kelengkeng di halaman Bazaar Madinah, setiap musim buah – layaknya pohon buah lainnya – pohon kelengkeng tersebut juga selalu berbuah. Tetapi sampai sekarang saya belum sempat sekalipun merasakan buahnya, mungkin juga orang lain. Pohon kelengkeng yang ditanam di tempat umum demikian, buahnya tidak sempat matang – karena selalu keburu dipetik orang sebelum dia matang. Ini menjelaskan fenomena ekonomi yang disebut tragedy of the commons.

Sesuatu yang dilihat orang mudah – seperti tinggal memetik buah kelengkeng dari pohon yang pendek di tempat umum di halaman Bazaar Madinah tersebut di atas – maka orang akan berebut mengambilnya pada kesempatan pertama, sebelum diambil orang lain. Dari sekian banyak orang yang ingin memetiknya pada kesempatan pertama, tentu ada yang benar-benar melakukannya.

Walhasil ketika buah itu benar-benar dipetik, dia dipetik belum pada waktunya masak. Yang berkesempatan memetik, dia tidak bisa menikmatinya karena dia memetik buah yang belum matang. Yang lain tentu juga tidak bisa menikmatinya, karena buah yang ditunggu matangnya, sudah dipetik orang lain  sebelum waktunya.

Inilah salah satu bentuk tragedy of the commons itu, ketika orang berlomba untuk mengambil yang paling menguntungkan bagi dirinya sendiri – akhirnya malah tidak ada yang diuntungkan.

Fenomena ini menjelaskan mengapa orang-orang yang ingin (memulai) usaha atau berinvestasi secara mudah, kecil sekali kemungkinannya untuk bisa memperoleh hasil seperti yang dia harapkan. Mengapa? Karena bila ada usaha atau investasi yang mudah – maka besar kemungkinan usaha atau investasi ini juga dilihat oleh sekian banyak orang lain. Pasar dari usaha atau investasi tersebut dengan cepat akan crowded,  dan akhirnya tidak ada lagi yang bisa menikmati hasilnya.

Lantas bagaimana agar usaha atau investasi kita tidak terjebak pada tragedy of the commons? Sama dengan kasus buah  kelengkeng tersebut!

Petani kelengkeng yang sesungguhnya tentu tidak akan menanam pohon kelengkeng ditempat umum seperti yang saya lakukan di halaman Bazaar Madinah. Petani akan menanamnya di lahan atau halaman rumahnya yang terjaga, tidak ada seorangpun yang boleh memetik buah kelengkengnya selain si petani sendiri atau orang yang disuruhnya.

Karena tidak ada yang berusaha memetiknya pada kesemptan pertama sebelum dipetik orang lain, pak tani bisa menunggu sampai buah kelengkeng tua dan matang di pohon.

Untuk sampai bisa menikmati hasilnya ini pak tani mulai menanam kelengkeng dari bibit-bibit yang kecil, disirami dan dipupuknya bertahun-tahun dan ketika mulai berbuah – dijaganya dari tangan-tangan orang yang tidak berhak, sehingga sampai suatau saat dia sendirilah yang berhak memetik hasil dari jerih payahnya itu.

Membangun usaha adalah seperti pak tani yang menanam kelengkeng tersebut, menanam ditempat yang subur, menyirami dan memupuknya bertahun-tahun dan menjaganya sampai buah bener-bener masak untuk dipetik. Membangun usaha bukan seperti memetik pohon kelengkeng yang sudah ditanam orang lain di tempat umum, karena ketika dipetik buahnya besar kemungkinan dia belum matang – karena akan selalu ada yang berusaha memetik buah tersebut sebelum Anda memetiknya.

Seorang pengusaha tua berjalan bareng sama anaknya, ketika anaknya melihat uang di jalan – si anak langsung berteriak : “Ayah, ada uang tergeletak di jalan, bolehkah saya ambil?” Ayahnya menjawab kalem: “Itu mungkin bukan uang anakku, karena kalau itu uang – maka besar kemungkinan ada orang lain yang lebih dahulu melihat dan mengambilnya.”

Kemudian si ayah memberi pelajaran ke anaknya: “Uang adalah sesuatu yang harus engkau upayakan melalui kerja! Uang bukan sesuatu yang tinggal diambil.” There is no easy money…*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar