Translate

Senin, 08 April 2013

Jadilah Pemberani

Oleh Ida S. Widayanti*

Seorang anak terlahir dari ibu yang buta huruf. Pada saat anak itu berumur dua tahun sang ayah menceraikan ibunya, lalu pergi entah kemana meninggalkan si anak dengan delapan saudara lainnya. Sebelumnya, ibunya sudah menikah dua kali, jadi itu adalah perceraian yang ketiga kalinya.

Ada hal yang kerap membuat anak ini sedih. Pada saat pembagian buku rapor di sekolah, semua temannya diantar oleh orangtuanya. Ada yang diantar oleh bapaknya, sebagian lagi diantar ibunya. Sedangkan ia tidak diantar siapapun. Bahkan saat kelas 1 SMP dialah yang mengambil rapor adiknya.

Si anak berpisah dengan ayahnya saat berumur dua tahun, ia lupa sosok sang ayah. Kepada ibunya ia sering bertanya seperti apa wajah ayahnya, dan menanyakan kemana ayahnya pergi. Ingin sekali ia bertemu dan mencarinya.

Namun apa jawaban ibunya. “Nak, sudahlah tak usah sibuk cari bapakmu, kamu belajar saja yang rajin agar pinter. Kalau kamu jadi orang, nanti bapakmu yang akan cari kamu!” Kata-kata tersebut rupanya sangat membekas.

Kata-kata ibunya itu menjadi penyemangat. Si anak kemudian memiliki cita-cita yang sangat tinggi, ingin menjadi seorang astronot. Keadaan dirinya dan keluarganya tak membuatnya rendah diri. Ibunya yang tak pernah sekolah itu selalu menghembuskan semangat. “Nak, jadilah orang pemberani. Orang yang berani bukan yang turun ke jalan, demo, atau di penjara, tapi orang yang siap menerima kenyataan,” ujar sang ibu.

Waktu terus berputar. Tak sekadar bercita-cita kosong, anak itu berusaha keras mewujudkannya. Ia belajar dengan tekun, hingga diterima di universitas favorit di negeri ini. Ia pun berusaha keras agar bisa lulus dengan cepat, karena saat itu ibunya sedang sakit keras. Ia ingin ibunya melihat saat ia diwisuda. Jenjang S1 hanya ditempuh dalam waktu 3,5 tahun. Namun sayang, saat ia lulus sarjana, ibunya telah meninggal dunia.

Namun, ia tetap ingin mewujudkan harapan ibunya supaya bisa menjadi orang yang sukses. Ia mendapat beasiswa S2 dan S3-nya di Perancis. Kedua jenjang itu juga ia selesaikan dalam waktu cepat. Ia mendapat gelar profesor di usia 33 tahun dan menjadi salah seorang dari tujuh profesor termuda di dunia.

Siapakah tokoh tersebut? Dialah Prof Dr Firmanzah. Ia menjadi Dekan di FE UI di usia 32 tahun dan kini menjadi Staf Khusus Presiden RI Bidang Ekonomi.

Kisah tersebut memberi pembelajaran berharga, bahwa kesuksesan sesungguhnya hak semua anak. Tak peduli apa pun keadaannya, semua berhak untuk mencapai puncak prestasi. Namun, ada yang berani menerima keadaan lalu berusaha untuk maju, tapi ada juga yang menyalahkan keadaan sebagai penghalang kesuksesannya.

Di sinilah peran ayah atau ibu untuk memberikan motivasi dan inspirasi agar anak tidak terbelenggu oleh keadaan, namun berani menatap ke depan dan berani bercita-cita.

Dari tokoh di atas kita belajar bahwa meski ia layak disebut anak broken home, namun ia memilih untuk tidak menyalahkan keadaan. “Apabila kita sudah mampu menerima kenyataan barulah kita akan mampu untuk maju ke depan,” ujarnya.

Hingga kini, profesor yang pengagum Rasulullah SAW ini belum pernah bertemu dengan sang ayah. Menurutnya, kerinduan akan seorang ayah tak tergantikan. Tak ada kemarahan dalam hatinya. Ia ingin terus berbuat, moto hidupnya, “Sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Jabatan ini hanya bermanfaat jika berfaedah bagi orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar