Translate

Senin, 08 April 2013

Etos Keilmuan para Ulama

Oleh Imam Nawawi *

Sebuah peradaban tidak akan pernah tegak tanpa diawali dengan etos keilmuan yang berlandaskan sumber kebenaran absolut (wahyu). Sebagaimana telah tercipta pada masa 10 tahun pertama umat Islam di Madinah bersama Rasulullah. Sebelum di Madinah, Rasulullah bersama para Sahabatnya bahu-membahu membangun kesadaran ilmu di bawah tekanan dan intimidasi kaum Kafir Quraisy di rumah Sahabat Arqam bin Arqam.

Di rumah itulah, etos keilmuan terbangun atas dasar pemahaman yang murni terhadap al-Qur`an. Kandungan Surah Al-Alaq menjadi lokomotif keilmuan umat Islam kala itu, sehingga ancaman maut yang ditebar kaum Quraisy sama sekali tidak mampu menghadang derap langkah umat Islam untuk menuntut ilmu bersama Rasulullah.

Sahabat-sahabat Nabi berusaha sekuat tenaga memahami al-Qur`an dengan penuh ketekunan. Mereka tidak menambah pelajaran al-Qur`an-nya melainkan telah paham dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, setiap turun ayat bisa dipastikan semua Sahabat memahami dan pasti mengamalkannya.

Etos Keilmuan

Begitu pula yang dilakukan oleh ulama-ulama sesudah masa Sahabat. Memang tidak ada yang mengancam apalagi membunuh para penuntut ilmu, namun bukan berarti tidak ada hambatan dan rintangan. Tetapi semua itu tidak menjadikan para ulama lesu, lelah, dan lunglai dalam memburu dan mengajarkan ilmu.

Kokohnya iman menjadi faktor utama lahirnya etos keilmuan umat Islam. Maka zaman yang serba kekurangan, tak menghalangi para ulama saat itu untuk berkontribusi besar bagi kehidupan dan peradaban hingga berabad-abad lamanya. Sebut saja Ibn Sina yang tidak pernah berhenti menulis. Teori kedokterannya hingga kini masih dikaji di berbagai universitas di seluruh dunia.

Semua itu adalah bentuk paling nyata dari mujahadah para ulama untuk menuntut ilmu dan mengajarkannya. Imam Bukhari harus berjalan kaki selama 16 tahun untuk bisa mengumpulkan Hadits yang kesahihannya tidak bisa diragukan.

Ibnul Mubarak juga tak pernah jemu mengulang-ulang hafalan satu Haditsnya dari malam hingga fajar. Padahal beliau adalah seorang ulama. Imam Syafi’i tak pernah berhenti membaca sebuah kitab hanya dalam satu kali baca. Beliau selalu membaca satu kitab sebanyak 40 puluh kali.

Imam Syafi’i adalah ulama yang benar-benar merasakan bagaimana payahnya menuntut ilmu. Hidup yatim menjadikannya harus hidup prihatin bersama sang ibu. Namun demikian, situasi sulit tak berpengaruh sedikit pun terhadap niatnya untuk menuntut ilmu.

Tidak punya buku dan pena, Imam Syafi’i menggunakan tulang unta dan kulit binatang ternak untuk mencatat semua ilmu yang diperolehnya dari majelis-majelis ilmu. Ketekunannya sungguh sangat luar biasa. Pada usia tujuh tahun ia telah menghafal kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik. Kemudian pada usia 9 tahun, ia sempurna menghafal kitab suci al-Qur`an. Demi ilmu, sepanjang waktu, seumur hidupnya Imam Syafi’i tak pernah makan sampai kenyang.

Ketekunan dan kesungguhan ulama-ulama terdahulu terhadap ilmu sungguh sangat mengagumkan. Imam Syafi’i menghatamkan al-Qur`an sebanyak 60 kali setiap Ramadhan. Imam Muzanni mengulang-ulang kitab Risalah Asy-Syafi’i hingga lima ratus kali. Kemudian Alim Andalusi mengulang-ulang kitab Shahih Bukhari sebanyak tujuh ratus kali. Inilah tradisi keilmuan yang rasanya sulit diikuti generasi sekarang.

Abu Darda pernah berkata, “Engkau tidak akan menjadi seorang alim hingga engkau belajar, dan engkau tidak disebut mengerti ilmu sampai engkau mengamalkannya. Ilmu tidak bisa diperoleh dengan cara memanja-manjakan diri. Bahkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada mereka yang gemar melakukan dosa.”

Ilmu, Iman, Amal
Dalam Islam, ilmu memang bukan sekadar kognitif, tetapi juga adab. Dalam bahasa Wahab bin Munabbih, ilmu adalah sahabat karib seorang mukmin, kesantunan sebagai pengiringnya, kecerdasan sebagai petunjuknya, amal sebagai buahnya, sabar sebagai ketua regunya, kelembutan sebagai ayah dan saudaranya.

Ilmu dalam Islam juga tidak dimaksudkan hanya untuk keperluan duniawi, tetapi jauh lebih besar adalah keperluan duniawi dan ukhrowi secara utuh (Al-Qashash [28]: 77). Oleh karena itu, ilmu yang benar menurut Muadz bin Jabal adalah ilmu yang jika dipelajari menghasilkan takwa kepada Allah. Itulah ilmu yang proses mencarinya terhitung ibadah, menekuninya adalah tasbih, mengkajinya adalah jihad, mengajarkannya sebagai sedekah, mendermakannya sebagai taqarrub ilallah, penghibur di kala sendiri, dan kawan dalam kesepian.

Jadi, tepat jika kemudian, Hasan Al-Bashri mengatakan bahwa dalam Islam orang dikatakan berilmu apabila ia zuhud terhadap dunia, antusias terhadap akhirat, cermat terhadap agamanya, tekun beribadah kepada Rabbnya, menjaga kehormatan kaum Muslimin, menjaga kehormatan harta mereka, serta menasehati mereka.

Hujjatul Islam, Imam Ghazali adalah seorang ulama yang mampu berpikir jernih dan bervisi jauh ke depan. Pengamatannya terhadap akar masalah umat Islam membuatnya fokus menyusun kitab monumentalnya: Ihya Ulumuddin, yang dipersembahkan untuk membantu umat Islam menang melawan penjajahan tentara Salib.

Untuk sampai kepada qa, Imam Ghazali menanggalkan semua atribut keduniawiannya. Dan, untuk mengatasi masalah umat Islam, beliau tak pernah berhenti berpikir, zikir dan bertindak untuk amar ma’ruf nahi munkar. Beliau sama sekali tidak tertarik dengan jabatan, atribut dunia, apalagi melakukan hal-hal yang tidak berhubungan dengan kemenangan umat Islam. Iman mendorongnya memiliki ilmu, dan keduanya mendorongnya untuk konsisten mengamalkannya.

Demikian pula halnya dengan Imam Bukhari. Sekalipun diakui sebagai ulama Hadits tersohor namun tidak berarti beliau bergelimang dengan kekayaan dan kemuliaan berupa jabatan. Ia pernah diusir oleh seorang sultan yang merasa dihina Imam Bukhari karena menolak tawarannya mendidik anaknya di istana.

Imam Bukhari dengan tegas mengatakan, “Jika anak sultan ingin belajar ilmu agama, maka hadirilah majelis ilmu dimana aku biasa menyampaikannya, yaitu masjid. Sungguh sekali-kali aku tidak akan pernah duduk di depan istana, walau untuk menyebarkan ilmu, karena Rasulullah tidak mengajarkan ilmu melainkan di masjid.”

Pertanyaannya kemudian, mengapa ulama terdahulu begitu getol dalam menempa diri dan umat? Mungkin puisi Muhammad Iqbal bisa menjelaskannya. Pemikir Pakistan itu menulis, “Bangkitlah, ciptakan dunia baru. Bungkus dirimu dalam api, jadilah seorang Ibrahim. Jangan mau tunduk kepada apa pun kecuali Kebenaran. Ia akan menjadikanmu seekor singa jantan”.

Barangkali inilah pemahaman dan penafsiran Muhammad Iqbal terhadap firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2] : 214 dan Al-Maidah [3] : 142, yang sangat patut kita renungkan sekarang, dimana umat Islam tidak boleh meninggalkan perangai jihad dan sabar, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah, sahabat, dan para ulama terdahulu, utamanya dalam upaya membangun kembali Peradaban Islam. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar