Translate

Rabu, 08 Mei 2013

FILOSOFIS PENDIDIKAN


1.  PENGERTIAN FILSAFAT
 
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.  
Ciri-ciri berfikir filosfi :


1.    Berfikir dengan menggunakan disiplin berpikir yang tinggi.
2.    Berfikir secara sistematis.
3.    Menyusun suatu skema konsepsi.
4.    Menyeluruh.
Empat persoalan yang ingin dipecahkan oleh filsafat ialah :
1.    Apakah sebenarnya hakikat hidup itu? Pertanyaan ini dipelajari oleh Metafisika
2.    Apakah yang dapat saya ketahui? Permasalahan ini dikupas oleh Epistemologi.
3.    Apakah manusia itu? Masalah ini dibahas olen Atropologi Filsafat.
Beberapa ajaran filsafat yang  telah mengisi dan tersimpan dalam khasanah ilmu adalah:
1.    Materialisme, yang berpendapat bahwa kenyatan yang sebenarnya adalah alam semesta badaniah. Aliran ini tidak mengakui adanya kenyataan spiritual. Aliran materialisme memiliki dua variasi yaitu materialisme dialektik dan materialisme humanistis.
2.    Idealisme yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang sifatnya rohani atau intelegesi. Variasi aliran ini adalah idealisme subjektif dan idealisme objektif.
3.    Realisme. Aliran ini berpendapat bahwa dunia batin/rohani dan dunia materi murupakan hakitat yang asli dan abadi.
4.    Pragmatisme merupakan aliran paham dalam filsafat yang tidak bersikap mutlak (absolut) tidak doktriner tetapi relatif tergantung kepada kemampuan minusia.
Manfaat filsafat dalam kehidupan adalah :
1.    Sebagai dasar dalam bertindak.
2.    Sebagai dasar dalam mengambil keputusan.
3.    Untuk mengurangi salah paham dan konflik.
4.    Untuk bersiap siaga menghadapi situasi dunia yang selalu berubah.

2.  FILSAFAT PENDIDIKAN
 
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.
Beberapa aliran filsafat pendidikan;
1.    Filsafat pendidikan progresivisme. yang didukung oleh filsafat pragmatisme.
2.    Filsafat pendidikan esensialisme. yang didukung oleh idealisme dan realisme; dan
3.    Filsafat pendidikan perenialisme yang didukung oleh idealisme.
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kehudayaan. Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks.  Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
3.  ESENSIALISME DAN PERENIALISME
  
Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada.
Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat hahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual. Realisme berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung pada apa dan bagaimana keadaannya, apabila dihayati oleh subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut.
Menurut idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui atau menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan orang itu mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tak senang mengenai nilai tersehut. Menunut realisme, pengetahuan terbentuk berkat bersatunya stimulus dan tanggapan tententu menjadi satu kesatuan. Sedangkan menurut idealisme, pengetahuan timbul karena adanya hubungan antara dunia kecil dengan dunia besar. Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada nilai- nilai yang telah teruji keteguhan-ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa.
II. PSIKOLOGIS PENDIDIKAN   
1.  PENGERTIAN HAKIKAT MANUSIA
 
Hakekat manusia adalah sebagai berikut :
a.    Makhluk yang memiliki tenga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
b.    Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial.
c.    Yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya.
d.    Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai (tuntas) selama hidupnya.
e.    Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati
f.    Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas
g.    Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan jahat.
h.    Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial.

PSIKOLOGI DAN HUKUM PERKEMBANGAN ANAK (MANUSIA)
Psikologi adalah suatu ilmu yang menyelidiki serta mempelajari sikap, tingkah laku atau aktivitas-aktivitas di mana sikap, tingkah laku, atau aktivitas-aktivitas itu sebagai manifestasi hidup kejiwaan. Objek Psikologi adalah Jiwa.
 
Bidang garapan Psikologi :
a.     Psikologi Teoritis
    1).    Psikologi Umum
    2).    Psikologi Khusus
    o    Psikologi Perkembangan
o    Psikologi Kepribadian dan Typologi
o    Psikologi Sosial
o    Psikologi Pendidikan
o    Psikologi Abnormal
b.     Psikologi Praktis
    1).    Psikodiagnostik
    2).    Psikologi Klinis dan Bimbingan Psikologis
    3).    Psikologi Perusahaan
    4).    Psikologi Pendidikan

Perkembangan merupakan suatu proses sosialisasi dalam bentuk irnitasi yang berlangsung dengan adaptasi (penyesuaian) dan seleksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia adalah keturunan, lingkungan, dan manusia itu sendiri.
Fase-fase perkembangan menurut beberapa ahli psikologi :

a.    Menurut Aristoteles
    1).    0,0-7,0 : masa anak kecil
    2).    7,0-14,0 : masa anak
    3).    14,0-21,0 : masa remaja
    
b.    Menurut Mantessori
    1).    0,0-7,0 : periode penemuan dan pengaturan dunia luar.
    2).    7,0-12,0 : periode rencana abstrak
    3).    12,0-18,0 : periode penemuan diri dan kepekaan sosial
    4).    18,0- : periode pendidikan tinggi
    
c.    Menurut Comenius
    1).    0,0-6,0 : scola matema
    2).    6,0-12,0 : scolavernatulata
    3).    12,0-18,0 : scola latina
    4).    18,0-24,0 : acodemia
    
d.    Menurut J.J Rousseau
    1)    0,0-2,0 : masa asuhan
    2).    2,0-12,0 : masa pendidikan jasmani dan latihan panca indera
    3).    12,0-15,0 : masa pendidikan akal.
    4).    15,0-20,0 : masa pembentukan watak dan pendidikan agama
    
e.    Menurut Oswald Kroch
    1).    masa anak-anak
    2).    masa bersekolah
    3).    masa kematanga.
    
f.    Menurut Elizabeth B. Hurlock
    1).    periode pre natal
    2).    masa oral
    3).    masa bayi
    4).    masa anak-anak
    5).    masa pubertas

Hukum tempo perkembangan menyatakan bahwa tiap-tiap anak memiliki tempo perkembangan yang berbeda. Anak juga memiliki masa peka, yaitu suatu masa di mana suatu organ atau unsur psikologis anak mengalami perkembangan yang sebaik-baiknya.

Bagi seorang pendidik, mengetahui perkembangan anak diperlukan dalam membimbing anak sesuai dengan perkembangannya.
3.    PERUBAHAN TINGKAH LAKU AKIBAT BELAJAR
Pengertian belajar dapat disimpulkam sebagai berikut :
a.    Dengan belajar itu belajar itu diharapkan tingkah laku seseorang akan berubah.
b.    Dengan belajar pengetahuan dan kecakapan seseorang akan bertarnbah.
c.    Perubahan tingkah laku dan penambahan pengetahuan ini di dapat lewat suatu usaha.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar adalah :
a.    Anak yang belajar meliputi faktor fisiologis dan psikologis.
b.    Faktor dari luar :
1). endogen :
a.    fisiologis (kesehatan fisik dan indra)
b.    psikologis :
- adanya rasa ingin tahu.dari siswa.
- kreatif, inovatif de akseleratif
- bermotivasi tinggi.
- adanya sifat kompetitif yang sehat
- kebutuhan akan rasa aman, penghargaan, aktualisasi diri, kasih sayang dan rasa memiliki.
 
2). eksogen :
c.    instrumental (kurikulum, program, laboratorium)
d.    lingkungan (sosial dan non sosial)
Pusat berlangsungnya pendidikan adalah :
a. Keluarga.
b. Sekolah.
c. Masyarakat.

Ciri-ciri keberhasilan pendidikan pada seseorang dapat terlihat pada :
a.    Mengerti benar akan tugasnya dengan baik dan didorong oleh rasa tanggung jawab yang kuat terhadap dirinya serta terhadap Tuhan.
b.    Mampu mengadakan hubungan sosial dengan bekerja sama dengan orang lain.
c.    Mampu menghadapi segala perubahan dunia karena salah satu ciri kehidupan ialah perubahan.
d.    Sadar akan dirinya dan harga dirinya sehingga tidak mudah memperjualbelikan dirinya dan kreatif.
e.    Peka terhadap nilai-nilai yang sifatnya rohaniah.
Pribadi manusia tidak dapat dirumuskan sebagai suatu keseluruhan tanpa sekaligus meletakkan hubungannya dengan lingkungan. Jadi kepribadian adalah suatu kesatuan psikofisik termasuk bakat, kecakapan, emosi, keyakinan, kebiasaan, menyatakan dirinya dengan khas di dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
 
Sedangkan peranan pendidik dalam pengembangan kepribadian adalah menjadi jembatan penghubung atau media untuk mengaktualisasikan potensi psikofisik individu dalam menyelesaikan diri dengan lingkungannya.

Perenialisme berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau seperti sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah teruji. Menurut. perenialisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya. Perenialisme berpandangan hahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu dinilai indah haruslah dapat dipandang baik.
Beberapa pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan:
1.    Program pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan, dan akal (Plato)
2.    Perkemhangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya ( Aristoteles)
3.    Pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata. (Thomas Aquinas)
Adapun norma fundamental pendidikan menurut  J. Maritain adalah cinta kebenaran, cinta kebaikan dan keadilan, kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksistensi serta cinta kerjasama.
4.  PENDIDIKAN NASIONAL
  
Pendidikan nasional adalah suatu sistem yang memuat teori praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat bangsa yang bersangkutan guna diabdikan kepada bangsa itu untuk merealisasikan cita-cita nasionalnya.
Pendidikan nasional Indonesrn adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan pratek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh flisafat bangsa Indonesia yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia guna memperlanar mencapai cita-cita nasional Indonesia.
Filsafat pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa "Pancasila" yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia.




III. HISTORIS PENDIDIKAN   
1.    PENDIDIKAN PADA ZAMAN PURBA/KUNO  
Pendidikan adalah usaha manusia untuk kepentingan manusia. Jadi pada saat manusia itu ada dan masih ada, pendidikan itu telah dan masih ada pula. Pada kenyataannya dapat kita telaah bahwa praktek pendidikan dari zaman ke zaman mempunyai garis persamaan. Garis persamaan atau benang merah pendidikan itu ialah :
a.    Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan.
b.    Pendidikan merupakan kegiatan yang bersifar universal.
c.    Praktek pelaksanaan pendidikan memiliki segi-segi yang umum sekaligus memiliki keunikan (ke-khasan) berkaitan dengan pandangan hidup masing-masing bangsa.
MESIR

Mesir purba telah mengenal peradaban dan kebudayaan tinggi. Ini terbukti dengan telah dikenalnya tulisan dengan huruf heiroglyph (tulisan suci), telah kenal kalender (penanggalan) dengan pembagian 12 bulan tiap tahun, telah mengenal irigasi dan sebagainya.

Tujuan pendidikan agar manusia berbuat susila sesuai dengan ajaran agama. Materi pelajaran yang diberikan ialah membaca, menulis, berhitung, bahasa dan ilmu mengukur tanah serta astronomi. Meski telah memiliki pusat-pusat pendidikan yakni di kuil-kuil (piramide) yang di dalamnya terdapat perpustakaan dan asrama bagi para guru dan murid-muridnya.

INDIA

Secara ketat/tegas India membagi masyarakat dengan kasta/tingkatan. Dalam kehidupan agama Hindu di India terkenal ada 4 kasta, yaitu; 1) kasta Brahmana, 2) kasta Ksatria, 3) kasta Waisya, 4) kasta Sudra (Syudra).

Hidup di India bukan ditentukan oleh kepercayaan kepada dewa, tetapi ditentukan oleh tingkatan atau kasta tadi. Tujuan akhir hidup adalah mencapai Nirwana. Ciri-ciri pendidikan di India adalah :
a.    Pengajaran agama di nomor satukan.
b.    Pendidikan diselenggarakan oleh kasta Brahmana.
c.    Tujuan pendidikan; mencapai kebahagian abadi (Nirwana).
Penyelenggaraan peadidikan berlangsung di rumah (keluarga) dan sekolah. Materii pelajaran yang diajarkan yaitu astronomi, matematik, pengetahuan tentang obat-obatan, hukum, kesusasteraan, sejarah.

CINA

Cina memiliki keunikan dalam hal kebudayaan dan pendidikan. Artinya dibandingkan dengan negara-negara timur lainnya. Cina memiliki sejarah tersendiri. Kebudayaan Cina adalab asli Cina tidak terbaur atau tercampur dengan kebudayaan dari luar. Ciri-ciri pendidikannya antara lain:
a.    Persoalan pendidikan tidak ada kaitannya dengan agama.
b.    Pendidikan diselenggarakan oleh keluarga dan negara.
c.    Tujuan pendidikan adalah mendidik orang berhati mulia dan menghormati sesama.
Tokoh-tokoh pendidik dan filsuf terkenal pada saat itu ia LaoTse dengan ajaran Tao =jalan Tuhan yang menjadi Taoisme sangat berpengaruh terhadap hidup dan perikehidupan Cina. Tidak kalah juga pengaruhnya Kon Fu Tse (Konfusius) dengan ajaran Li (etiket, kewajiban). Penyelenggaraan Pendidikan dilaksanakan di dalam keluarga dan sekolah, Pelajaran pokoknya adalah menulis dan mempelajari lambang lambang kata kata yang jumlahnya mencapai 50 000. Di Cina juga dikenal adanya pendidikan pegawai.

YUNANI

Yunani kuno terbagi menjadi Sparta dan Athena. Orang-orang Sparta mementingkan pembentukan jiwa patriotik yang kuat dan gagah berani. Tujuan pendidikan Sparta adalah membentuk warga negara yang siap membela negara (membentuk tentara yang gagah berani)
 .
Ciri-ciri pendidikannya adalah :
a.    Pendikan diperuntukkan hanya bagi warga negara yang merdeka (hukan budak).
b.    Anak-anak cacat atau lemah dimusnahkan.
c.    Lebih mengutamakan pendidikan jasmani.
d.    Anak-anak yang telah mencapai umur 7 tabun diasramakan.
Sedangkan Athena lebih mernentlngkan kesehatan jasmani dan rohani serta hidup harmonis.

Ciri-ciri pendidikan di Athena adalah:
a.    Pendidikan diselcnggaratcan oleb keluarga dan sekolah.
b.    Sekolab diperuntukkan bagi siapa saja (behas).
Materi atau hahan pengajaran utama bangsa Athena adalah gymnastis (gymnastik) dan musik. Yang pertama bagi pendidikan jasmani dan yang lain bagi pendidikan rohani.

ROMAWI

Pada mulanya tujuan pendidikan Rornawi adalab terbentuknya manusia-manusia yang siap berkorban membela tanah air. Inti pelajaran adalah mempersiapkan warga negara menjadi tentara.Penyelenggara pendidikan adalah di rumah-rumah keluarga bangsawan. Materi pelajarannya meliputi mebaca, menulis, dan berhitung. Pada perkembangan selanjutnya Romawi terbawa oleh arus aliran Epicurisme dan aliran Stoa. Aliran Epicurisme berpendapat hahwa kebahagian akan terwujud manakala manusia menyatu dengan alam.  Aliran Stoa berpendapat bahwa tujuan hidup adalah mencapai kebajikan. Kebajikan itu akan terwujud apabila manusia dapat menyesuai kan din dengan alamnya, karena manusia adalah bagian dari alam. Sedangkan alam itu sendiri dikuasai oleb budi Ilahi.
    
Dengan munculnya dua faham tersebut cjta-cita atu tujuanRomawi beruhab dari rnembentuk manusia sehat kuat untuk membela tanah air (kebajikan kepahlawanan) menjadi membentuk manusia yang bijaksana dan berakal budi (kebajikan kemanusian).

PENDIDIKAN PADA ABAD PERTENGAHAN
 
Ciri-ciri utama dari pendidikan pada abad pertengahan adalah :
a.    Seluruh pusat pendidikan bersatu untuk mewujudkan cita-cita yang telah ditetapkan oleb gerreja Roma Katolik.
b.    Gereja berusaha untuk memperbaiki kehidupan rakyat.
c.    Mendirikan sekolah-sekolah.
RENAESANCE

Masa kelahiran (Rehaessance) ditandai dengan adanya usaha untuk mengkaji, menafsirkan, merencanakan dan apabila perlu mengecam berlakunya kebudayaan klasik (kuno).

Ciri-ciri utama gerakan ini adalah :
a.    Terbebasnya manusia dari ikatan abad tengah.
b.    Mencari alternatif pedoman yang dapat membebaskan individu dari ikatanin ikatan tadi.
Pada masa/jaman Renaessance muncul aliran :
a.    Humanisme: berciri optimistis, tak percaya pada kekuatan di luar manusia termasuk dewa atau Tuhan.
b.    Reformasi: berciri menetang gereja Katolik, ingin kembali ke ajaran Nasrani dengan Injil sehagai panutannya.
c.    Kontra Reformasi: ingin memperbaiki. keadaan (setelah adanya Reforrnasi) dan menjalankan disiplin tinggi terhadap peraturan gereja.
Keadaan Pendidikan :
Tujuan pendidikan Humanisme: membentuk manusla yang berani, bebas dan gembira.
Tujuan pendidikan Reformasi: membentuk manusia yang bebas dari segala macam ikatan.
Tujuan pendidikan Kontra Reformasi:  mempertfnggi disiplin menjalankan agama Katolik.
2.    GARIS BESAR PENDIDIKAN PADA ABAD KE-17 SAMPAI ABAD KE-20 (DI BELAHAN DUNIA BARAT  ATAU EROPA)
Permulaan abad  ke-17 atau masa-masa akhir abad ke 16 muncul alira baru dalam dunia pendidikan. Aliran baru itu disebut Realisme. Ciri-ciri utama aliran ini yaitu :
a.    Tidak sejalan dengan pemikiran Humanisme dan aliran yang mendahuluinya. Aliran yang lalu (kuno) bersifat verbalistik dan berorientasi kepada alam nyata.
b.    Realisme (real= nyata, konkret) tertarik pada dunia nyata kepada alam dan benda benda.
Realisme berpendapat bahwa lewat pendidikan orang harus mernperoleh pengetahuan dan pengertian yang mendalam. Hal ini dapat dicapai dengan menjelajahi permasalahan lewat dunia nyata. Untuk mencapai pengetahuan yang benar cara berfikir duktif harus dinggalkan dan diganti cara berpikir induktif dan mengutamakan pengamatan serta pengalaman.

Tokoh-tokoh pendidikan penting dan berjasa dalam hidang pendidikan abad ke-17 antara lain:
a.    Francis Bacon, ia berkeyakinan hahwa pendidikan masa lalu (klasik) tidak bermanfaat hagi umat manusia lagi. Apabila manusia ingin sarnpai pada kebenaran harus meninggalkan cara berpikir deduktif dan beralih ke cara berpikir yang induktif. Dengan cara berpikir yang analitik orang akan dapat membuka rahasia alam dan dengan terbukanya alam itu kita sebagai bagian dari alam dapat menentukan sikap dan mengatur strategi hidup. Artinya, dengan terbukanya alam kita rnanusia dapat menyesuaikan atau memanfaatkan alam dari hidup dan kehidupan manusia.
b.    Johann Amos Comenuis. Ia berpendapat bahwa pendidikan harus diorientasikan ke dunia sana (baka), keakhirat. Ia menekankan pendidikan budi pekerti dan kearifan. Asas hukum didaktik yang ía kemukakan adalah : 1) hukurn kepastian, 2) hukum urutan 3) hukum kelancaran dan kesempatan belajar.
c.    c. Jean Baptiste La Salle, ia sependapat dengan Comenius, pendidikan harus tertuju kepada hal-hal yang bersifat kebakaan (keakhiratan). Di dalam menyiasati pendidikan ia menggunakan alat pendidikan yang terkenal yakni hukuman dan ganjaran. Ia menekankan pengajaran kelompok.
Abad 18 sering disebut abad pencerahan (aufklarung). Segala usaha disemua semua lapangan kehidupan memerluken penataan kembali. Perlu ditata kembali karena abad (masa) yang lalu adalah masa gelap yang tidak memberikan harapan hidup yang Iebih baik. Oleh karena itu perlu pencerahan. Hal ini dimungkinkan oleh adanya pemikiran yang Iebih rasional yang ingin terbebas dari Iingkungan tradisi dan adat istiadat. Bagi kaurn nasionalis telah kehilangan hak hidup (jiwa).
 
PERBEDAAN MASA KEGELAPAN DAN MASA PENCERAHAN
ABAD KEGELAPAN    ABAD PENCERAHAN
a.    Manusia percaya pada Tuhan dengan segala ajarannya.    manusia percaya pada kemauan akal budinya. Manusia meyakini bahwa yang dapat membahagiakan adalah manusia itu sendiri, bukan kasih sayang Tuhan.
b.    Manusia terikat oleh aturan dan ketentua gereja.    Manusia ingin bebas dari semua ikatan yang membelenggunya, baik ikatan gereja maupun negara.
c.    Manusia dibentuk untuk melayani gereja, pendidikan diselenggarakan oleh gereja dan mengabdi gereja.    Manusia ingin adanya kebebasan pendidikan tanpa campur tangan gereja dan negara.

Tokoh yang menonjol pada abad ke-18 adalah :
a.    I. J. Rousesau berpendapat bahhwa pada dasar (asal)-nya rnunusia baik, menjadi jelek (jahat) karena peng lingkungan. Dasar pendidikan menurut Rousseau adalah pembawaan dan tujuan pendidikan ialah membentuk manusia yang bebas merdeka. Sifat pendidikan adalah individualistis dan individu (anak) itu harus dijauhkan dari pengaruh masyarakat dan bahkan dijauhkan dari orang tuanya. Hasil pemikirannya dituangkan dalam buku Le Contract Social berisi tentang ilmu kenegaraan dan Emile yang berisi bagaimana mendidik anak sampai dewasa yang baik dan benar.
 
b.    John Locke (1632-1704), ia seorang tabib yang ahli filsafat dan ahli ilmu jiwa J.I. Locke berpendapat bahwa jiwa itu waktu dilahirkan kosong dan pasif. Jiwa itu pada saat lahir sama dengan tabula rasa (meja lilin) atau a shett of paiper (sehelai kertas) putih bersih. J. I Locke seorang empirist, ia menyatakan bahwa empirist (pengalaman) adalah sumber pengetahuan. Tentang masalah pendidikan Locke berpendapat bahwa pendidikan itu berkuasa bahkan maha kuasa. Ia tidak percaya adanya pembawaan (bakat). Tujuan pendidikan menurut dia adalah membetuk seseorang kasatria (gentleman) yang saleh dan berguna bagi hidup bersama dalam masyarakat. Sebagai seorang tabib (dokter) ia menekankan pentingnya pendidikan jasmani. Locke juga adalah seorang deist (De = Deus = Tuhan). Tetapi ia tidak mau menerima ajaran agama yang dogmatis (kaku, beku, lugu). Baginya agama adalah akal budi. Oleh karenat itu ia memperhatikan pendidikan kesusilaan. Manusia harus mampu munguasai diri sendiri dan memiliki hargadiri. Anak harus patuh tanpa ganjaran ataupun hukuman.
Abad 19 dunia mengalami percepatan (akselerasi) di segala lapangan hidup karena dilhami revolusi Perancis dan revolusi industri. Dengan meluasnya cita-cita pencerahan yang mengumandangk semboyan manusia dilahirkan bebas dan memiliki derajat yang sama, rnereka (kasta ketiga, di luar kaum agama dan bangsawan) menuntut egality fraternity dan liberty. Mereka menuntut penyelenggaraan pendidikan jangan hanya di peruntukkan bagi bangsawan dan kaum agamis saja. Orang mulai menyadari bahwa sekolah sebagai suatu lembaga penting untuk mencapai kemajuan dalam segala lapangan hidup. Kemajuan cara berpikir melalui jasa ilmu dan pengetahuan membawa perkembangan di bidang industri. Mekanisme di bidang produksi mengganti tangan-tangan manusia. Jadi di bidang industri pun mengalami lompatan percepatan kemajuan. Jadi sangat masuk akallah apabila di budang pendidikan dan pengajaran pada abad ke-19 itu mengalami perkembangan pula. Perkembangan itu antara lain adalah pendidikan per kepala harus diganti dengan sistem klasikal.

Pendapat Pentalozzi J.H. Pestalozzi sangat mementingkan pendidikan keluarga.  Keluarga menurut Pestalozzi merupakan kunci keberhasilan pendidikan. Inti pendidikan adalah pendidikan kesusilaan dan pendidika keagaman. Dasar pendidikan menurut dia adalah kodrat anak dan tujuan pendidikan mengembangkan segala daya kemampuan anak untuk mencapai kemanusiaan sejati. Adalah menjadi tugas pendidik agar anak dapat niengentaskan dirinya sendiri (dapat hidup mandiri). Sebagai alat pelajaran metode yang tepat menurut Pentalozzi adalah metode peragaan.

Friedrich Frobel (1782-1852), sangat mencintai anak dengan dunia anak-anaknya. Dia berpendapat bahwa sumber dari segala sumber segala sesuatu adalah Tuhan. Tiap manusia mempunyai dorongan. Tugas pendidik adalah memperkembangkan dorongan itu secermat-cermatnya agar dengan demikian manusia memiliki budi pekerti dan dapat menciptakan kebudayaan serta memelihara dan memajukan kebudayaan itu. Pendidikan yang benar adalah pendidikan yang memperhatikan persesuaian antara kebutuhan dengan alam anak-anak. Perinsip pendidikan Frobel adalah anak harus dibuat aktif, aktif bermain dan aktif bekerja serta aktif berlatih. Perinsip didaktiknya adalah pengajaran harus dimulai dari yang sederhana, yang gampang meningkat kepada hal-hal yang komplek, yang sulit.

Pokok-pokok pikiran pendidikan abad ke-20 :
a.    Pendidikan/pengajaran lama yang pasif diganti dengan pendidikan yang membuat anak aktif.
b.    Pendidikan lama bersifat teacher centred, menurut pikiran baru harus pupil centerd. Anak sebagai subyek didik.
c.    Pendidikan harus diindividualisasikan.
d.    Pendidikan bertujuan membentuk manusia yang memiliki integritas kepribadian timggi dan bertanggung jawab.
e.    Pendidikan harus mampu mempersiapkan anak masuk kedalam dunia kerja, dalam masyarakat.
Tokoh-tokoh penting yang berjasa di bidang pendidikan :
a.    Montessori : Asas pendidikan yang dikehendaki Montessori adalah kebebasan/kemerdekaan. Montessori berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki tenaga dalam. Dalammenyiasati pengajaran ia tidak setuju dengan hukuman. Hukuman akan datang dari anak itu sendiri manakala anak itu mengalami kegagalan dan berbuat kesalahan. Prinsip-prinsip dasar metode pengajaran Montessori ; 1) prinsip kebebasan, 2) prinsip ilmiah, 3) prinsip keaktifan sendiri. Montessori setuju dengan metode penyampaian materi pelajaran dengan metode peragaan. Latihan-latihan diberikan sesuai asas didaktik yakni secara berurutan dari yang mudah menuju yang sukar. Latihan-latihan itu meliputi : 1) latihan otot, 2) latihan alat dria dan 3) latihan akal.
 
b.    Dr. Ovide Decroly (1871-1932). Ia menjadi terkenal karena semboyannya : I'ecole pour la vie par la vie (sekolah untuk kehidupan oleh kehidupan). Maknanya adalah bahwa anak adalah manusia  yang selalu tumbuh dan berkembang. Mereka harus dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan sosial. Jadi sekolah harus berhubungan erat dengan kehidupan. Montessori menemukan dan kemudian menyusun teori globalisasi dan pusat minat. Globalisasi (Jerman: gestall) adalah dalam mengamati susuatu mula-mula terungkap kesan keseluruhan dari sesuatu itu baru kemudian menyusul bagian-bagiannya. Tentang pusat minat menurut O. Decroly ada 4 pusat minat yaitu : 1) makanan, 2) pakaian, 3) pertahanan diri, 4) permainan dan pekerjaan.
 
c.    John Dewey, Ia penganut aliran filsafat pragmatisme. Seorang pragmatis berpendapat bahwa suatu pengetahuan itu benar apabila pengetahuan itu berguna dalam memecahkan masalah kehidupan. Jadi mengandung nilai praktis. Pendidikan memiliki 2 aspek yakni aspek psikologis dan aspek sosiologis. Aspek psikologis artinya tiap anak mempunyai daya-daya atau potensi yang harus dikembangkan. Aspek sosiologis adalah bahwa perkembangan daya atau potensi itu diarahkan agar bremanfaat dalam kehidupan sosial. Dewey menentang "sekolah dengar" yang sama sekali tidak memperhatikan minat dan instink anak. Menurut J. Dewey ada 4 instink anak yang perlu diperhatikan : 1) instik bermasyarakat, 2) instink membentuk sesuatu, 3) instink menyelidiki, dan 4) instink kesenian.
Sesuai dengan konsep sekolah kerjanya, Dewey berpendapat bahwa sekolah yang baik adalah sekolah dalam bentuk masyarakat kecil. Maknanya adalah sekolah adalah merupakan tempat bekerja, langsung praktek kerja nyata. Urutan kegiatan pelajaran berintikan : 1) pelajaran berburu dan menangkap ikan, 2) mengembala, bertani dan berdagang, dan 3) industri.

Dengan di tampilkannya tokoh-tokoh pendidikan beserta konsepnya bukannya berarti kita harus mengagumi tokoh-tokoh tersebut, yang kita akui memang berotak brilian, dan mengambil alih saja pendapat (konsep)-nya .

Dari sejarah pendidikan itu kita dapat mengambil manfaat, mana yang tepat dapat kita gunakan dan mana yang seharusnya dibuang karena tidak cocok. Karena tidak semua konsep dapat diterapkan di dalam segala waktu, tempat dan suasana.

Contoh :
Sekolah Dewey misalnya bagi kebanyakan negara terlalu mahal biayanya. Di samping adanya kelemahan yang mendasar misalnya tidak memperhatikan aspek kesusilaan (kerohanian) keagamaan/ketuhanan. Demikian pula Montessori, aspek sosial anak kurang diperhatikan dan sekolah montessori amat mahal. Sistem pendidikan Montessori juga sangat intelektualistis karena terlalu mementingkan prkembangan akal, perasaan kurang mendapat tempat. Ia terlalu jauh menekankan pada perkembangan alat dria, disamping jasanya dengan asas tanpa perkembangan anak dan mendidik anak untuk mandiri.
3.    PENDIDIKAN DI INDONESIA
Berikut keadaan pendidikan di Indonesia sejak zaman purba hingga kini. Inti pembicaraan sekilas pendidikan di Indonesia meliputi pendidikan zaman purba, zama pengaruh Islam, dan pendidikan zaman penjajahan.

Dasar pendidikan masa Hindu Budha adalah filsafat Hindu Budha. Tujuan pendidikan bahwa tujuan hidup adalah untuk mencapai Nirwana. Manusia yang dapat mencapai Nirwana adalah manusia sempurna. Sistem penyelenggaraan pendidikan adalah sistem guru-kuladan berlangsung dalam asrama.

Bersamaan masuknya agama Islam ke Indonesia masuk pula kebudayaannya. Pengaruh kebudayaan Islam meliputi semua segi kehidupan, termasuk pendidikan. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia muslim yang sholeh (berakhlak) yang baik. Ada dua lembaga pendidikan penting pada penyebaran agama Islam yakni : langgar dan pesantren disusul kemudian adanya madrasah. Pendidikan agama Islam tidak terbatas, siapapun boleh mengikuti lembaga pendidikan Islam, sifat pendidikan demokratis dan pengajaran unuk rakyat. Di suatu tempat seperti di Sumatera Barat tidak ada pemisahan antara langgar dan pesantren, di sini sekolah agama Islam disebut "surau". Kemudian sekolah-sekolah Islam berkembang dan mendirikan bangunan sekolah yang disebut madrasah.

Pendidikan pada masa penjajahan kurang dapat dirasakan oleh para penduduk pribumi (bumi petera). Pendidikan pada masa penjajahan diabaikan demi kepentingan pemerintah (penjajah). Tujuan utama pendidikan pada masa penjajahan Belanda adalah : 1) mencetak tenaga kerja murah yang siap mengabdi kepada pemerintah (kepentingan penjajah Belanda), 2) untuk tetap mempertahankan kelangsungan penjajah Belanda di Indonesia.

Pada masa penjajahan Jepang tujuan pendidikan yang dilaksanakan adalah: 1) untuk mendapat tenaga kerja rendahan (murah) dan 2) untuk membentuk tentara yang siap melawan sekutu.

Menyadari keadaan pendidikan pada masa penjajahan yang sangat merendahkan martabat bangsa sendiri, maka muncul tokoh-tokoh masyarakat yang berkeinginan untuk mendirikan lembaga pendidikan formal (sekolah). Tokoh-tokoh antara lain Ki Hajar Dewantara, KH. Achmad Dahlan dan Moch. Syafei.

Sadar akan kebodohan dan keterbelakangan sebagian besar warga pribumi akibat tidak mendapat perhatian dari penjajah maka Muhammdiyah bangkit dengan cita-cita mempertinggi dan memperluas pendidikan agama Islam secara modern dengan tujuan memperkuat dan memperteguh keyakinan akan kebenaran ajaran Islam.

Taman siswa dengan pendirinya Ki Hadjar Dewantara mendirikan sekolah sebagai usaha mencapai kemerdekaan bangsa lewat pendidikan.

Moh. Syafei di Sumatera Barat mendirikan Perguruan Ruang Pendidik INS Kayutanam, ia menantang pendidikan kolonial yang verbalistik-intelektualistik. Sekolah INS Kayutanam memakai konsep John Dewey yaitu; "learning by doing". Jadi INS Kayutanam mementingkan keterampilan bekerja dari pada keterampilan berfikir murni, tetapi bukan berarti tidak rasional, justru INS mementingkan cara berfikir yang akaliah (rasional). Konsep ini tampak pada tujuan pendidikan yaitu : 1) mendidik anak untuk berfikir rasional, 2) mendidik anak bekerja secara teratur dan bersungguh-sungguh, 3) membentuk anak-anak menjadi manusia yang berwatak dan 4) menanamkan perasaan persatuan.
 


IV. PENDIDIKAN DAN BUDAYA   
1.    SEKOLAH SEBAGAI PUSAT KEBUDAYAAN  
Jika kita perhatikan pendidikan dalam keluarga, di dalam sekolah maupun praktek pendidikan dalam mesyarakat maka ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu : 1) pendidikan itu tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan dan pendidikan itu merupakan sebagian dari kebudayaan, 2) pendidikan merupakan kegiatan universal dalam kehidupan manusia, 3) dalam praktek pendidikan masyarakat itu dapat berbeda-beda, perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan filsafat yang dianut, bahkan masing-masing individu berberbeda dalam melaksanakan kegiatan pendidikan.

Manusia pada dasarnya adalah makhluk budaya yang harus membudayakan dirinya. Manusia sebagai makhluk budaya mampu melepaskan diri dari ikatan dorongan nalurinya serta mampu menguasai alam sekitarnya dengan alat pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini berbeda dengan binatang sebagai makhluk hidup yang sama-sama makhluk alamiah dengan manusia dia tidak dapat melepaskan dari ikatan dorongan nalurinya dan terikat erat oleh alam sekitarnya.

Istilah kebudayaan berasal dari kata budh berasal dari bahasa Sansekeerta. Dari kata budh ini kemudian dibentuk kata budhayah yang artinya bangun atau sadar. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah culture.

Havinghust dan Neugarten menyatakan bahwa kebudayaan dapat didefinisikan sebagai cara bertingkah laku, etiket, bahasa, kebiasaan, kepercayaan agama dan moral, pengetahuan, sikap dan nilai-nilai yang merupakan hasil karya manusia seperti halnya bermacam-macam benda termasuk di dalamnya alat-alat teknologi. Dari pendapat ini dapat kita ketahui bahwa kebudayaan dapat berujud tingkah laku, hal-hal yang berupa rohaniah dapat pula berupa barang-barang material.

Driyarkara S.Y. (pengasuh Majalah Basisi, 1980,p-83-84) menjelaskan bahwa kebudayaan dalam arti yang luas mempunyai empat segi atau empat aspek. Empat aspek itu adalah :
1.    Aspek ekonomi, dalam aspek ini manusia dengan tangannya mengubah barang-barang tertentu menjadi suatu barang yang berguna bagi manusia.
 
2.    Aspek teknik, dalam aspek ini manusia dengan menggunakan tangan-tangan dan kemungkinan-kemungkinan serta sifat-sifat yang ada pada barang tertentu, hukum-hukum yang ada dalam barang-barang tertentu dari benda-benda alam disusun menjadi sesuatu hal yang baru dan bernilai tambah.
 
3.    Kebudayaan dalam arti khas dan sempit, juga dalam mengubah barang-barang itu manusia mengekspresikan dirinya, sebagai contoh: mengubah atau mengolah tanah liat menjadi patung yang menimbulkan rasa baru dan menggetarkan jiwa manusia atau mengekspresikan diri dan budinya pada patung tersebut.
 
4.    Aspek penghalusan atau sivillasi, aspek ini merupakan lanjutan dari aspek ketiga diatas. Dalam aspek ini manusia dengan mengekspresikan dirinya, manusia berusaha untuk mencari hal-hal yang lebih halus, enak, lincah dan licin sehingga hidupnya dapat meluncur mudah.
Kaitan antara pendidikan dan kebudayaan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan, pendidikan adalah bagian integral dari kebudayaan. Dengan kata lain pendidikan adalah proses pembudayaan manusia. Karena kebudayaan merupakan hasil budi daya manusia. Hasil budi daya itu tidak hanya berupa hasil pembudayaan manusia yang disebut hasil pendidikan.

Hasil budi daya manusia itu dipengaruhi oleh berbagai faktor. Oleh karena itu ada bermacam-macam budaya. Adanya macma-macam budaya itu dapat menjadi motivasi persatuan dan perpecahan serta dapat juga dipergunakan sebagai inspirasi dan motivasi pembangunan bangsa Indonesia.

Oeleh karena itu pendidikan digunakan untuk mentransformasikan nilai budaya bangsa Indonesia dalam rangka mengembangkan budaya Indonesia. Pengembangan kebudayaan harus berorientasi pada Pancasila, UUD 1945 dan GBHN (dahulu sebelum revormasi, sekarang, "?")

Pengembangan pendidikan dan kebudayaan hanya dapat berjalan dengan baik jika sekolah dijadikan pusat kebudayaan. Sekolah dapat menjadi pusat kebudayaan jika dapat meningkatkan mutu pendidikan, dapat menciptakan masyarakat belajar, dapat menjadi teladan bagi masyarakat sekitarnya dan dapat membentuk manusia Indonesia seutuhnya.

Nah, oleh karena mutu pendidikan di negara kita Indonesia merosot, apakah kebijakan yang cerdas kiranya memisahkan antara pendidikan dan kebudayaan ?
2.    PERANAN GURU DALAM MENCIPTAKAN SEKOLAH SEBAGAI PUSAT KEBUDAYAAN
Berbicara tentang perubahan peranan guru berarti berbicara tentang perubahan batasan fungsi sekolah. Dalam dunia yang sedang berubah menuntut perubahan-perubahan pendidikan. Anak-anak yang dipersiapkan untuk memasuki tanggung jawab dan orang dewasa membutuhkan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang jauh berbeda dengan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dimiliki orang tuanya. Oleh karena itu maka orang tua sendiri dituntut untuk memperluas dan mempebaharui pengetahuan, sikap dan ketrampilannya agar supaya dapat menyesuaikan dengan masyarakat yang sedang berubah ini.

Ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan, yaitu
1.    Suatu kenyataan bahwa dengan adanya perubahan yang cepat pada dewasa ini, maka perbendaharaan pengetahuan dan pengalaman pada masa lampau, pada masa yang lebih stabil, digunakan oleh orang tua untuk membimbing putra putri mereka, sudab tidak memadai lagi untuk maksud tersebut. Sesungguhnya orang tua seringkali lebih merasa tidak pasti dari pada putra putri mereka. Hal yang sama juga dirasakan oleh masyarakat dewasa pada umumnya. Nilai-nilai tradisional dan warisan adat istiadat telah kehilangan otoritasnya terhadap anak-anak muda dan tidak memadai lagi sebagai pembimbing tindakan tindakan benar dalam lingkungan yang berubah dengan cepat ini. Karena keyakinan dan kemampuan orang tua, dan berbagal lembaga orang dewasa yang secara tradisional banyak memberikan urunan bagi pendidikan anak-anak semakin Iemah, maka bertambahlah ketergantungan pendidikan kepada lembaga pendidikan formal.
 
2.    Sekolah sendiri harus menyesuaikan diri terhadap kenyataan bahwa pengetahuan baru yang melimpah di luar dinding sekolah tidak hanya besar dalam jumlah dibandingkan dengan apa yang disajikan oleh sekolah, tetapi mungkin juga jauh lebih penting bagi kehidupan yang nyata untuk anak. Dengan demikian sekolah tidak saja harus rnemperbaharui pengetahuan yang akan disajikan kepada anak-anak, menyeleksinya sesuai dengan prioritas kegunaannya; tetapi juga harus menggunakannya dengan baik sejumlah pengetahuan untuk menjawab tantangan kehidupan sehari-hari di luar sekolah.
 
3.    Unsur utama di dalam penyelenggaraan sekolah dan di dalam pelaksanaan pembaharuan yang diperlukan adalah kompetensi guru, karenanya kompetensi guru ini harus dirumuskan dengan tegas dan jelas dan dipelihara dengan baik. Lalu, apakah fungsi utama guru di dalam dunia yang mengalami perubahan ini? Persiapan yang bagaimanakah harus dirancang untuk menjamin agar para guru memperoleh dan memelihara kompetensi yang diperlukan untuk menjalankan fungsinya dengan baik.
Berdasarkan laporan dan negara anggota UNESCO yang disampaikan kepada International Bureu of Education (IBE), disusunlah kertas kerja yang mengidenfitikasi kecenderungan, perubahan peranan guru sebagai berikut. (1) Lebih banyak macam fungsi dalam proses pengajaran dan lebih banyak tanggungjawab untuk penyusunan isi bahan pelajaran dan mengajar, (2) Perubahan tekanan dan menyampaikan pengetahuan kepenyusunan (pengorganisasian) belajar siswa, dengan penggunaan sebanyak mungkin sumber belajar baru yang ada di masyarakat, (3) Individualisasi dalam belajar dan perubahan struktur hubungan guru-murld, (4) Penggunaan secara lebih luas teknologi pendidikan dan penguasaan ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan, (5) Penerimaan lebih luas kerja sama dengan guru-guru lain di sekolah dan perubahan struktur hubungan antar guru, (6) Perlunya kerjasama yang lebih erat dengan orang tua murid dan orang-orang lain dalam masyarakat serta lebih banyak keterlibatan dalam kehidupan masyarakat, (7) Penerimaan partisipasi dalam layanan sekolah dan kegiatan ekstra-kurikuler, (8) Penerimaan pengurangan otoritas tradisional dalam hubungan dengan siswa terutama dengan siswa yang lebih besar dan orang tua mereka.
Dalam laporan ini juga dipandang perlu adanya in service training bagi para guru. Sebab adanya perubahan pengetahuan dan teknologl yang terus meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya. Padahal persiapan dalam pre service training dalam membekali kompetensi yang diperlukan dalam berkarya sangat terbatas walaupun diselenggarakan secara baik. Dalam in service training para guru dapat menilai kemampuan dan ketrampilannya kembali dan menyesuaikan dengan kebutuhan yang aktual, guru dapat mengernbangkan kemampuan dalam bidang khusus tertentu.

Perlu adanya kerjasama yang erat antara LPTK dengan sekolah di mana para calon guru itu dipersiapkan untuk menjadi guru. Hubungan yang erat ini akan menjembatani jurang antara teori.dan praktek. Pendidikan calon guru merupakan tanggungjawab bersama antara lembaga penghasil dan lembaga yang akan menggunakannya. Sehingga keluhan mutu guru rendah dapat dideteksi sedini mungkin.

Guru sebaiknya dipacu untuk aktif dalam organisasi profesional. Sebab organisasi yang bersifat profesional ini merupakan suatu media bagi transformasi nilai-nilai, pengetahuan dan teknologi dan seorang ahli dalam bidangnya kepada para guru yang terbatas waktunya untuk mendalami sendiri. Dengan demikian apabila seocang guru aktif dalam organisasi profesional dapat diharapkan akan selalu mengalami Inovasi dalam bidang ilinu pengetahuan maupun teknologi maju.
 
Dalam rangka menciptakan sekolah sebagai pusat kebudayaan itu maka guru mempunyal empat tugas pokok sebagai berikut:

Pertama : Guru harus mampu membelajarkan anak, menciptakan Suasana belajar yang bergairah dan merangsang. Oleh karena itu seorang guru harus mengelola proses belajar-mengajar yang memungkinkan keterlibatan mental siswa secara optimal. Menggunakan berbagai metode mengajar yang membuat anak aktif berbuat sesuatu, mengerjakan, menganalisis, menarik kesimpulan dan menghasilkan sesuatu. Juga memberi kesempatan kepada anak-anak untuk belajar bekerja sama, belajar mengeluarkan pendapat secara teratur dan baik, belajar berpikir secara ilmiah dan sebagainya. Bahan pelajaran disusun sedemikian rupa, sehingga anak-anak menemukan konsep-konsep, dan tidak sekedar mernperoleh informasi mengenai konsep-konsep tersebut. Dalam proses belajar mengajar guru menggunakan berbagai media sebagai sumber belajar dan sebagal alat untuk memperjelas keterangan guru.

Kedua ; Guru hendaknya menciptakan suasana demokratis dalam hubungannya dengan murid-muridnya dalam proses belajar-mengajar, guru bukanlah pemberi informasi dan murid sebagai penerima yang pasif, melainkan guru itu hanyalah sebagai fasilitator untuk membelajarkan murid-muridnya. Guru hendaknya selalu memberi kesempatan kepada murid-murid untuk berani mengeluarkan pendapatnya, membantah keterangan atau pendapat guru bila dianggapnya tidak benar, mendorong anak-anak untuk mengadakan penelitian, dan berani mengakui kebenaran pendapat muridnya, apabila memang benar, serta mengakui kesalahan pendapatnya.
Untuk dapat melaksanakan peranan pertama dan kedua tersebut di atas, guru hendaknya telah mengembangkan sekurang-kurangnya 10 kemampuan keguruan, yakni: (1) menguasai bahan yang akan diajarkan, (2) mampu mengelola program belajar-mengajar, (3) memiliki kemampuan dalam mengelola kelas, (4) mampu menggunakan media dan sumber belajar-mengajar, (5) menguasai landasan-landasan pendidikan, (6) mampu mengelola interaksi belajar-mengajar, (7) memiliki kemampuan menilai prestasi siswa untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran, (8) mengenal fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan, (9) mengenal dan mampu menyelenggarakan administrasi kelas/sekolah, (10) memahami prinsip-prinsip dan mampu menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.

Ketiga : Guru hendaknya dapat menjadi teladan bagi murid-murid dan orang-orang sekitarnya dalam rangka menciptakan sekolah sebagai pusat kebudayaan, dengan cara: (1) gemar membaca, (2) rajin dan tekun belajar, (3) ingin tahu dan suka meneliti, (4) mempunyai kebiasaan dan gemar menulis analitik, (5) bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (6) bermoral Pancasila, (7) bertindak, bersikap dan bertingkah laku baik, (8) berdisiplin, (9) mempersepsi, mengapresiasi dan mengkreasi seni, (10) terampil dan cekatan, (11) bersikap terbuka terhadap pembaharuan, (12) menerapkan teknologi.

Keempat : Guru hendaknya mampu membangkitkan kesadaran pada anak untuk ingin selalu belajar, dan menyadari bahwa belajar tidak berhenti sesudah usianya mengikuti pendidikan formal di sekolah, tetapi belajar tidak pernah selesai sampai manusia meninggal. Hal ini dapat dilakukan dengan membiasakan anak anak belajar mandiri, membiasakan mereka menggunakan sumber-sumber belajar yang ada di sekolah maupun yang ada di masyarakat.



V. PENDIDIKAN DAN MASYARAKAT   
1.    HUBUNGAN INDIVIDU DAN MASYARAKAT  
Banyak para ahil telah memberikan pengertian tentang masyarakat. Smith, Stanley dan Shores mendefinisikan masyarakat sebagai suatu kelompok individu-individu yang terorganisasi serta berfikir tentatang diri mereka sendiri sebagai suatu kelompok yang berbeda. (Smith, Stanley, Shores, 1950, p. 5).
 
Dari pengertian tersebut di atas ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu bahwa masyarakat itu kelompok yang terorganisasi dan masyarakat itu suatu kelompok yang berpikir tentang dirinya sendiri yang berbeda dengan kelompok yang lain. Oleh karena itu orang yang berjalan bersama-sama atau duduk bersama-sama yang tidak terorganisasi bukanlah masyarakat. Kelompok yang tidak berpikir tentang kelompoknya sebagai suatu kelompok bukanlah masyarakat. Oleh karena itu kelompok burung yang terbang bersama dan semut yang berbaris rapi bukanlah masyarakat dalam arti yang sebenarnya sebab mereka berkelompok hanya berdasarkan naluri saja

Znaniecki menyatakan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang meliputi unit biofisik para individu yang bertempat tinggal pada suatu daerah geografis tertentu selama periiode waktu tertentu dari suatu generasi. Dalam sosiology suatu masyarakat dibentuk hanya dalam kesejajaran kedudukan yang diterapkan dalam suatu organisasi. (F Znaniecki, 1950, p. 145),

Jika kita bandingkan dua pendapat tersebut di atas tampak bahwa pendapat Znaniecki tersebut memunculkan unsur baru dalam pengertian masyarakat yaitu masyarakat itu suatu kelompok yang telah bertempat tinggal pada suatu daerah tertentu dalam lingkungan geografis tertentu dan kelompok itu merupakan suatu sistem biofisik. Oleh karena itu masyarakat bukanlah kelompok yang berkumpul secara mekanis akan tetapi berkumpul secara sistemik. Manusia yang satu dengan yang lain saling memberi, manusia dengan lingkungannya selain menerima dan saling memberi. Konsep ini dipengaruhi oleh konsep pandangan ekologis terhadap satwa sekalian alam.

Parson menjelaskan bahwa suatu sistem sosial di mana semua fungsi prasyarat yang bersumber dan dalam dirinya sendiri bertemu secara ajeg (tetap) disebut masyarakat. Sistem sosial terdiri dari pluralitas prilaku-pnilaku perseorangan yang berinteraksi satu sama lain dalam suatu lingkungan fsik. Jika masing masing individu ini berinteraksi dalam waktu yang lama dari generasi ke generasi dan terjadi pada proses sosialisasi pada generasi tersebut maka aspek ini akan menjadi aspek yang penting dalam sistem sosial. Dalam berintegrasi dan bersosialisasi ini kelompok tersebut mempergunakan kerangka acuan pendidikan.

Dari berbagai pendapat tersebut di atas maka W F Connell (1972, p. 68-69) menyimpulkan bahwa masyarakat adalah (1) suatu kelompok orang yang berpikir tentang diri mereka sendiri sebagai kelompok yang berbeda, diorganisasi, sebagai kelompok yang diorganisasi secara tetap untuk waktu yang lama dalam rintang kehidupan seseorang secara terbuka dan bekerja pada daerah geografls tertentu, (2) kelompok orang yang mencari penghidupan secara berkelompok, sampai turun temurun dan mensosialkan anggota anggotanya melalui pendidikan, (3) suatu ke orang yang mempunyai sistem kekerabatan yang terorganisasi yang mengikat anggota-anggotanya secara bersama dalam keselurühan yang terorganisasi.

Pendapat tersebut di atas tidak berbeda dengan pendapat Liton yang dikutip oleh Indan Encang (1982, p.14) yang menyatakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tartentu.

Pengertian masyarakat tersebut di atas merupakan pengertian yang sangat luas. Penduduk Indonesia sebagai masyarakat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.    Penduduk yang berpikir tentang dirinya sendiri sebagai suatu kelompok yang berbeda dengan kelompok penduduk pada suatu masyarakat lain seperti penduduk Singapura, kelompok Jawa, Sunda, Banjar, Maluku, Sasak merupakan kelompok bagian dari penduduk Indonesia.
2.    Penduduk Indonesia ini secara relatif mencukupi kebutuhan diri sendiri sebagai suatu kelompok yaitu mencukupi kehidupannya dalam masyarakatnya terutama dengan bercocok tanam yang ditopang dengan perindustrian.
3.    Penduduk Indonesia telah ada sebagai kelompok sosial yang diakui pada periode waktu yang lama sampai sekarang, yaitu sejak Indonesia Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.
4.    Mereka hidup dan bekerja dalam beribu-ribu pulau besar dan kecil yang terletak di daerah geografis antara Samudera India dan Samudra Pasifik antara benua Asia dan Australia.
5.    Pengarahan anggota dari masyarakat Indonesia ini melalui unit-unit keluarga yang kecil seperti kelompok-kelompok etnik dan keluarga merupakan kelompok yang terkecil.
6.    Sosialisasi anak-anak melalui sekolah terutama pada anak-anak umur empat atau lima tahun sampai 18 tahun baik melalui sekolah negeri maupun swasta baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan non-formal.
7.    Masyarakat Indonesia ini mengikat anggota-anggotanya melalui sistem yang digeneralisasikan dan suatu kekerabatan. Sistem ini didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, dalam kehidupan sosial politik, kehidupan ekonomi dan lapangan kehidupan yang lain. Ikatan yang paling kuat adalah adanya satu pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan dasar hukum nasional yang satu yaitu UUD 1945.
Pengertian individu :

Dalam ilmu sosial individu merupakan bagian terkecil dari kelompok masyarakat yang tidak dapat dipisah lagi menjadi bagian yang lebih kecil. Umpama keluarga sebagai kelompok sosial yang terkecil terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ayah merupakan individu yang sudah tidak dapat dibagi lagi, demikian pula Ibu. Anak masih dapat dibagi sebab dalam suatu keluarga jumlah anak dapat lebih dari satu.
 
Hubungan individu dan masyarakat secara umum :

Hubungan antara individu dan masyarakat telah lama dibicarakan orang. Soeyono Soekanto (1981, p.4) menyatakan bahwa sejak Plato pada zaman Yunani Kuno telah ditelaah tentang hubungan individu dengan masyarakat. K. J. Veerger (1986, p. 10) lebih lanjut menjelaskah bahwa pembahasan tentang hubung individu dan masyarakat telah dibahas sejak Socrates guru Plato.

Hubungan antara individu dan masyarakat telah.banyak disoroti oleh para ahli baik para filsuf maupun para ilmuan sosial. Berbagai pandangan itu pada dasarnya dapat dikelompokkan kedalam tiga pendapat yaitu pendapat yang menyatakan bahwa (1) masyarakat yang menentukan individu, (2) individu yang menentuk masyarakat, dan (3) idividu dan masyarakat saling menentukan.

Pandangan yang pertama terhadap hubungan antara masyarakat dan individu didasarkan bahwa masyarakat itu mempunyai suatu realitas tersendini. Masyarakat yang penting dan Individu itu hidup untuk masyarakat. Pandangan ini berakar pada realisme yaitu suatu aliran filsafat yang mengatakan bahwa konsep-konsep umum seperti manusia binatang, pohon, keadaan, keindahan dan sebagainya itu mewakili realita luar diri yang memikirkan mereka. Jadi di luar manusia yang sedang berpikir ada suatu realitas tertentu yang bersifat umum. Oleh karena itu berlaku secara umum dan tidak terikat oleh yang satu persatu. Jika mengatakan manusia itu makhluk jasmani dan rohani, maka kita membicarakan setiap manusia terlepas dan manusia yang manapun dan di manapun. Konsekuensi dari pendapat itu maka masyarakat itu merupakan suatu realitas. Masyarakat memiliki realitas tersendiri dan tidak terikat oleh unsur yang lain dan yang berlaku umum. Masyarakat yang dipindahkan oleh seseorang itu berada di luar orang yang berpikir tentang masyarakat itu sendiri. Sebelum individu ada masyarakat yang dipikirkan itu telah ada. Oleh karena itu masyarakat itu tidak terikat pada individu yang memikirkannya. Menurut K J Veerger (1986) ada tiga pandangan yang memandang masyarakat sebagai suatu realitas yaitu pandangan holistis, organis dan kolektivitis.

Pandangan holisme terhadap hubungan individu dan masyarakat. Istilah holisme berasal dan bahasa Yunani, Holos yang berarti keseluruhan. Holisme memandang secara berlebihan terhadap totalitas (keseluruhan) path kesatuan kehidupan manusia dengan mengingkari adanya perbedaan di antara manusia. Keseluruhan dipandang sebagai sesuatu hal yang melebihi dari bagian-bagian. Pandangan yang bersifat holistis ini tampak pada pandangan Aguste Comte (1798 - 1853). Menurut Aguste Comte masyarakat dilihat suatu kesatuan di mana dalam bentuk dan arahnya tidak tergantung pada inisiatif bebas anggotanya, melainkan pada proses spontan otomatis perkembangan akal budi manusia. Akal budi dan cara orang berpikir berkembang dengan sendirinya. Prosesnya berlangsung secara bertahap, merupakan proses alam yang tak terelakkan dan tak terhentikan. Perkembangan ini dikuasal Oleh hukum universal yang berlaku bagi semua orang di manapun dan kapanpun Dan pandangan Comte in dapat diketahui bahwa umat manusia itu dipandang sebagai suatu keseluruhan, individu merupakan bagian-bagian yang hidup untuk kepentingan keseluruhan.

Pandangan organisme terhadap hubungan antara individu dan masyarakat. Organisme suatu aliran yang berpendapat bahwa masyarakat itu berevolusi atau berkembang berdasarkan suatu pninsip intrinsik di dalani dirinya sama seperti halnya dengan tiap-tiap organisme atau makhluk hidup. Prinsip perkembangan ini berperan dengan lepas bebas dari kesadaran dan kemauan anggota masyarakat.

Pandangan hubungan antara individu dan masyarakat sesuai dengan konsep organisme muncul dari Herbart Spencer (1985) diringkas oleh Margaret H Poloma (1979) sebagai berikut:
1.    Masyarakat maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan.
2.    Disebabkan oleh pertambahan dalam ukurannya, maka struktur tubuh sosial (social body) maupun tubuh organisme hidup (living body) itu mengalami pertambahan pula, dimana semakin besar suatu struktur sosial maka semakin banyak pula bagian-bagiannya, seperti halnya dengan sistem biologis yang menjadi semakin kompleks sementara ia tumbuh menjadi semakin besar Binatang yang lebih kecil, misalnya cacing tanah, hanya sedikit memiliki bagian-bagian yang dapat dibedakan bila dibanding dengan makhluk yang lebih sempurna, misalnya manusia.
3.    Tiap bagian yang tumbuh di dalam tubuh organissme biologis maupun organisme sosial memiliki fungsi dan tujuan tertentu: “mereka tumbuh menjadi organ yang berbeda dengan tugas yang berbeda pula”. Pada manusia, hati memiliki struktur dan fungsi yang berbeda dengan paru-paru; demikian juga dengan keluarga sebagai struktur institusional memiliki tujuan yang berbeda dengan sistem politik atau alconomi.
4.    Baik di dalam sistem organisme maupun sistem sosial, perubahan pada suatu bagian akan mengakibatkan perubahan pada bagian lain dan pada akhirnya di dalam sistem secara keseluruhan. Perubahan sistem politik dari suatu pemerintahan demokratis ke suatu pemerintahan totaliter akan mempengaruhi keluarga, pendidikan, agama dan sebagainya. Bagian-bagian itu saling berkaitan satu sama lain.
5.    Bagian-bagian tersebut, walau saling berkaitan, merupakan suatu struktur-mikro yang dapat dipelajari secara terpisah. Demikianlah maka sistem peredaran atau sistem pembuangan merupakan pusat perhatian para spesialis biologi dan media, seperti halnya sistem politik atau sistern ekonomi merupakan sasaran pengkajian para ahli politik dan ekonomi.
Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa menurut Spencer masyarakat dipandang sebagai organisme hidup yang alamiah dan deterministis (bebas). Semua gejala sosial diterangkan berdasarkan hukum alam. Hukum yang mengatur pertumbuhan fisik tubuh manusla juga mcngatur pertumbuhan sosial. Manusia sebagai individu tidak bebas dalam menentukan arah pertumbuhan masyarakat. Manusia sebagai individu justru ditentukan oleh masyarakat dalam pertumbuhannya. Masyarakat berdiri sendiri dan berkembang bebas dari kemauan dan tanggung ja anggotanya di bawah kuasa hukum alam.

Hubungan individu dan masyarakat berdasarkan kolektivisme. Menurut pandangan kolektif masyarakat mempunyai realitas yang kuat. Segala sesuatu kepentingan individu ditentukan oleh masyarakat. Masyarakat mengatur secara seragam untuk kepentingan kolektif.

Menurut Peter Jarvis (1986) yang dikutip oleh DR Wuradji MS (1988) Karl Mark, Bowles, Wailer dan Illich tokoh paham kolektif yang berpendapat bahwa individu tidak mempunyai kebebasan, kebebasan pribadi dibatasi oleh kelompok elite (kelompok atas yang berkuasa) dengan mengatas namakan rakyat banyak.

Konsep masyarakat kolektif ini diterapkan pada paham totalitas di negara-negara komunis seperti RRC. Di dalam negara komunis individu tidak mempunyai hak untuk mengatur kepentingan diari sendiri, segala kebutuban diatur oleh negara. Negara diperintah oleh satu partai politik komunis. Dalam negara komunis ini makan, pakaian, perumahan dan kerja diatur oleh negara, individu tidak punya pilihan lain kecuali yang telah ditentukan oleh negara. Semua hak milik individu seperti yang dimiliki orang-orang atau keluarga di negara kita ini tidak ada.

Hubungan individu dan masyarakat menurut paham individualistis. Individualisme suatu paham yang menyatakan bahwa dalam kehidupan seorang individu kepentingan dan kebutuhan individu yang lebih penting dan pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Individu yang menentukan corak masyarakat yang dinginkan. Masyarakat harus melayani kepentmgan individu. Individu mempunyai hak yang mutlak dan tidak boleh dirampas oleh masyarakat demi kepentingan umum.

Paham individualisme juga disebut Atomisme. Atomisme berpendapat bahwa hubungan antara individu itu seperti hubungan antar atom-atom yang membentuk molekul-molekul. Oleh karena itu hubungan in bersifat lahiriah. Bukan kesatuan yang penting tetapi keaneka ragaman yang penting dalam masyarakat.

Pandangan individualistis ini yang otomistis ini berakar pada nominalisme suatu aliran filsafat yang menyatakan bahwa konsep-konsep umum itu tidak mewakili realitas dari sesuatu hal. Yang menjadi realitas itu individu. Realitas masyarakat itu ada karena individu itu ada. Jika individu tidak ada maka masyarakat itu tidak ada. Jadi adanya individu itu tidak tergantung pada adanya masyarakat.

J.J. Rousseau (1712-1778) dalam bukunya "kotrak sosial" menjelaskan paham liberalisme dan individualisme dalam satu kalimat yang terkenal: “Manusia itu dilahirkan merdeka, tetapi di mana-mana dibelenggu” (Driarkara SY, 1964, p. 109). Manusia itu bebas (merdeka) dan hidup pada lingkungan sekitar dan sesamanya. Hidup dalam lingkungan tertutup dari lingkungan dan sesamanya itu manusia merasa bahagia. Masyarakat hanya merupakan suatu kumpulan atau jumlah orang yang secara kebetulan saja berkumpul pada suatu tempat seperti butli-butir pasir tersebut di atas. Tidak ada hubungan satu dengan yang lain. Masyarakat terbina karena orang-orang yang kebetulan tidak berhubungan satu sama lain itu berhubungan disebabkan oleh adanya suatu kebutuhan, sehingga masing-masing individu itu mengadakan kontrak sosial untuk hidup bersama. Bentuk kerja sama dalam hidup bersama itu dibatasi oleh kebutuhan masing-masing individu. Hanya sampai pada batas tertentu saja individu itu hidup dalam masyarakat. Makin banyak kebutuhan seorang yang dapat dtharapkan dari masyarakat maka hubungan dengan masyarakat makin erat, sebaliknya makin sedikit kebutuhannya dalam masyarakat makin renggang hubungannya dengan masyarakat.

Paham yang memandang hubungan antara individu dan masyarakat dari segi interaksi. Dari uraian tersebut di atas kita telah mengetahui paham totalisme dan individualisme yang masih berpijak pada satu kutub. Paham totalisme berpijak pada masyarakat, sebaliknya paham individualisme. Totalisme mengabaikan peranan individu dalam masyarakat sebaliknya, paham individualisme mengabaikan peranan masyarakat dalam kehidupan individu. Oleh karena itu kedua-duanya diliputi oleh kesalahan detotalisme. Pabam individu memandang manusia sebagal seorang individu itu sebagai segala-galanya di luar individu itu tidak ada. Jadi masyarakat pun pada dasarnya tidak ada yang ada hanya individu. Sebaliknya paham totalisme memandang masyarakat itu segala di luar masyarakat itu tidak ada. Jadi individu itu hanya ada jika masyarakat itu ada. Adanya individu itu terikat pada adanya masyarakat.

Paham yang ketiga ini memandang masyarakat sebagai proses di mana manusia sendiri mengusahakan kehidupan bersama mcnurut konsepsinya dengan bertanggung jawab atas hasilnya. Manusia tidak berada
di dalam masyarakat bagaikan burung di dalam kurungannya, melainkan ia bermasyarakat. Masyarakat bulcan wadah melainkan aksi, yaitu social action. Masyarakat terdiri dari sejumlab pengertian, perasaan, sikap, dan tindakan, yang tidak terbilang banyaknya. Orang berkontak dan berhubungan satu dengan yang lain menurut pola-pola sikap dan perilaku tertentu, yang entah dengan suka, entah terpaksa telah diterima oleh mereka. Umumnya dapat dikatakan bahwa kebanyakan orang akan menyesuaikan kelakuan mereka dengan pola-pola itu. Seandainya tidak, hidup sebagai manusia menjadi mustahil. “Masyarakat sebagai proses” dapat dipandang dari dua segi yang dalam kenyataannya tidak dipisahkan satu dengan yang lain karena merupakan satu kesatuan. Pertama masyarakat dapat dipandang dari segi anggotanya yang membentuk, mendukung, menunjang dan meneruskan suatu pola kehidupan tertentu yang kita sebut masyarakat. Kedua masyarakat dapat ditinjau dari segi pengaruh struktumya atas anggotanya. Pengaruh ini sangat penting sehingga boleh dikatakan bahwa tanpa pengaruh ini manusia satu persatu tidak akan hidup. Marilah kita perhatikan bagaimana jika pengaruh masyarakat yang berupa kepemimpinan, bahasa, hukum, agama, keluarga, ekonomi, pertahanan, moralitas dan lain sebagainya. Tanpa itu semua manusia satu persatu tidak akan berdaya, ia akan jatuh ke dalam suatu keadaan, di mana-mana manusia tidak akan berdaya dan manusia akan hancur oleh kekuatan-kekuatan alam dan nalurinya sendin.

Hubungan individu-masyarakat yaitu bahwa hidup bermasyarakat adalah ciptaan dan usaha manusia sendiri. Manusia berkeluarga, ia berkelompok. Selalu membuat sesuatu dan berbuat. Keluarga, kelompok, masyarakat dan negara tidak merupakan kesatuan-kesatuan yang berdiri di luar. Mereka ada usaha manusia, yang terus dipertahankan, dipelihara, ditunjang, atau apabila perlu-diubahkan atau diganti oleh manusia. Mereka adalah bagian hidupnya. Mereka adalah bentuk perilaku yang tergantung dari dia. Hidup bermasyarakat yang diusahakan dan diciptakan sendiri, bertujuan untuk memungkinkan perkembangannya sebagai manusia. Sebab tanpa masyarakat tidak ada hidup individual yang manusiawi. Jadi manusia sekaligus membentuk dan dibentuk oleh hasil karyanya sendiri, yaitu masyarakat. Manusia tidak bebas dalam arti bahwa ia bebas memilih antara hidup sendiri atau hidup berbagai dengan orang lain. Ia harus hidup berbagai agar tidak hancur. Tetapi cara dan bentuk hidup berbagai itu ditentukannya dengan bebas. Tidak ada satu pola kebudayaan yang mutlak dan universal. Jadi ada relasi timbal balik antara individu. Di satu pihak individu ikut membentuk dan menegakkan masyarakat, dan ia bertanggungjawab. Di lain pihak masyarakat menghidupi individu dan oleh karenanya bersifat mengikat bagi dia.

Hubungan antara masyarakat dan individu dapat digambarkan sebagai kutub positif dan kutup negatif pada aliran listrik. Jika dua kutub itu dihubungkan listrik ia akan mampu memberi kekuatan baginya dan menimbulkan suasana yang cerah. Jika individu dan masyarakat dipersatukan maka kehidupan individu dan masyarakat akan lebih bergairah dan suasana kehidupan individu dan kehidupan masyarakat akan lebih bermakna dan hidup serta bergairrah.

HUBUNGAN INDIVIDU DAN MASYARAKAT DI INDONESIA

Dari uraian tersebut di atas kita dapat mengetahui bahwa hubungan individu dan masyarakat itu dapat ditinjau dari segi masyarakat saja (totalisme), ditinjau dari segi individu saja (individualisme) dan ditinjau dari segi interaksi individu dan masyarakat. Dengan memperhatikan tiga pandangan ini maka bagaimana hubungan individu dan masyarakat di Indonesia? Profesor Supomo menyatakan bahwa hubungan antara warga negana dan negara Indonesia adalah hubungan yang integral. Driyarkara SY menyatakan bahwa hubungan masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah hubungan yang integral (Driyarkara, 1959, p. 225). Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa paham yang dianut untuk menggambarkan hubungan antara individu dan masyarakat di Indonesia adalah paham integralisme.

Paham inntegralisme berpendapat bahwa individu-individu yang bermacam-macam itu  merupakan suatu kesatuan dan keseluruhan yang utuh. Manusia dalam masyarakat yang teratur dan tertib itu berada dalam suatu integrasi. Menurut Dniyarkara SY integrasi semacam ini dapat berarti dalam arti sosiologis dan psikologis, sebab manusia yang berada dalam integrasi itu merasa aman, tenang dan bahagia. Integrasi semacam ini terdapat dalam masyanakat kecil maupun besar, seperti keluarga, desa dan negara.
Menurut peneitian J. H. Boeke (1953) yang dikutip oleb Driyarkara SY (1959, p. 229-230) terhadap masyarakat Tenganan dan masyarakat Badui serta Tengger disimpuilcan bahwa dalam masyarakat yang integral akan terlihat adanya unsur-unsur pokok sebagai berikut: (1) keyakinan tentang adanya hubungan antara manusia dan dunia yang tak terlihat, (2) hubungan antara manusia dengan tanah tumpah darah yang sangat erat, (3) hubungan antara manusia dengan keluarga yang erat, (4) suatu bentuk masyarakat di mana semua anggotanya mengerti seluk beluk masyarakatnya, (5) kehidupan material yang layak karena orang mengerti bagaimana mencari kehidupan itu.

Hubungan individu dan masyarakat dalam Indonesia merdeka seperti yang dimaksud Prof. Supomo dapat diperhatikan dalam rumusan Proklamasi Kemerdekaan RI, Undang-Undang Dasar 1945 dan GBHN. Dalam Proklamasi dirumuskan: Kami bangsa Indonesia dengan mi menyatakan kemerdekaannya. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Atas nama bangsa Indonesia. Sukarno Hatta. (Nugroho Notosusanto, 1983, p. 17). Penggunaan kata kami dan atas nama bangsa Indonesia menunjukkan bahwa negara yang dikemer dekaan itu untuk semua warga bangsa Indonesia, bukan untuk Sukarno maupun Hatta. Hal ini berarti bahwa kemerdekaan untuk seluruh bangsa Indonesia diperjuangkan oleh masing-masing warga bangsa Indonesia. Jadi individu dan masyarakat terinntegrasi untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemederkaan Indonesia. Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea pertama dinyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Pada alinea kedua dinyatakan bahwa perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah mengantarkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pada alinea yang ketiga atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan yang luhur supaya berkebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Pada alinea keempat dinyatakan bahwa pemerintahan negara Indonesia yang dibentuk adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa kepentingan yang diperjuangkan adalah masyarakat secara keseluruhan dan individu-individu sebagai warga bangsa secara perseorangan.

Perhatian terhadap masyarakat dan individu dapat dijumpai pada pasal-pasal dalam UUD 1945 seperti pasal 30 yang mengatur hak dan kewajiban warga negara untuk membela negara, pasal 31 yang mengatur hak dan kewajiban tentang pengajaran bagi tiap-tiap warga negara dan pemerintah, pasal 33 yang mengatur tentang (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, (2) cabang cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, (3) bumi dan air dan kekayaan-kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besamya kemakmuran rakyat, pasal 34 menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Dalam pasal 27 dijelaskan bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 28 menyatakan tiap-tiap warga negara mempunyai kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang. Pasal 29 negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pada pasal 1 dijelaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik dan kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Jika pasal demi pasal tersebut di atas diperhatikan maka jelas bahwa individu dan masyarakat diberi kewajiban dan hak dalam mengejar kehidupan yang bahagia sejahtera.

Dalam Ketetapan MPR nomor II/MPR/l988 tentang tujuan pembangunan nasional dijelaskan bahwa pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah negara Kesatauan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.
Dan pemyataan ini dapat diketahui bahwa kepentingan individu dan kepentingan bersama-sama mendapat perhatian dan diberi tempat yang sama dalam menciptakan kehidupan yang bahagia sejahtera.
Berdasarkan ketetapan MPR NO. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dijelaskan tentang Pandangan Pancasila terhadap hubungan individu dan masyarakat bahwa. kebahagian manusia akan tercapai jika dapat dikembangkan hubungan yang selaras, serasi, dan seimbang antara manusia dan masyarakat. Hubungan sosial yang selarasdan serasi, selaras dan seimbang itu antara individu dan masyarakat itu tidak netral, tetapi dijiwai oleh nilai-nilal yang terkandung dalam lima sila dalam Pancasila secara kesatuan.

Dan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan integralisme ini tidak lain adalah pandangan Pancasila yang memandang hubungan individu dan masyarakat itu secara serasi selaras dan seimbang dalam menciptakan manusia yang sejahtera dan bahagia lahir batin, dunia dan akhirat.



V. PENDIDIKAN DAN MASYARAKAT   
2.    FUNGSI DAN PERANAN PENDIDIKAN DALAM MASYARAKAT
PENGEMBANGAN MASYARAKAT MELALUI PENDIDIKAN SECARA SISTEMIK
Pendekatan sistemik terbadap pengembangan melalui pendidikan adalah pendekatan di mana masyarakat tradisional sebagai input dan pendidikan sebagai suatu lembaga pendidikan masyarakat sebagai pelaksana proses pengembangan dan masyarakat yang dicita-citakan sebagai outputnya yang dicita-citakan.
Menurut Ki Hajar Dewantoro ada tiga lingkungan pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Dari ketetapan MPR No. 1!/MPR/1988 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara kita mengetahui bahwa pendidikan itu merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, pemerintah dan masyarakat.
Dari dua penjelasan tersebut di atas maka bentuk pendidikan dibagi menjadi tiga bentuk yaitu pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non formal (Undang-Undang nomor 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Pelaksanaan ketiga bentuk pendidikan adalah lembaga pemerintah, lembaga keluarga, lembaga keagamaan dan lembaga pendidikan lain. Lembaga keluarga menyelenggarakan pendidikan informal, lembaga pemerintah, lembaga keagamaan, lembaga pendidikan yang lain menyelenggarakan pendidikan formal maupun pendidikan nonfonnal. Bentuk-bentuk pendidikan nonformal cukup banyak jenisnya, seperti berbagai macam kursus kcterampilan yang mempersiapkan tenaga terampil. Seperti kursus menjahit, kursus komputer, kursus montir, kursus bahasa-bahasa asing dan sebagainya. Bentuk pendidikan formal yang beçjalan ini terdiri dari empat jenjang yaitu SD, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Menurut Undang Undang Nomor : 2/1989, tentang jenjang pendidikan dibagi menjadi tiga jenjang yaitu Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi. Pendidikan Dasar terdiri dari Sekolah Dasar dan Sekolab Menengah Tingkat Pertama.
Proses pendidikan dari tiga bentuk pendidikan itu dipengaruhi oleh sistem politik dan ekonomi. (Muhammad Dimyati, 1988 p, 163). Dengan adanya bermacam-macam jenis politik dan bermacam-macam kondisi ekonomi maka arah proses pendidikan akan bermacam-macam untuk masing-masing bentuk pendidikan yang diselenggarakan oleh keluarga, pemerintah, lembaga keagamaan dan lembaga-lembaga non-agama.

PERANAN PENDIDIKAN DALAM MASYARAKAT

Sebagian besar masyarakat modern memandang lembaga-lembaga pendidikan sebagai peranan kunci dalam mencapai tujuan sosial Pemerintah bersama orang tua telah menyediakan anggaran pendidikan yang diperlukan sceara besar-besaran untuk kemajuan sosial dan pembangunan bangsa, untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional yang berupa nilai-nilai luhur yang harus dilestarikan seperti rasa hormat kepada orang tua, kepada pemimpin kewajiban untuk mematuhi hukum-hukum dan norma-norma yang berlaku, jiwa patriotisme dan sebagainya. Pendidikan juga diharapkan untuk memupuk rasa takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan kemajuan-kemajuan dan pembangunan politik, ekonomi, sosial dan pertahanan keamanan. Pendek kata pendidikan dapat diharapkan untuk mengembangkan wawasan anak terhadap ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan secara tepat dan benar, sehingga membawa kemajuan pada individu masyarakat dan negara untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.

Berbicara tentang fungsi dan peranan pendidikan dalam masyarakat ada bermacam-macam pendapat, di bawah ini disajikan tiga pendapat tentang fungsi pendidikan dalam masyarakat.

Wuradji (1988) menyatakan bahwa pendidikan sebagai lembaga konservatif mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) Fungsi sosialisasi, (2) Fungsi kontrol sosial, (3) Fungsi pelestarian budaya Masyarakat, (4) Fungsi latihan dan pengembangan tenaga kerja, (5) Fungsi seleksi dan alokasi, (6) Fungsi pendidikan dan perubahan sosial, (7) Fungsi reproduksi budaya, (8) Fungsi difusi kultural, (9) Fungsi peningkatan sosial, dan (10) Fungsi modifikasi sosial. ( Wuradji, 1988, p. 31-42).

Jeane H. Ballantine (1983) menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat itu sebagai berikut: (1) fungsi sosialisasi, (2) fungsi seleksi, latihan dan alokasi, (3) fungsi inovasi dan perubahan sosial, (4) fungsi pengembangan pribadi dan sosial (Jeanne H. Ballantine, 1983, p. 5-7).

Meta Spencer dan Alec Inkeles (1982) menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat itu sebagai berikut: (1) memindahkan nilai-nilai budaya, (2) nilai-nilai pengajaran, (3) peningkatan mobilitas sosial, (4) fungsi stratifikasi, (5) latihan jabatan, (6) mengembangkan dan memantapkan hubungan hubungan sosial (7) membentuk semangat kebangsaan, (8) pengasuh bayi.

Dari tiga pendapat tersebut di atas, tidak ada perbedaan tetapi saling melengkapi antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lain.

1) Fungsi Sosialisasi.

Di dalam masyarakat pra industri, generasi baru belajar mengikuti pola perilaku generasi sebelumnya tidak melalui lembaga-lembaga sekolah seperti sekarang ini. Pada masyarakat pra industri tersebut anak belajar dengan jalan mengikuti atau melibatkan diri dalam aktivitas orang-orang yang telah lebih dewasa. Anak-anak mengamati apa yang mereka lakukan, kemudian menirunya dan anak-anak belajar dengan berbuat atau melakukan sesuatu sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang telah dewasa. Untuk keperluan tersebut anak-anak belajar bahasa atau simbol-simbol yang berlaku pada generasi tua, menyesuai kan diri dengan nilai-nilai yang berlaku, mengikuti pandangannya dan memperoleh keterampilan-keterampilan tertentu yang semuanya diperoleh lewat budaya masyarakatnya. Di dalam situasi seperti itu semua orang dewasa adalah guru, tempat di mana anak-anak meniru, mengikuti dan berbuat seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang yang lebih dewasa. Mulai dari permulaan, anak-anak telah dibiasakan berbuat sebagaimana dilakukan oleh generasi yang lebih tua. Hal itu merupakan bagian dari perjuangan hidupnya. Segala sesuatu yang dipelajari adalah berguna dan berefek langsung bagi kehidupannya sehari-hari. Hal ini semua bisa terjadi oleh karena budaya yang berlaku di dalam masyarakat, di mana anak menjadi anggotanya, adalah bersifat stabil, tidak berubah dan waktu ke waktu, dan statis.

Dengan semakin majunya masyarakat, pola budaya menjadi lebih kompleks dan memiliki diferensiasi antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain, antara yang dianut oleh individu yang satu dengan individu yang lain. Dengan perkataan lain masyarakat tersebut telah mengalami perubahan-perubahan sosial. Ketentuan-ketentuan untuk berubah ini sebagaimana telah disinggung di halaman-halaman situs web ini sebelumnya, mengakibatkan terjadinya setiap transmisi budaya dan satu generasi ke generasi berikutnya selalu menjumpai permasalahan-permasalahan. Di dalam suatu masyarakat sekolah telah melembaga demikian kuat, maka sekolah menjadi sangat diperlukan bagi upaya menciptakan/melahirkan nilai-nilai budaya baru (cultural reproduction).

Dengan berdasarkan pada proses reproduksi budaya tersebut, upaya mendidik anak-anak untuk mencintai dan menghormati tatanan lembaga sosial dan tradisi yang sudah mapan adalah menjadi tugas dari sekolah. Termasuk di dalam lembaga-lembaga sosial tersebut diantaranya adalah keluarga, lembaga keagamaan, lembaga pemerintahan dan lembaga-lembaga ekonomi. Di dalam permulaan masa-masa pendidikannya, merupakan masa yang sangat penting bagi pembentukan dan pengembangan pengadopsian nilai-nilai ini. Masa-rnasa pembentukan dan pembangunan upaya pengadopsian ini dilakukan sebelum anak-anak mampu memiliki kemampuan kritik dan evaluasi secara rasional.

Sekolah-sekolah menjanjikan kepada anak-anak gambaran tentang apa yang dicita-citakan oleh lembaga-lembaga sosialnya. Anak-anak didorong, dibimbing dan diarahkan untuk mengikuti pola-pola prilaku orang-orang dewasa melalui cara-cara ritual tertentu, melalui drama, tarian, nyanyian dan sebagainya, yang semuanya itu merupakan ujud nyata dari budaya masyarakat yang berlaku. Melalui cara-cara seperti itu anak. anak dibiasakan untuk berlaku sopan terhadap orang tua, hormat dan patuh terhadap norma-norma yang berlaku. Lembaga-lembaga agama mengajarkan bagaimana penganutnya berbakti kepada Tuhannya berdasarkan tata cara tertentu.

Lembaga-lembaga pemerintahan mengajarkan bagaimana anak kelak apabila telah menjadi warga negara penuh, memenuhi kewajiban-kewajiban negara, memiliki jiwa patriotik dan memiliki kesadaran berwarga negara. Semua ajaran dan pembiasaan tersebut pada permulaannya berlangsung melalui proses emosional, bukan proses kognitif.

Dalam proses belajar untuk mengikuti pola acuan bagi tatanan masyarakat yang telah mapan dan melembaga, anak-anak belajar untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai tradisional di mana institusi tradisional tersebut dibangun. Keseluruhan proses di mana anak-anak belajar mengikuti pola-pola dan nilai-nilai budaya yang berlaku tersebut dinamakan proses sosialisasi. Proses sosialisasi tersebut harus beijalan dengan wajar dan mulus oleh karena kita semua mengetahui betapa pentingnya masa-masa permulaan proses sosialisasi. Orang tua dan keluarga berharap sekolah dapat melaksanakan proses sosialisasi tersebut dengan baik. Dalam lembaga-lembaga ini guru-guru di sekolah dipandang sebagai model dan dianggap dapat mengemban amanat orang tua (keluarga dan masyarakat) agar anak-anak- memahami dan kemudian mengadopsi nilai-nilai budaya masyarakatnya. Willard Waller dalam hubungan ini menganggap sekolah, terutama di daerah-daerah pedesaan sebagai museum yang menyimpan tentang nilai-nilai kebajikan (mnuseum of virture) (Pardius and Parelius, 1978; p. 24). Dengan anggapan tersebut, masyarakat menginginkan sekolah beserta staf pengajarnya harus mampu mengajarkan nilai-nilai kebajikan dari masyarakatnya (the old viture), atau keseluruhan nilai-nilai yang diyakini dan menjadi anutan dan pandangan masyarakatnya. Untuk memberikan pendidikan mengenai kedisiplinan, rasa hormat dan patuh kepada pemimpin, kemauan kerja keras, kehidupan bernegara dan kehidupan demokrasi, menghormati, nilai-nilai perjuangan bangsa, rasa keadilan dan persamaan, aturan-aturan hukum dan perundang-undangan dan sebagainya, kiranya lembaga utama yang paling berkompeten adalah lembaga pendidikan.
 
Sekolah mengemban tugas untuk melaksanakan upaya-upaya mengalihkan nilai-nilai budaya masyarakat dengan mengajarkan nilai-nilai yang menjadi way of life masyarakat dan bangsanya. Untuk memenuhi fungsi dan tugasnya tersebut sekolah menetapkan program dan kurikulum pendidikan, beserta metode dan tekniknya secara paedagogis, agar proses transmisi nilai-nilai tersebut berjalan lancar dan mulus.

Dalam hubungannya dengan transmisi nilai-nilai, terdapat beragam budaya antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, dan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Sebagai contoh sekolah-sekolah keguruan di Uni Soviet dan Amerika. Di Uni Soviet guru-guru harus mengajarkan rasa solidaritas dan rasa tanggung jawab untuk menyatu dengan kelompoknya dengan mengembangkan sistem kompetisi di antara mereka. Sementara di Amerika Serikat guru harus mengembangkan kemampuan untuk hidup mandiri dan kemampuan bersaing dengan melakukan upaya-upaya kompetisi penuh di antara siswa-siswa.

2) Fungsi kontrol sosial

Sekolah dalam menanamkan nilai-nilai dan loyalitas terhadap tatanan tradisional masyarakat harus juga berfungsi sebagai lembaga pelayanan sekolah untuk melakukan mekanisme kontrol sosial. Durheim menjelaskan bahwa petididikan moral dapat dipergunakan untuk menahan atau mengurangi sifat-sifat egoisme pada anak-anak menjadi pribadi yang merupakan bagian masyarakat yang integral di mana anak harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab sosial. (Jeane H. Bellatine, 1983, p.8). Melalui pendidikan semacam ini individu mengadopsi nilai-nilai sosial dan melakukan interaksi nilai-niiai tersebut dalam kehidupannya sehari-hari Selanjutnya sebagai individu sebagai anggota masyarakat ia juga dituntut untuk memberi dukungan dan berusaha untuk mempertahankan tatanan sosial yang berlaku.

Sekolah sebagai lembaga yang berfungsi untuk mempertahankan dan mengembangkan tatanan-tatanan sosial serta kontrol sosial mempergunakan program-program asimilasi dan nilai-nilai subgrup beraneka ragam, ke dalam nilai-nilai yang dominan yang memiliki dan menjadi pola anutan bagi sebagiai masyarakat.

Sekolah berfungsi untuk mempersatukan nilai-nilai dan pandangan hidup etnik yang beraneka ragam menjadi satu pandangan yang dapat diterima seluruh etnik. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sekolah berfungsi sebagai alat pemersatu dan segala aliran dan pandangan hidup yang dianut oleh para siswa. Sebagai contoh sekolah di Indonesia, sekolah harus menanamkan nilai-nilai Pancasila yang dianut oleh bangsa dan negara Indonesia kepada anak-anak di sekolah.

3) Fungsi pelestarian budaya masyarakat.

Sekolah di samping mempunyai tugas untuk mempersatu budaya-budaya etnik yang beraneka ragam juga harus melestanikan nilai-nilai budaya daerah yang masih layak dipertahankan seperti bahasa daerah, kesenian daerah, budi pekerti dan suatu upaya mendayagunakan sumber daya lokal bagi kepentingan sekolah dan sebagainya.

Fungsi sekolah berkaitan dengan konservasi nilai-nilai budaya daerah ini ada dua fungsi sekolah yaitu pertama sekolah digunakan sebagai salah satu lembaga masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional masyarakat dari suatu masyarakat pada suatu daerah tertentu umpama sekolah di Jawa Tengah, digunakan untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Jawa Tengah, sekolah di Jawa Barat untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Sunda, sekolah di Sumatera Barat untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Minangkabau dan sebagainya dan kedua sekolah mempunyai tugas untuk mempertahankan nilai-nilai budaya bangsa dengan mempersatukan nilai-nilai yang ada yang beragam demi kepentingan nasional.

Untuk memenuhi dua tuntutan itu maka perlu disusun kurikulum yang baku yang berlaku untuk semua daerah dan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi dan nilai-nilai daerah tertentu.

Oleh karena itu sekolah harus menanamkan nilai-nilai yang dapat menjadikan anak itu menjadi yang mencintai daerahnya dan mencintai bangsa dan tanah airnya.

4) Fungsi seleksi, latihan dan pengembangan tenaga kerja.

Jika kita amati apa yang terjadi dalam masyarakat dalam rangka menyiapkan tenaga kerja untuk suatu jabatan tertentu, maka di sana akan terjadi tiga kegiatan yaitu kegiatan, latihan untuk suatu jabatan dan pengembangan tenaga kerja tertentu.

Proses seleksi ini terjadi di segala bidang baik mau masuk sekolah maupun mau masuk pada jabatan tertentu. Untuk masuk sekolah tertentu harus mengikuti ujian tertentu, untuk masuk suatu jabatan tertentu harus mengikuti testing kecakapan tertentu. Sebagai contoh untuk dapat masuk pada suatu sekolah menengah tertentu harus menyerahkan nllai EBTA Murni (NEM). Dan nilai NEM yang masuk dipilih nilai NEM yang tinggi dari nilai tertentu sampai nilai yang terendah. Jika bukan nilai yang menjadi persyaratan yang ketat tetapi biaya sekolah yang tak terjangkau untuk masuk sekolah tertentu. Oleh karena itu anak yang nilainya rendah dan ekonominya lemah tidak kebagian sekolah yang mutunya tinggi. Demikian pula untuk memangku jabatan pada pekerjaan tertentu, mereka yang diharuskan mengikuti seleksi dengan berbagai cara yang tujuannya untuk memperoleh tenaga kerja yang cakap dan terampil sesuai dengan jabatan yang akan dipangkunya.

Sekolah sebagai lembaga yang berfungsi untuk latihan dan pengembangan tenaga kerja mempunyai dua hal. Pertama sekolah digunakan untuk menyiapkan tenaga kera profesional dalam bidang spesialisasi tertentu. Untuk memenuhi ini berbagai bidang studi dibuka untuk menyiapkan tenaga ahli dan terampil dan berkemampuan yang tinggi dalam bidangnya. Kedua dapat digunakan untuk memotivasi para pekerja agar memiliki tanggung jawab terhadap kanier dan pekerjaan yang dipangkunya.

Sekolah mengajarkan bagaimanan menjadi seorang yang akan memangku jabatan tertentu, patuh terhadap pimpinan, rasa tanggung jawab akan tugas, disiplin mengerjakan tugas sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Sekolah juga mendidik agar seseorang dapat menghargai harkat dan martabat manusia, memperlakukan manusia sebagai manusia, dengan memperhatikan segala bakat yang dimilikinya demi keberhasilan dalam tugasnya.

Sekolah mempunyai fungsi pengajaran, latihan dan pendidikan. Fungsi pengajaran untuk menyiapkan tenaga yang cakap dalam bidang keahlian yang ditekuninya. Fungsi latihan untuk mendapatkan tenaga yang terampil sesuai dengan bidangnya, sedang fungsi pendidikan untuk menyiapkan seorang pribadi yang baik untuk menjadi seorang pekerja sesuai dengan bidangnya. Jadi fungsi pendidikan ini merupakan pengembangan pribadi sosial.

5) Fungsi pendidikan dan perubahan sosial.

Pendidikan mempunyai fungsi untuk mengadakan perubahan sosial mempunyai fungsi (1) melakukan reproduksi budaya, (2) difusi budaya, (3) mengembangkan analisis kultural terhadap kelembagaan-kelembagaan tradisional, (4) melakukan perubahan-perubahan atau modifikasi tingkat ekonomi sosial tradisional, dan (5) melakukan perubahan-perubahan yang lebih mendasar terhadap institusi-institusi tradisional yang telah ketinggalan.

Sekolah berfungsi sebagai reproduksi budaya menempatkan sekolah sebagai pusat penelitian dan pengembangan. Fungsi semacam ini merupakan fungsi pada perguruan tinggi. Pada sekolah-sekolah yang lebih rendah, fungsi ini tidak setinggi pada tingkat pendidikan tinggi.

Pada masa-masa proses industrialisasi dan modernisasi pendidikan telah mengajarkan nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan baru, seperti orientasi ekonomi, orientasi kemandirian, mekanisme kompetisi sehat, sikap kerja keras, kesadaran akan kehidupan keluarga kecil, di mana nilai-nilai tersebut semuanya sangat diperlukan bagi pembangunan ekonomi sosial suatu bangsa. Usaha-usaha sekolah untuk mengajarkan sistem nilai dan perspektif ilmiah dan rasional sebagai lawan dan nilai-nilai dan pandangan hidup lama, pasrah dan menyerah pada nasib, ketiadaan keberanian menanggung resiko, semua itu telah diajarkan oleh sekolah sekolah sejak proses modernisasi dari perubahan sosial Dengan menggunakan cara-cara berpikir ilmiah, cara-cara analisis dan pertimbangan-pertimbangan rasional serta kemampuan evaluasi yang kritis orang akan cenderung berpikir objektif dan lebih berhasil dalam menguasai alam sekitarnya.

Lembaga-lembaga pendidikan disamping berfungsi sebagai penghasil nilai-nilai budaya baru juga berfungsi penghasil nilai-nilai budaya baru juga berfungsi sebagai difusi budaya (cultural diffission). Kebijaksanaan-kebijaksanaan sosial yang kemudian diambil tentu berdasarkan pada hasil budaya dan difusi budaya. Sekolah-sekolah tersebut bukan hanya menyebarkan penemuan-penemuan dan informasi-informasi baru tetapi juga menanamkan sikap-sikap, nilai-nilai dan pandangan hidup baru yang semuanya itu dapat memberikan kemudahan-kemudahan serta memberikan dorongan bagi terjadinya perubahan sosial yang berkelanjutan.

Fungsi pendidikan dalam perubahan sosial dalam rangka meningkatkan kemampuan analisis kritis berperan untuk menanamkan keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai baru tentang cara berpikir manusia. Pendidikan dalam era abad modern telah berhasil menciptakan generasi baru dengan daya kreasi dan kemampuan berpikir kritis, sikap tidak mudah menyerah pada situasi yang ada dan diganti dengan sikap yang tanggap terhadap perubahan. Cara-cara berpikir dan sikap-sikap tersebut akan melepaskan diri dari ketergantungan dan kebiasaan berlindung pada orang lain, terutama pada mereka yang berkuasa. Pendidikan ini terutama diarahkan untuk mempenoleh kemerdekaan politik, sosial dan ekonomi, seperti yang diajukan oleh Paulo Friere. Dalam banyak negara terutama negara-negara yang sudah maju, pendidikan orang dewasa telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga masalah kemampuan kritis ini telah berlangsung dengan sangat intensif. Pendidikan semacam itu telah berhasil membuka mata masyarakat terutama didaerah pedesaan dalam penerapan teknologi maju dan penyebaran penemuan baru lainnya.

Pengaruh dan upaya pengembangan berpikir kritis dapat memberikan modifikasi (perubahan) hierarki sosial ekonomi. Oleh karena itu pengembangan berpikir knitis bukan saja efektif dalam pengembangan pnibadi seperti sikap berpikir kritis, juga berpengaruh terhadap penghargaan masyarakat akan nilai-nilai manusiawi, perjuangan ke arah persamaan hak-hak baik politik, sosial maupun ekonomi. Bila dalam masyarakat tradisional lembaga-lembaga ekonomi dan sosial didominasi oleh kaum bangsawan dan golongan elite yang berkuasa, maka dengan semakin pesatnya proses modernisasi tatanan-tatanan sosial ekonomi dan politik tersebut diatur dengan pertimbangan dan penalaran-penalaran yang rasional. Oleh karena itu timbullah lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik yang berasaskan keadilan, pemerataan dan persamaan. Adanya strata sosial dapat terjadi sepanjang diperoleh melalui cara-cara objektif dan keterbukaan, misalnya dalam bentuk mobilitas vertikal yang kompetitif.

6) Fungsi Sekolah dalam Masyarakat

DI muka telah dibicarakan tentang adanya tiga bentuk pendidikan yaitu pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal disebut juga sekolah. Oleh karena itu sekolah bukan satu-satunya lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tetapi masih ada lembaga-lembaga lain yang juga menyelenggarakan pendidikan. Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan mempunyai dua fungsi yaitu (1) sebagai partner masyarakat dan (2) sebagai penghasil tenaga kerja. Sekolah sebagai partner masyarakat akan dipengaruhi oleh corak pengalaman seseorang di dalam lingkungan masyarakat. Pengalarnan pada berbagai kelompok masyarakat, jenis bacaan, tontonan serta aktivitas-aktivitas lainnya dalam masyarakat dapat mempengaruhi fungsi pendidikan yang dimainkan oleh sekolah. Sekolah juga berkepentingan terhadap perubahan lingkungan seseorang di dalam masyarakat. Perubahan lingkungan itu antara lain dapat dilakukan melalui fungsi layanan bimbingan, penyediaan forum komunikasi antara sekolah dengan lembaga sosial lain dalam masyarakat. Sebaliknya partisipasi sadar seseorang untuk selalu belajar dari lingkungan masyarakat, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh tugas-tugas belajar serta pengarahan belajar yang dilaksanakan di sekolah.
 
Fungsi sekolah sebagai partner masyarakat akan dipengaruhi pula oleh sedikit banyaknya serta fungsional tidaknya pendayagunaan sumber-sumber belajar di masyarakat. Kekayaan sumber belajar dalam masyarakat seperti adanya orang-orang sumber, perpustakaan, museum, surat kabar, majalah dan sebagainya dapat digunakan oleh sekolah dalam menunaikan fungsi pendidikan.

Sebagai produser kebutuhan pendidikan masyarakat sekolah dan masyarakat memiliki ikatan hubungan rasional di antara keduanya. Pertama, adanya kesesuaian antara fungsi pendidikan yang dimainkan oleh sekolah dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Kedua, ketepatan sasaran atau target pendidikan yang ditangani oleh lembaga persekolahan akan ditentukan pula o!eh kejelasan perumusan kontrak antara sekolah selaku pelayan dengan masyarakat selaku pemesan. Ketiga, keberhasilan penunaian fungsi sekolah sebagai layanan pesanan masyarakat sebagian akan dipengaruhi oleh ikatan objektif di antara keduanya.

Ikatan objektif ini dapat berupa perhatian, penghargaan dan tunjangan tertentu seperti dana, fasilitas dan jaminan objektif lainnya yang memberikan makna penting eksistensi dan produk sekolahan.
 


V. PENDIDIKAN DAN MASYARAKAT   
3.    KELAS SEBAGAI SISTEM SOSIAL
Marilah kita perhatikan suatu kelas. Tiap-tiap kelas mempunyai struktur hierarki. Di sana ada guru ada juga siswa, ada pengurus kelas, ada tata tertib, ada jadwal dan sebagainya. Dalam kelas ada interaksi antara guru dengan guru, antara siswa dengan siswa. Oleh karena kehidupan kelas sama dengan kehidupan sosial. Kehidupan kelas sebagai kehidupan sosial dapat dipandang sebagai kehidupan menurut sistem sosial.
 
Philip Jacson menyatakan bahwa kelas dalam beberapa hal bisa dipersamakan dengan kerumunan orang yang berjejal-jejal para individu. Karena kondisi yang demikian ini maka guru dipacu untuk mengadakan pendisiplinan dan pengontrolan terhadap para siswa. (Sanapiah Faizal, TT, p. 195). Pendisiplinan dan pengontrolan ini dimaksudkan oleh guru agar siswa tidak bertindak semena-mena, kehidupan kelas dapat berjalan sesuai dengan aturan yang telah disepakati bersama. Aturan-aturan dapat dilaksanakan dengan baik jika di sana ada hirarki otoritas yang memiliki suatu kekuasaan dan pembawaan yang telah melembaga. Aturan-aturan dapat berjalan secara baik jika ada serangkaian kegiatan yang melembaga secara teratur dan tetap (rutin).

Dalam rangka membahas kelas sebagai sistem sosial dan segi dinamika sosial Sanapiah Faizal dengan mempergunakan sumber dari Sarane Spence Boocock (1980) mengajukan lima aspek yang perlu diperhatikan. Lima aspek berorientasi pada fungsi kelas sebagai lingkungan belajar yaitu (1) ukuran kelas, (2) komposisi sosial kelas, (3) teknologi kelas, (4) struktur komunikasi, dan (5) suasana sosial.

UKURAN KELAS

Ukuran kelas merupakan persoalan yang banyak dibicarakan. Besar kecilnya kelas berkaitan dengan berbagai pertimbangan. Bagi sekolah-sekolah swasta pertimbangan jumlah siswa banyak ditentukan oleh biaya yang dibutuhkan untuk mengelola satu kelas dan aturan yang berlaku. Sekolah-sekolah negeri berorientasi pada daya tampung dan aturan yang berlaku. Menurut aturan yang berlaku jumlah kelas ditentukan oleh rasio guru dan siswa. Seorang guru sebaiknya menghadapi 25 sampai 35 siswa.
Bila dipandang dari segi guru maka kelas yang kecil adalah menyenangkan. Makin kecil kelas yang dihadapi oleh seorang guru akan memperingan beban kerja yang dihadapi oleh seorang guru. Kelas yang kecil mudah pengelolaannya, sehingga kelas dapat dikontrol dengan baik. Tugas guru yang berkaitan dengan koreksi pekerjaan ujian dan pembuatan laporan menjadi ringan.

Besar kecilnya kelas bila dikaitkan dengan efektivitas dan efisiensi belajar masih banyak diragukan. Jumlah siswa yang kecil itu hannya efektif bagi siswa yang berkemampuan rendah. Bagi siswa-siswa yang kemampuan tinggi jumlah siswa tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar (Porwell, 1978). Oleh karena itu kelas kecil cocok untuk siswa-siswa yang berkelainan terutama anak yang berkelainan mental. Sekolah sekolah untuk anak yang berkelainan rata kelasnya kecil antara 5 sampal 10 siswa. Dilihat dari segi efisiensi kelas yang kecil terlalu banyak pemborosan. Biaya dan tenaga yang dikeluarkan tidak seimbang. Biaya dan tenaga yang dikeluarkan tidak sesuai.
 
Jika perbedaan ukuran kelas hanya kecil umpama 1, 2, atau 3 orang siswa maka pengaruh terhadap basil belajar siswa sangat kecil. Perbedaan sepuluh sampai lima belas siswa mungkin dapat menyebabkan perbedaan hasil belajar.

Kelas yang besar dapat dibagi dalam subkelornpok-subkelompok. Pembagian kelas menjadi kelompok kelompok ini telah banyak dikerjakan baik yang secara langsung ditangani guru maupun ditangani oleh siswa sendiri. Banyak para guru membentuk kelompok-kelompok belajar.

Menurut Mc Keanie yang dikutip Sanapiah Faizal menyatakan bahwa besar kecilnya kelas mempunyai dua konsekuensi. Pertama menambah jumlah siswa dalam kelas berarti menambah informasi yang bersumber dari para siswa. Kedua dengan tambahnya siswa maka guru tidak mungkin memperhatikan semua siswa. Demikian pula partisipasi siswa tidak akan merata. Semua anak dipandang sama pada setiap individu berbeda-beda.
Pembagian kelompok yang baik antara tiga sampai sembilan siswa. (Weick, 1969, p. 24-25). Kelompok yang terdiri dua orang akan terjadi kesatuan dasar tingkah laku yang disebut dwitunggal. Dalam kesatuan dwitunggal akan muncul adanya interaksi yang saling tergantung, gotong royong dan saling bantu membantu. Kelemahannya adalah tidak mengontrol. Jumlah kelompok tiga siswa dapat menimbulkan interaksi saling tergantung dan ada kontrol dari orang ketiga. Penambahan menjadi empat kelompok dapat timbul persekutuan dwitunggal sehingga kehilangan unsur kontrol dalam kelompok. Jumlah 9 untuk kelompok jumlah yang baik karena dapat dibagi menjadi tiga sub kelompok yang terdiri dan tiga kesatuan tritunggal yang masing-masing kelompok dapat mempunyai unsur kontrol dan masing-masing subkelompok dapat menjadi kontrol terhadap subkelompok yang lain.

KONTEK SOSIAL KELAS

Marilah kita perhatikan susunan siswa dari suatu kelas. Kelas pada suatu sekolah di desa dan di kota akan lain, jika dilihat dari ras, suku, dan agama, akan tetapi bila dilihat dari segi umur dan jenis kelamin akan sama komposisinya.

Jika dilihat dari jenis kelamin maka kelas akan menampakkan sifat yang heterogen. Sebab tilap kelas akan terdiri dari siswa putra dan siswa putri. Pada sekolah swasta tertentu dan jenis sekolah tertentu yang siswanya memiliki sifat homogen, umpama Sekolah Menengah Kesejahteraan Keluarga (SMKK) khusus dihadiri siswa putri, STM dihadiri khusus siswa putra. Akan tetapi pemisahan antara siswa putra dan siswa putri pada akhir-akhir ini telah menurun.

Homogenitas kelas jika dilihat dari segi umur telah dikembangkan sejak abad ke-19. Sekarang ini syarat umur untuk suatu kelas telah dilaksanakan secara ketat. Komposisi umur ini sangat penting sebab (1) dapat digunakan pedoman untuk penenimaan siswa baru, (2) siswa dengan sifat dasar sosial yang sama akan memudahkan guru dalam memberikan pelayanan para siswa dalam rangka memilih strategi belajar mengajar yang tepat.

Seperti telah diketahui di muka bahwa dalam satu kelas seorang guru akan berhadapan dengan 25 siswa keatas. Dilihat dari umur guru dan siswa akan berbeda. Perbedaan dari segi umur ini akan mempunyai dampak terhadap keputusan kelas. Segala sesuatu akan cenderung diputuskan oleh guru saja. Hal ini akan menyebabkan kesatuan sosial menjadi pecah. Kondisi kelas yang demikian ini akan menjadikan kelas bukan merupakan suatu komunalitas (Sarason, 1982, p, 182).

Di kota kelas yang heterogen, jika dilihat dari suku, ras dan agama cukup banyak dalam satu kelas ada yang berasal dari Jawa, Sunda, suku Madura dan sebagainya, ada yang beragama Hindu, Budha, Kristen Protestan, Katolik dan Islam. Akan tetapi kebanyakan sekolah siswa-siswa yang beragama Islam merupakan mayonitas. Pada sekolah-sekolah tertentu dan daerah tertentu memang ada kelas yang mayonitas sekolah bukan agama Islam. Akan tetapi untuk daerah tertentu dapat terjadi kelas itu dilihat dari segi agama adalah homogen.

Kelas dilihat dari segi sosial ekonomi lebih cenderung heterogen. Setiap kelas akan dihadiri oleh siswa siswa yang berasal dari kondisi sosial ekonomi orang tua yang berbeda-beda. Ada siswa yang berasal dari kelas sosial yang tinggi, menengah dan rendah untuk kategori daerah itu. Ada siswa yang berasal dari keluarga kaya dan miskin.

Dilihat dari kemampuan siswa suatu kelas cenderung heterogen. Sebab setiap kelas akan mengikuti gejala normal yaitu terdiri dari anak yang pandai, sedang dan kurang pandai. Efek dan kondisi kelas yang demikian ini dilihat dari segi kemampuan terhadap kemampuan kognitif dan afektif masih banyak menjadi pertentangan dari para ahli. Pengelompokkan berdasarkan kemampuan akan kurang tepat jika dilihat secara paedagogis.
  
Golderg dan kawan-kawan (1966) telah mengadakan penelitian terhadap efek homogenitas terhadap kemarnpuan akademik anak. Hasil penelitian itu sebagai berikut:
1.    Kehadiran anak-anak yang berbakat dalam satu kelas mempengaruhi siswa-siswa cakap tetapi tidak berbakat, tetapi untuk siswa-siswa yang lain tidak berpengaruh.
2.    Kehadiran anak lambat belajar dalam kelas tidak berpengaruh secara konsisten, artinya dapat berpengaruh dapat pula tidak.
3.    Siswa-siswa yang berbakat akan bagus penampilannya bila anak-anak itu digabungkan dalam kelas yang sama-sama berbakat. Siswa-siswa lain cenderung untuk berusaha semaksimal mungkin sehingga dapat mengejar kekurangannya, setidak-tidaknya mengurangi jarak kemampuannya.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengelompokan berdasarkan kemampuan tidak memiliki pengaruh kuat terhadap penampilan akademik para siswa. Kehadiran anak-anak yang sangat berbakat dalam kelas mempunyal pengaruh yang positif pada teman di kelasnya, biarpun anak yang berbakat itu paling baik penampilannya bila disatukan dengan anak yang sama bakatnya. Kehadirannya anak yang kurang bcrbakat tidak berpengãruh negarif pada kelasnya.

Menurut Esposito, (1973), McYenley and Mc Genley (1970) kelas yang homogen lebih efektif dan kelas yang heterogen baik dilihat dari segi kemampuan kognitif maupun kemampuan afektif. Anak yang berada dalam kelompok yang berkemampuan tinggi akan memandang rendah pada anak yang berada dalam kelompok yang berkemampuan rendah. Anak yang berkemampuan tinggi yang berada dalam kelompok yang heterogen akan memandang rendah bagi anggota yang berkemampuan rendah. Anak-anak yang ditempatkan pada kelompok homogen yang berkemampuan rendah akan cenderung lebih rendah dan anak yang ditempatkan dalam kelompok yang heterogen. Dampak negatif pada kelompok rendah adalah pada harga diri anak.

TEKNOLOGI KELAS

Tiap kelas pada umumnya benisi sejumlah meja dan kursi untuk siswa, satu almari dan sederet alat peraga yang terpampang di sudut kelas dan dinding kelas. Pada kelas-kelas di SD kondisi ini lebih syarat muatan dibanding dengan SLTP, dan SLTP lebih syarat muatan dibanding dengan SLTA. Pada pendidikan tinggi kondisi kelas boleh dibilang jauh dari muatan pada sekolah dasar. Sehingga anak-anak SD lebih tertutup dibanding dengan jenjang pendidikan yang lain, sebab segala sesuatu telah disediakan di kelas.

Penempatan duduk anak pada tiap kelas mencerminkan sikap guru terhadap siswa Penempatan tempat duduk banyak berkaitan dengan kemampuan anak, jenis kelainan anak. Anak yang pendek, dan kurang pendengarannya diletakkan di muka, anak yang suka usil dan mengganggu temannya ditempatkan dekat guru, anak putri ditempatkan di muka, anak yang berkelainan pendengaran ditempatkan di tengah. Demikian pula anak yang pandai ditempatkan ditengah-tengah yang kurang pandai. Penempatan ini di samping mempertimbangkan aspek moral, juga aspek strategi belajar mengajar, aspek kemampuan, aspek fisik dan aspek sosial. Aspek moral menyangkut pengontrolan guru terhadap tingkah laku siswa, aspek strategi belajar berkaitan dengan memilih cara mengajar yang memungkinkan siswa banyak terlibat dalam proses belajar mengajar, Aspek kemampuan kognitif berkaitan dengan mengefektifkan kemampuan anak untuk dapat membantu anak dalam proses belajar mengajar, Aspek fisik berkaitan dengan kemudahan interaksi siswa dengan siswa, dan guru dengan siswa. Aspek sosial menyangkut pola kerja sama dalam kelas.

Dilihat dari para ahli sosiologi maka perhatian para sosiolog banyak dicurahkan pada inovasi lingkungan responsif dan sekolah terbuka. (Sanapiah, TT, 210-215).

More dan Anderson (1969) telah mengadakan peneltian terhadap lingkungan yang responsif ini terhadap keberhasilan belajar. Di Indonesia juga telah diteliti oleh Conny Semiawan (1978) dengan istilah Lingkungan Belajar yang Mengundang (LBM) untuk anak retardasi mental. Lingkungan yang responsif merupakan perpaduan antara pengaturan ruangan dan perlengkapannya serta media belajar yang ada dengan tujuan agar dapat menarik, memberi kebebasan, bertindak, dan memisahkan siswa dari campur tangan guru, memberi kesempatan untuk dapat mengejar kecepatan pada diri sendiri dan memberi umpan balik secara langsung pada hasil kerjanya. Dari hasil penelitian More dengan menggunakan komputer adalah pada meningkatnya interaksi sosial. Anak yang belajar dengan mempergunakan komputer hasilnya akan meningkat jika Selama bekerja anak didampingi oleh guru. Oleh karena itu yang nampak penting di sini adalah tindakan untuk mendapatkan respon dan guru, bukan semata-mata penggunakan teknologi. Dan penelitian Conny Semiawan disimpulkan bahwa Lingkungan Belajar yang Mengundang dapat meningkatkan perkembangan mental anak retardisi mental.

Pengaturan serupa juga diterapkan pada kelas tebuka. Pengaturan ini memadukan antara elemen teknologi dan struktur sosial. Model kelas terbuka dibuat sedemikian rupa sehingga memungkinkan fleksibilitas dalam menggunakan ruangan fisik.
 
Silbermen (1972), Bart (1972), Epstein dan Parland (1976) dalam pendidikan pada kelas terbuka guru hanya menjalankan peranan komplementer dan tidak begitu banyak mengontrol perlengkapan, materi, tugas, kecepatan dan evaluasi. Oleh karena itu siswa mempunyai kesempatan yang besar dalam mengadakan interaksi, siswa mempunyai hak otonomi pengaturan waktu belajar di sekolah, kegiatan belajar menjadi beraneka ragam.

Dari berbagai penelitian dapat disimpulkan bahwa (1) kelas terbuka merupakan salah satu bentuk inovasi pendidikan dalarm teknologi pengajaran yang tidak mengubah pola interaks dalam kelas. (Wilberg dan Thomas, 1972) (2) Dilihat dan jaringan sosial maka siswa-siswa pada kelas terbuka lebih akrab dengan semua orang bila dibandingkan dengan sekolah tradisional (Brody dan Zimmeerman, 1975). (3) Bila dibanding antara pendidikan tradisional dan kelas terbuka maka hasil tes kreativitas, harga diri, pengendalian diri dan perkembangan kognitif tidak berbeda, biarpun ada perbedaan untuk belajar terus-menerus pada sekolah terbuka lebih tinggi dari pada sekolah tradisional (Wriht, 1975, P. 461). (4) Situasi kehidupan kelas terbuka lebih menyerupai situasi kehidupan pada masyarakat bila dibandingkan dengan kelas tradisional.

KOMUNIKASI DALAM KELAS

Sepanjang hari-hari sekolah terjadi percakapan antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa. Dalam interaksi itu terjadi komunikasi. Dalam proses belajar mengajar terjadi penyampaian informasi.

Pola komunikasi dalam interaksi belajar mengajar ada bermacam WF Connell (1972, p. 244) membagi pola komunikasi dalam kelas itu ada 4 macam.
1.    Pola komunikasi satu arah: dalam pola komunikasi satu arah ini terjadi komunikasi, di mana guru menyampaikan informasi kepada sekelompok siswa. Siswa mendengarkan dan mencatat informasi dari guru. Antara guru dan siswa ada garis pemisah yang tegas.
 
2.    Pola komunikasi dua arah: dalam pola komunikasi dua arah terjadi interaksi. antara guru dengan siswa satu per satu. Antara guru dan siswa ada garis pemisah yang longgar. Siswa tidak hanya mendengar dan mencatat tetapi siswa sudah dapat bertanya dan menjawab pertanyaan guru.
 
3.    Pola komunikasi tiga arah: dalam pola komunikasi tiga arah ini terjadi interaksi antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa. Antara guru dan siswa ada garis pemisah yang longgar. Siswa tidak sekedar mendengar, mencatat bertanya dan menjawab pertanyaan guru, tetapi siswa dapat bertanya dan menjawab pertanyaan guru, tetapi siswa dapat bertanya dan menjawab pertanyaan siswa yang lain.
 
4.    Pola komunikasi ganda arah (multi dimensi): dalam pola komunikasi ganda arah ini terjadi interaksi antara siswa dengan siswa. Komunikasi dengan guru hanya bila perlu saja. Antara guru dan siswa tidak ada garis pemisah.
Jika keempat pola itu kita perhatikan maka pola kelima yang paling memberi kesempatan kepada siswa untuk memutuskan sendiri apa yang mau dipelajari secara bersama-sama dalam kelompoknya. Siswa dipandang sebagai individu yang dapat merencanakan apa yang akan dipelajari bersama. Guru sebagai sumber informasi hanya sebagai fasilitator dan dinamisator pada kehidupan kelompok.

SUASANA SOSIAL DALAM KELAS

Dalam kehidupan kelas terjadi komunikasi antara guru dan siswa dan antara siswa dan siswa. Interaksi dalam kelas tidak selalu berjalan dengan tenang, damai, tenteram, hangat, penuh keakraban dan sebagainya, akan tetapi sering juga terjadi situasi persaingan yang tidak sehat, pertentangan pendapat yang menjurus percekcokkan dan bahkan terjadi perkelahian.

Menurut para ahli sosiologi kondisi kehidupan semacam itu disebut iklim sosial atau suasana sosial (social climate) (Sanapiah Faizal, TT, p. 226). Richard Schmuh dan Patricia A Schmuch (1983) mengatakan bahwa istilah iklim kelas dapat berupa penerapan hubungan perasaan dalam pribadi yang diasosiasikan ke dalam pola-pola interaksi, seperti reaksi emosional terhadap kelompok, rasa puas terhadap kelompok dan rasa frustasi dan sebagainya.

Jadi iklim kelas merupakan suasana kelas di mana terjadi interaksi antar-slswa dan interaksi antara guru dan siswa secara pribadi. Interaksi ini dapat menimbulkan suasana kelas yang posistif dapat pula menimbulkan suasana kelas yang negatif.

Suasana kelas yang positif akan terjadi bila, terjadi interaksi dalam kelas antara guru dan siswa, antara siswa dan siswa, di mana dalam interaksi itu terjadi komunikasi dalam bentuk kerjasania, tolong-menolong, tenggang rasa antara anak yang pandai dan yang kurang pandai, antara yang kaya dan yang kurang mampu, norma-norma pergaulan hidup dan tata tertib kelas maupun sekolah dipatuhi dengan disiplin yang luwes, terjadi komunikasi yang terbuka. Hal ini berarti bahwa tiap peserta didik dan guru harus dijauhkan oleh rasa curiga-mencurigai, berani mengakui kesalahan, jika memang berbuat salah, siswa berani menyalahkan guru jika guru menjelaskan sesuatu yang salah. Pendek kata baik peserta didik maupun pendidik siap sedia dikritik dan mengkritik yang bersifat membangun. Dengan demikian akan terjadi suasana kelas yang selalu menyenangkan, hidup, di mana tiap orang berusaha menghargai dan menghargai martabat orang lain sebagaimana adanya bukan sebagaimana nampaknya.

Suasana kelas dipengaruhi oleh gaya (style) dan guru dalam interaksi di kelas. Jeanne H. Ballatinne (1983) membedakan gaya interaksi dalam kelas itu menjadi tiga gaya yaitu diktator, demokrasi dan liberal. Gaya interaksi diktator akan menimbuilcan siswa menjadi takut dan segala sesuatu berjalan dengan komando atau perintah dari guru. Suasana kelas menjadi kaku, dan mati. Suasana kelas tenang karena siswa dicekam rasa takut. Tujuan yang akan dicapai hanya diketahui oleh guru saja. Jika guru tidak ada di kelas suasana menjadi gaduh. Gaya guru yang liberal menimbulkan suasana kelas kacau, guru kurang wibawa, anak akan bertindak liar, dapat terjadi suasana yang sukar dikendalikan. Tujuan yang akan dicapai kurang jelas. Gaya guru yang demokratis dalam interaksi akan menimbulkan suasana yang diliputi oleh hubungan siswa dengan siswa secara tolong-menolong, tenggang rasa, guru dan siswa bekerja sesuai dengan peran masing-masing dalam interaksi belajar mengajar. Suasana kelas menjadi hangat dan menyenangkan, sehingga baik guru maupun siswa tahan tinggal di sekolah. Inisiatif tidak selalu timbul dan guru, tetapi kadang-kadang juga timbul dari siswa. Tujuan yang akan dicapai sama-sama diketahui siswa dan guru.

Dari hasil-hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Anderson yang dikutip WF Conneil (1972, p. 1944) menunjukkan bahwa suasana kelas yang hangat, akrab dan dominasi guru terhadap siswa longgar dapat menyebabkan timbulnya banyak partisipasi dalam kelas, memberikan kesempatan yang banyak bagi siswa untuk menyatakan pendapatnya, menimbulkan banyak pola-pola kerja sama antar siswa dan terjadi diskusi kelas yang sehat dan akhimya dapat meningkatkan prestasi belajar para siswa.
 


V. PENDIDIKAN DAN MASYARAKAT   
4.    PERANAN GURU DALAM PENDIDIKAN
TUGAS GURU

Daoed Yoesoef (1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (sivic mission). Jika dikaitkan pembahasan tentang kebudayaan, maka tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika.

Tugas-tugas profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya diketahui oleh anak.

Tugas manusiawi adalah tugas-tugas membantu anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusiawi itu adalah transformasi diri, identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri.

Usaha membantu kearah ini seharusnya diberikan dalam rangka pengertian bahwa manusia hidup dalam satu unit organik dalam keseluruhan integralitasnya seperti yang telah digambarkan di atas. Hal ini berarti bahwa tugas pertama dan kedua harus dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu. Guru seharusnya dengan melalui pendidikan mampu membantu anak didik untuk mengembangkan daya berpikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga mampu untuk turut serta secara kreatif dalam proses transformasi kebudayaan ke arah keadaban demi perbaikan hidupnya sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat di mana dia hidup.

Tugas kemasyarakatan merupakan konsekuensi guru sebagai warga negara yang baik, turut mengemban dan melaksanakan apa-apa yang telah digariskan oleh bangsa dan negara lewat UUD 1945 dan GBHN.

Ketiga tugas guru itu harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis dan dinamis. Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi seorang guru harus mampu menjadi katalisator, motivator dan dinamisator pembangunan tempat di mana ia bertempat tinggal.

Ketiga tugas ini jika dipandang dari segi anak didik maka guru harus memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang, pilihan nilai hidup dan praktek-praktek komunikasi. Pengetahuan yang kita berikan kepada anak didik harus mampu membuat anak didik itu pada akhimya mampu memilih nilai-nilai hidup yang semakin komplek dan harus mampu membuat anak didik berkomunikasi dengan sesamanya di dalam masyarakat, oleh karena anak didik ini tidak akan hidup mengasingkan diri. Kita mengetahui cara manusia berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya melalui bahasa tetapi dapat juga melalui gerak, berupa tari-tarian, melalui suara (lagu, nyanyian), dapat melalui warna dan garis-garis (lukisan-lukisan), melalui bentuk berupa ukiran, atau melalui simbul-simbul dan tanda tanda yang biasanya disebut rumus-rumus.

Jadi nilai-nilai yang diteruskan oleh guru atau tenaga kependidikan dalam rangka melaksanakan tugasnya, tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan, apabila diutarakan sekaligus merupakan pengetahuan, pilihan hidup dan praktek komunikasi. Jadi walaupun pengutaraannya berbeda namanya, oleh karena dipandang dari sudut guru dan dan sudut siswa, namun yang diberikan itu adalah nilai yang sama, maka pendidikan tenaga kependidikan pada umumnya dan guru pada khususnya sebagai pembinaan prajabatan, bertitik berat sekaligus dan sama beratnya pada tiga hal, yaitu melatih mahasiswa, calon guru atau calon tenaga kependidikan untuk mampu menjadi guru atau tenaga kependidikan yang baik, khususnya dalam hal ini untuk mampu bagi yang bersangkutan untuk melaksanakan tugas profesional.

Selanjutnya, pembinaan prajabatan melalui pendidikan guru ini harus mampu mendidik mahasiswa calon guru atau calon tenaga kependidikan untuk menjadi manusia, person (pribadi) dan tidak hanya menjadi teachers (pengajar) atau (pendidik) educator, dan orang ini kita didik untuk menjadi manusia dalam artian menjadi makhluk yang berbudaya. Sebab kebudayaanlah yang membedakan makhluk manusia dengan makhluk hewan. Kita tidak dapat mengatakan bahwa hewan berbudaya, tetapi kita dapat mengatakan bahwa makhluk manusia adalah berbudaya, artinya di sini jelas kalau yang pertama yaitu training menyiapkan orang itu menjadi guru, membuatnya menjadi terpelajar, aspek yang kedua mendidiknya menjadi manusia yang berbudaya, sebab sesudah terpelajar tidak dengan sendininya orang menjadi berbudaya, sebab seorang yang dididik dengan baik tidak dengan sendininya menjadi manusia yang berbudaya.

Memang lebih mudah membuat manusia itu berbudaya kalau ia terdidik atau terpelajar, akan tetapi orang yang terdidik dan terpelajar tidak dengan sendirinya berbudaya. Maka mengingat pendidikan ini sebagai pembinaan pra jabatan yaitu di satu pihak mempersiapkan mereka untuk menjadi guru dan di lain pihak membuat mereka menjadi manusia dalam artian manusia berbudaya, kiranya perlu dikemukakan mengapa guru itu harus menjadi rnanusia berbudaya. Oleh kanena pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan; jadi pendidikan dapat berfungsi melaksanakan hakikat sebagai bagian dari kebudayaan kalau yang melaksanakannya juga berbudaya. Untuk menyiapkan guru yang juga manusia berbudaya ini tergantung 3 elemen pokok yaitu :
1.    Orang yang disiapkan menjadi guru ini melalui prajabatan (initial training) harus mampu menguasai satu atau beberapa disiplin ilmu yang akan diajarkannya di sekolah melalui jalur pendidikan, paling tidak pendidikan formal. Tidak mungkin seseorang dapat dianggap sebagai guru atau tenaga kependidikan yang baik di satu bidang pengetahuan kalau dia tidak menguasai pengetahuan itu dengan baik. Ini bukan berarti bahwa seseorang yang menguasai ilmu pengetahuan dengan baik dapat menjadi guru yang baik, oleh karena biar bagaimanapun mengajar adalah seni. Tetapi sebaliknya biar bagaimanapun mahirnya orang menguasai seni mengajar (art of teaching), selama ia tidak punya sesuatu yang akan diajarkannya tentu ia tidak akan pantas dianggap menjadi guru.
 
2.    Guru tidak hanya harus menguasai satu atau beberapa disiplin keilmuan yang harus dapat diajarkannya, ia harus juga mendapat pendidikan kebudayaan yang mendasar untuk aspek manusiawinya. Jadi di samping membiasakan mereka untuk mampu menguasai pengetahuan yang dalam, juga membantu mereka untuk dapat menguasai satu dasar kebudayaan yang kuat. Jadi bagi guru-guru juga perlu diberikan dasar pendidikan umum.
 
3.    Pendidikan terhadap guru atau tenaga kependidikan dalam dirinya seharusnya merupakan satu pengantar intelektual dan praktis kearah karir pendidikan yang dalam dirinya (secara ideal kita harus mampu melaksanakannya) meliputi pemagangan. Mengapa perlu pemagangan, karena mengajar seperti juga pekerjaan dokter adalah seni. Sehingga ada istilah yang populer di dalam masyarakat tentang dokter yang bertangan dingin dan dokter yang bertangan panas, padahal ilmu yang diberikan sama. Oleh karena mengajar dan pekerjaan dokter merupakan art (kiat), maka diperlukan pemagangan. Karena art tidak dapat diajarkan adalah teknik mengajar, teknik untuk kedokteran. Segala sesuatu yang kita anggap kiat, begitu dapat diajarkan diakalau menjadi teknik. Akan tetapi kalau kiat ini tidak dapat diajarkan bukan berarti tidak dapat dipelajari. Untuk ini orang harus aktif mempelajarinya dan mempelajari kiat ini harus melalui pemagangan dengan jalan memperhatikan orang itu berhasil dan mengapa orang lain tidak berhasil, mengapa yang satu lebih berhasil, mengapa yang lain kurang berhasil.
PERAN GURU

WF Connell (1972) membedakan tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga.

Peran guru sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan dengan tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter), tugas-tugas pengawasan dan pembinaan (supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar anak itu menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat. Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang dewasa yang lain, moralitas tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan dan keterampilan dasar, persiapan.untuk perkawinan dan hidup berkeluarga, pemilihan jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal dan spiritual. Oleh karena itu tugas guru dapat disebut pendidik dan pemeliharaan anak. Guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak agar tingkat laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.

Peran guru sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.

Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru harus memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah seperti persiapan perkawinan dan kehidupan keluarga, hasil belajar yang berupa tingkah laku pribadi dan spiritual dan memilih pekerjaan di masyarakat, hasil belajar yang berkaitan dengan tanggurfg jawab sosial tingkah laku sosial anak. Kurikulum harus berisi hal-hal tersebut di atas sehingga anak memiliki pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh bangsa dan negaranya, mempunyai pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup dalam masyarakat dan pengetahuan untuk mengembangkan kemampuannya lebih lanjut.

Peran guru sebagai pelajar (leamer). Seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan agar supaya pengetahuan dan keterampilan yang dirnilikinya tidak ketinggalan jaman. Pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai tidak hanya terbatas pada pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan tugas profesional, tetapi juga tugas kemasyarakatan maupun tugas kemanusiaan.

Peran guru sebagai setiawan dalam lembaga pendidikan. Seorang guru diharapkan dapat membantu kawannya yang memerlukan bantuan dalam mengembangkan kemampuannya. Bantuan dapat secara langsung melalui pertemuan-pertemuan resmi maupun pertemuan insidental.

Peranan guru sebagai komunikator pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat berperan aktif dalam pembangunan di segala bidang yang sedang dilakukan. Ia dapat mengembangkan kemampuannya pada bidang-bidang dikuasainya.

Guru sebagai administrator. Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi juga sebagai administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu seorang guru dituntut bekerja secara administrasi teratur. Segala pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Sebab administrasi yang dikerjakan seperti membuat rencana mengajar, mencatat hasil belajar dan sebagainya merupakan dokumen yang berharga bahwa ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik.
 


VI. KELUARGA, TEMAN SEBAYA DAN PENDIDIKAN   
1.    KELUARGA SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN
Pendidikan keluarga merupakan bagian integral dari sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Oleh karena itu norma-norma hukum yang berlaku bagi pendidikan di Indonesia juga berlaku bagi pendidikan dalam keluarga.

Dasar hukum pendidikan di Indonesia dibagi menjadi tiga dasar yaitu dasar hukum Ideal, dasar hukum Struktural dan dasar hukum Operasional. Dasar hukum ideal adalah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum. Oleh karena itu landasan ideal pendidikan keluarga di Indonesia adalah Pancasila. Tiap-tiap orang tua mempunyai kewajiban untuk menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila pada anak anaknya.

Landasan Struktural pendidikan di Indonesia adalah UUD 1945. Dalam pasal 31 ayat 1 dan 2 dijelaskan bahwa setiap warga berhak mendapatkan pengajaran dan pemeritah mengusahakan sistem pengajaran nasional yang diatur dalam suatu perundang-undangan. Berdasarkan pasal 31 UUD 1945 itu maka ditetapkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendldikan NasionaL Berdasarkan Bab IV, pasal 9 ayat 1 disebutkan bahwa satuan pendidikan menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar yang dilaksanakan di sekolah dan di luar sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus dan satuan pendidikan yang sejenis. Dari kutipan ini dapat disimpulkan bahwa orang tua itu mempunyai wajib hukum untuk mendidik anak-anaknya. Kegagalan pendidikan yang merupakan kegagalan dalam pendidikan. Keberbasilan anak dalam pendidikan yang merupakan keberhasilan pendidikan dalam keluarga.

Berdasarkan Tap MPR No. II/MPR/1988 seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan itu berdasarkan atas Pancasila dasar dan fa]safah negara. Di samping itu dijelaskan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu secara operasional pendidikan anak yang berlangsung dalam keluarga, masyarakat dan sekolah merupakan tanggung jawab orang tua juga. Pendidikan dalam keluarga berlangsung karena hukum kodrat. Secara kodrati orang tua wajib mendidik anak. Oleh karena itu orang tua disebut pendidikan alami atau pendidikan kodrat.

PERAN ORANG TUA DALAM KELUARGA

Jika diperhatikan sungguh kehidupan keluarga itu tampak tidak satu tetapi kesatuan. Menurut Driarkara SY, kesatuan ini dapat disebut bhineka tunggal (Pengasuh Majalah Basis, 1980, p.96). Bhineka tunggal karena dalam kesatuan hidup terlibat saling hubungan antara ayah-ibu-anak. Oleh karena itu dalam keluarga terjadi strukturalisasi. Dalam sirukturalisasi akan terjadi deferensiasi kerja. Pembagian tugas dan peran dalam keluarga mernbawa konsekuensi dan tanggung jawab pada masing-masing peran itu dalam keluarga.

Seperti telah kita katakan di muka bahwa dalam keluarga itu terdapat susunan keluarga yang terdiri orang tua dan anak. Orang tua terdiri dan ayah dan ibu. Bambang Yunawan (1983) menyatakan bahwa susunan anak dalam keluarga terdiri dan anak sulung, anak tengah, anak bungsu dan anak tunggal (Singgib D. Gunarsa, Ny. Y, Singgth D. Gunarsa ed, 1983, p. 174). Sedang Agus Suyanto dalam kaitannya anak yang perlu mendapat perhatian adalah anak tiri, anak tunggal, anak sulung, anak bungsu dan anak pungut (Agus Suyanto, 1981, p.147).

Dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa susunan anak dalam keluarga itu ada kemungkinan hanya ada satu yaitu anak tunggal atau anak pungut atau anak tiri. Ada susunan anak dalam keluarga itu lebih dari dua. Maka dalam keluarga itu akan ada susunan anak sulung, anak tengah dan anak bungsu.

Dalam susunan keluarga yang demikian inilah yang memungkinkan terjadi defrensiasi dan stratifikasi tugas dalam keluarga. Sehingga tugas ayah akan berbeda dengan tugas ibu, tugas ayah dan ibu akan berbeda dengan tugas anak, tugas anak, tugas anak tunggal dan berbeda dengan tugas anak dalam keluarga yang jumlah anaknya besar. Anak sulung akan mempunyai tugas yang lain dengan anak bungsu atau anak tengah dan sebagainya.

PERAN AYAH DALAM KELUARGA

Dari tujuan psikologis dan jasmaniah pria yang kawin lebih menguntungkan. Dari hasil penelitian Jessie Benard tentang setelah kawin yang dikutip oleh Sikun Pribadi menunjukkan bahwa dilihat (1) sifat murung dari laki-laki yang kawin sebesar 37% dan yang tidak kawin 50%, (2) gejala-gejala sakit syaraf yang senius laki-laki yang kawin 17% dan yang tidak kawin 30%, (3) kecemasan laki-laki yang kawin 30% dan laki-laki yang tidak kawin sebesar 40%, (4) kepastian laki-laki yang kawin 50% dan laki-laki yang tidak kawin 60%. Dari hasil peneitian ini dapat disimpulkan, dilihat secara psikis laki-laki yang kawin lebih sedikit yang dilandasi kelainan psikis.

Dilihat dari gangguan kesehatan laki-laki yang kawin lebih rendah dari pada laki-laki yang tidak kawin. Makin tua gangguan kesehatan memang makin tinggi, tetapi persentase gangguan kesehatan laki-laki yang kawin lebih rendah dani pada laki-laki yang tidak kawin. Sebagai contoh gangguan kesehatan pada lakai-laki yang kawin 11.7% dan yang tidak kawin 20.5% pada umur 20 - 29 tahun. Sedang pada umur 50- 59 tahun laki-laki yang kawin sebesar 25.7% dan laki-laki yang tidak kawin 46.1%.

Perkawinan membawa konsekuensi yang berupa tanggung jawab yang melekat pada peran ganda seorang ayah. B. Simanjuntak dan I.I. Pasanibu menyatakan bahwa peran ayah itu adalah (1) surnber kekuasaan sebagai dasar identifikasi, (2) penghubung dunia luar, (3) pelindung ancaman dunia luar dan (4) pendidik segi rasional (B. Simanjuntak, II Pasaribu, 1981, p.110). Sikun Pribadi membagi peran ayah menjadi (1) pemimpin keluarga, (2) sex poster, (3) pencari nafkah, (4) pendidik anak-anak, (5) tokoh identifikasi anak, (6) pembantu pengurus rumah tangga.

Dari dua pendapat tersebut ternyata tidak berbeda dan justru melengkapi. Ayah sebagai pemimpin dalam keluarga disebut juga kepala keluarga atau kepala rumah tangga. Oleh karena itu ayah memegang kekuasaan di dalam keluarga. Ayah berperan sebagai pengendali jalannya rumah tangga dalam keluaga. Sebagai pemimpin keluarga orang tua wajib mempunyai pedoman hidup yang mantap, agar jalannya rumah tangga dapat berjalan dengan lancar menuju tujuan yang telah dicita-citakan. Secara psikologis diketahui pedoman hidup yang mantap dan kuat merupakan salah satu ciri maskulinitas dalam suatu “Aku” yang kuat, yang mampu melihat dan menghadapi segala jenis kenyataan hidup duniawi. Pedoman hidup juga mengimplikasikan adad cita-cita yang luhur, yang dapat membawa keluarganya kepada kehidupan dunia akhirat. Seorang ayah sebagai warga negara Indonesia harus menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur Pancacila, serta menanamkan kepada anak anaknya agar anak menjadi warga negara yang pancasilais.

Ayah sebagai sex partner :
Ayah merupakan sex partner yang Setia bagi istrinya. Sebagai sex partner, seorang ayah harus dapat melaksanakan peran ini dengan diliputi oleh rasa cinta kasih yang mendalam. Seorang ayah harus mampu mencintai istrinya dan jangan selalu minta dicintai oleh istrinya.

Ayah sebagai pencari nafkah :
Tugas ayah sebagai pencari nafkah merupakan tugas yang sangat penting dalam keluarga. Penghasilan yang cukup dalam keluarga mempunyai dampak yang baik sekali dalam keluarga. Penghasilan yang kurang cukup menyebabkan kehidupan keluarga yang kurang lancar. Lemah kuatnya ekonomi tergantung pada penghasilan ayah. Sebab segala segi kehidupan dalam keluarga perlu biaya untuk sandang, pangan, perumahan, pendidikan dan pengobatan. Untuk seorang ayah harus mempunyai pekerjaan yang basilnya dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Ayah sebagai pendidik :
Peran ayah sebagai pendidik merupakan peran yang penting. Sebab peran ini menyangkut perkembangan peran dan pertumbuhan pribadi anak. Ayah sebagai pendidik terutama menyangkut pendidikan yang bersifat rasional. Pendidikan mulai diperlukan sejak anak umur tiga tahun ke atas, yaitu saat anak mulai mengembangkan ego dan super egonya. Kekuatan ego (aku) ini sangat diperlukan untuk mengembangkan kemampuan realitas hidup yang terdiri dari segala jenis persoalan yang harus dipecahkan.

Ayah sebagai tokoh atau modal identifikasi anak :
Ayah sebagai modal sangat diperlukan bagi anak-anak untuk identifikasi diri dalam rangka membentuk super ego (aku ideal) yang kuat. Super ego merupakan fungsi kepribadian yang memberikan pegangan hidup yang benar, susila dan baik. Oleh karena itu seorang ayah harus memiliki pribadi yang kuat. Pribadi ayah yang kuat akan memberikan makna bagi pembentukan pribadi anak. Pribadi anak mulai terbentuk sejak anak itu mencari “Aku” dirinya. Aku ini akan terbentuk dengan balk jika ayah sebagai model dapat memberikan kepuasan bagi anak untuk identifikasi diri.

Ayah sebagai pembantu pengurus rumah tangga :
Pengurusan rumah tangga merupakan tanggung jawab ibu sebagai istri. Dalam perkembangan lebih lanjut maka ayah diperlukan sebagai pengelola kerumahtanggaan. Sebab keluarga merupakan lembaga sosial yang mengelola segala keperluan yang menyangkut banyak segi. Oleh karena itu ayah sebagai kepala keluarga juga ikut bertanggung jawab dalam jalannya keluarga sebagai lembaga sosial yang memerankan berbagai fungsi kehidupan manusia. Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ayah mempunyai banyak peran (berperan ganda). Agar dapat melaksanakan peran ganda ini maka seorang ayah dituntut untuk bekerja keras, dan berpengetahuan yang memadai. Pengetahuan ini sangat diperlukan karena persoalan-persoalan kehidupan makin lama makin sulit dan kompleks.

PERAN IBU DALAM KELUARGA

Kartini Kartono (1977) menyebutkan bahwa fungsi wanita dalam keluarga sebagai berikut (1) sebagai istrl dan teman hidup (2) sebagai partner seksual (3) sebagai pengatur rumah tangga (4) sebagai ibu dan pendidik anak-anaknya, (5) sebagai makhluk sosial yang ingin berpartisipasi aktif dalam lingkungan sosial. Sikun Pribadi (1981) menyatakan bahwa peranan wanita dalam keluarga adalah (1) sebagai istri (.2) sebagai pengurus rumah tangga (3) sebagai ibu dari anak-anak, (4) sebagai teman hidup dan (5) sebagai makhluk sosial yang ingin mengadakan hubungan sosial yang intim. Kedua pendapat tersebut ternyata dapat sama, hanya penempatan urutan dan kombinasi peran yang brbeda. Nani Suwondo (1981) menyatakan bahwa wanita dalam keluarga itu mempunyai panca tugas yaitu (1) sebagai istri (2) sebagai ibu pendidik (3) sebagai ibu pengatur rumah tangga (4) sebagai tenaga kerja (5) sebagai anggota organisasi masyarakat.

Jika ketiga pendapat tersebu kita bandingkan maka pendapat Nani Suwondo menambah satu peran
Wanita sebagai isteri. Ibu sebagai istri sekaligus sebagai seks partner bagi suami dan juga sebagai teman hidup bagi suami. Ibu sebagai isteri merupakan pendamping suami, sebagai sahabat dan kekasih yang bersama-sama membina keluarga sejahtera. Oleh karena itu di lembaga-lembaga pemerintah di mana suami bekerja maka ia akan menjadi anggota organisasi yang ada di tempat suami bekerja.

Wanita sebagai ibu pendidik anak dan pembina generasi muda :
Ibu sebagai pendidik anak bertanggung jawab agar anak-anak dibekali kekuatan rohani maupun jasmani dalam menghadapi segala tantangan zaman dan menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa.

Ibu sebagai pengatur rumah tangga :
Ibu pengatur rumah tangga merupakan tugas yang berat. Sebab seorang ibu harus dapat mengatur segala peraturan rumah tangga. Oleh karena itu ibu dapat dikatakan sebagai administrator dalam kehidupan keluarga. Oleh karena itu ibu harus dapat mengatur waktu dan tenaga sescara bijaksana.

Ibu sebagai tenaga kerja :
Dalam perkembangan sekarang ini dapat dikatakan baik di desa maupun di kota tampak bahwa ibu juga berperan sebagai pencari nafkah. Di pasar, di kantor, di persawahan, ibu-ibu ikut berkerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Istri-istri yang bekerja memang sangat berat, sebab di samping mengurus keluarga dan mendidik anak masih harus mencari tambahan penghasilan. Akan tetapi juga banyak justru ibulah yang berfungsi pencari nafkah. Sebab penghasilan ibu lebih banyak dari penghasilan ayah. Oleh karena itu jika kedua-duanya bekerja, maka harus ada kesepakatan yang kuat dan bijaksana sehingga tidak menjadikan keluarga sebagai terminal bis yang selalu gaduh.

Ibu sebagai makhluk sosial :
Ibu sebagai makhluk sosial tidaklah cukup berfungsi (1) beranak, (2) bersolek, (3) memasak atau seperti predikat ibu di Barat ibu hanya mengurusi (1) anak, (2) pakaian, (3) dapur, (4) makanan saja (Hardjito Notopuro, 1984, p.45). Ibu sebagai makhluk sosial perlu diberi peran dalam masyarakat dan lembaga-lembaga sosial dan politik. Di desa-desa ibu berperan aktif dalam PKK, baik sebagai anggota maupun sebagai pengurus, di kantor-kantor ia diberi kesempatan untuk mendampingi suami sebagai pengurus atau anggota Darma Wanita, Darma Pertiwi dan sebagainya. Ibu dengan tugas-tugas ini akan merasa puas dan banagia, jika semua tugas itu dapat dilaksanakan sebaik-baiknya.

JENIS-JENIS PENDIDIKAN DALAM KELUARGA

Jenis-jenis pendidikan yang perlu diberikan pada anak. Dalam keluarga diberikan bermacam-macam kemampuan jika diperhatikan kegiatan di dalam rumah tangga maka terjadi transformasi nilai-nilai yang beraneka ragam. Anak laki-laki bersama-sama ayahnya mencuci sepeda motor, memperbaiki sesuatu di rumah, ia bersama-sama bersembahyang dengan ayahnya di rumah atau di masjid. Anak putri bersama ibu membantu memasak, mengatur tempat tidur, menyapu dan sebagainya. Fenomena kehidupan ini dapat dilihat sebagai suatu proses kegiatan mendidik. Di sini terjadi usaha ayah atau ibu untuk membawa anaknya ke dalam lingkungan (N. Driyarkara S.Y), orang dewasa ingin membawa ke dalarn dunia nilai.

Nilai ada bermacam-macam, Driyarkara S.Y. yang dikutip dalam Pengasuh Basis (1980), (1) nilai vital, (2) nilai estetik, (3) nilai kebenaran dan (4) nilai moral Anton Sukarno (1986) membagi nilai menjadi (1) nilai material, (2) nilai vital, dan (3) nilai rohaniah yang terdiri dari nilai kebenaran, nilai moral, nilai keindahan dan nilai religius.

Dari dua pendapat tersebut tidak terdapat perbedaan. Nilai material menurut Driyarkara termasuk nilai vital. Nilai material berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan jasmani, seperti pakaian, bermacam-macam perhiasan, kendaraan, rumah dan sebagainya. Nilai vital semua barang yang dapat memenuhi kebutuhan hidup kejasmaniah , umpama beras, ketela, buah-buahan, daging, sayur-sayuran, air dan sebagainya. Menurut Driyarkara SY.nilai vital semua yang dapat menyelenggarakan, mempertahankan dan memperkembangkan hidup manusia menurut aspek kejasmanian disebkan nilai vital. Termasuk golongan nilai vital ini adalah perumahan, pakaian, obat-obatan dan sebagainya. Jadi Driyarkara menggabungkan antara nilai material dan nilai vital.

Nilai-nilai yang menyebabkan seseorang dapat merasakan bahagian dengan mengalami barang-barang yang bagus dan indah disebut nilai estetika atau nilai keindahan. Oleh karena itu orang menciptakan berbagai macam nilai keindahan. Oleh karena itu orang menciptakan berbagai macam nilai keindahan. Baju tidak sekedar untuk memenuhi tuntutan nilai material atau alat vital, akan tetapi pakaian dibuat sedemikian rupa sehingga pakaian itu memberikan rasa indah bagi yang memakainya.

Nilai kebenaran :
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita ketahui setiap orang ingin mengetahui dan
mengerti tentang sesuatu hal baik yang bersumber dari dalam dirinya maupun hal-hal yang diluar dirinya. Orang akan merasa senang jika dikatakan mengerti sesuatu hal, sebab orang mengerti sesuatu disebut pintar. Dia akan merasa susah jika dikatakan tidak mengerti sesuatu hal, sebab ia dikatakan bodoh. Dan kenyataan ini dapat kita ketahui bahwa orang itu mengejar suatu nilai. Dalam zaman sekarang nilai ini berkembang dalam bermacam-macam ilmu pengetahuan, sistem filsafat, teknologi dan sebagainya. Setiap orang akan mengejar ini semua, maka ia mengejar suatu nilai kebenaran. Nilai kebenaran berkaitan dengan berpikir logis manusia. Sesuatu itu bernilai kebenaran jika dipandang dari akal suatu hal itu benar. Jika seseorang dalam memecahkan suatu persoalan yang dihadapi maka ia merasa puas, sebab ia telah menemukan kebenaran terhadap sesuatu yang tadinya merupakan kesulitan tadi.

Nilai-nilai moral :
Manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. N. Driyarkara S.Y. menjelaskan bahwa untuk perkembangan manusia, manusia itu harus melaksanakan hukum-hukum yang melekat pada diri manusia sebagai manusia (Pengasuh Majalah Basis, 1980, p.110). Hukum-hukum ini disebut hukum moral atau kesusilaan. Menurut hukum moral manusia itu harus melaksanakan suatu kewajiban, harus cinta sejati kepada sesama, meluhurkan martabat dan derajat manusia. Hukum moral dan kebebasan adalah dua hal yang melekat pada diri manusia. Dengan hukum moral manusia terikat, tetapi manusia bebas untuk melaksanakan. Oleh karena itu manusia itu bebas tapi terikat. manusia itu bebas tapi bertanggung jawab. Nilai-nilai moral atau riilai susila berkaitan dengan perilaku yang baik dan buruk. Manusia harus bèrbuat baik dan menjauhi yang buruk.

Nilai religius atau nilai keagamaan:
Nilai religius merupakan manifestasi dari manusia sebagai makhluk Tuhan. Manusia sebagai makhluk Tuhan dapat mengalami dan merasakan suatu keharusan di dalam dirinya untuk mengakui bahwa adanya bukan adanya sendiri, tetapi adanya karena diadakan oleh Yang Maha Pencipta. Manusia mengakui suatu realitas bahwa dia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Oleh karena itu ia dapat disebut makhluk Tuhan yang harus taat dan taklim kepada-Nya. Dnyarkara SY. menga takan bahwa nilai keagamaan merupakan fondasi dari nilai-nilai moral. Manusia tidak bisa sempuma sebagai manusia, jika ia tidak sempurna sebagai makhluk Tuhan. Sikap adil terhadap sesama, berkasih sayang menjunjung tinggi manusia tidak mungkin terjadi jika tidak didasarkan pada pengakuannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Nilai moral dan nilai agama ini merupakan tuntutan dari dalam diri manusia.

Dalam keluarga terjadi transformasi nilai-nilai. Seluruh nilai-nilai tersebut telah ditransformasikan ke dalam diri anak oleh orang tua. Oleh karena itu segala jenis pendidikan telah dilaksanakan dalam keluarga. Sudardjo Adiwikarta (1988, p.66) menyatakan bahwa di semua lingkungan pendidikan semua aspek mendapat tempat.

Seperti telah dijelaskan di muka, kita mengenal tiga lingkungan pendidikan yaitu lingkungan keluarga, llngkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Semua lingkungan pendidikan ini telah menyelenggarakan pendidikan untuk mengembangkan aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotor. Berhubungan dengan pernyataan ini maka Sudardjo Adiwikarta menyatakan bahwa pernyataan ini adalah tidak benar jika dikatakan bahwa segi afektif dikembangkan di dalarn keluarga, segi kognitif di sekolah dan segi motorik di masyarakat. Juga tidak benar kalau dikatakan bahwa pendidikan di rumah dilandasi emosional dan pendidikan di sekolah dilandasi rasiorial, di masyarakat segi kepraktisan.

Pendidikan dalam keluarga memang telah memberikan segala jenis pendidikan, akan tetapi untuk ini pendidikan yang diberikan hanyalah dasar-dasarnya saja. Oleh karena itu Sikun Pribadi menyatakan bahwa lingkungan keluarga merupakan lingkungan pertama bagi perkembangan anak. Pendidikan yang pertama merupakan pondasi bagi pendidikan selanjujtnya (Sikun Pribadi, 1981, p.67). Semua jenis pendidikan masih dikembangkan dan disempurnakan di lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Dan akhirnya hanya pendidikan moral dan religius saja yang bertahan di lingkungan di rumah.

Sudardjo Adiwikarta menjelaskan lebih lanjut bahwa di dalam keluarga telah dipelajari pengetahuan dasar, keterampilan, aspek-aspek kerohanian serta kepribadian dasar yang dapat dikembangkan lebih jauh dalam lingkungan sekolah dan lingkungan kerja dan dalam lingkungan hidup lain dalam masyarakat. Dalam keluargalah anak-anak mulai berkenalan dengan orang lain dan benda-benda. Di sini pula ia mulai mempelajari cara-cara dan aturan berbuat dan berperilaku sesuai dengan norma sosial yang dianut masya rakat sekitarnya. Juga diawali disini belajar berbahasa yang meliputi berbagai seginya seperti pengenalan kata, penyusunan kalimat, sopan santun berbahasa, yang kesemuanya merupakan segi kehidupan paling penting dalam kehidupan masyarakat. Sosialisasi dalam berbagai segi kehidupan dipelajari dalam keluarga. Tentu hasilnya akan sangat tergantung kepada berbagai karakteristik keluarga tempat anak itu diasuh dan dibesarkan.

POLA ASUH DALAM KELUARGA

Jika peran-peran dalam keluarga kita perhatikan di sana ada yang disebut bapak, ibu dan anak. Ketiga istilah ini dalam kehidupan sehari-hari sangat familier. Ada bapak angkat, bapak guru, bapak dokter, bapak cam at, bapak lurah dan sebagainya. Demikian pula istilah ibu dan anak banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Apakah istilah ini? Samakah istilah bapak guru dan bapak camat serta bapak keluarga, ibu guru, ibu camat dan ibu keluarga?

Dalam istilah-istilah itu semua memang berbeda-beda. Tetapi di dalamnya mengandung pesan yang sama, bahwa di sana ada relasi, ada hubungan bahkan ada interaksi. Jika berkata bapak guru, maka akan terlintas bahwa di sana ada anak didik atau siswa. Di sana hubungan antara seorang yang berperan sebagai bapak untuk anak-anaknya di sekolah. Di sana ada peran yang memerankan suatu pekerjaan. OIeh karena R.S. Downii (1974) guru dapat dipanggil sebagai peran suatu tujuan (aim job), pesan suatu keterampilan (skill job) dan peran suatu pekerjaan (role-job). Bapak guru adalah orang yang dalam pekerjaannya memiliki tujuan untuk mendidik ahli matematika maka ia disebut guru matematika. Seseorang disebut guru karena ia memiliki keterampilan dari seorang guru. Kata ibu guru mempunyai dua kemungkinan bahwa ia isteri dari seorang guru atau ia memang orang yang berperan sebagai aim-job, skill-job atau role-job.

Marilah kita lihat bapak dan ibu keluarga. Bapak keluarga mempunyai makna khusus yaitu sebagai role-job, skill-job, dan aim-job. Bapak sebagai peran telah kita bicarakan di muka bahwa bapak memiliki peran ganda termasuk di daiamnya aim-job dan skill-job. Dalam kesempatan akan lebih berkaitan dengan skill-job dalam kaitan interaksi antara bapak dan anak, ibu dan anak. Pengertian ibu dan bapak dalam keluarga akan nampak peran ibu dan bapak sebagai orang yang memiliki keterampilan untuk mendidik, mengajar dan melatih anak. Keterampilan bapak dan ibu dalam menyampaikan nilai-nilai kepada anak-anaknya.

Keterampilan dalam menyampikan nilai-nilai kepada anak ini dapat berpusat pada dua kutub yang dipengaruhi oleh gaya orang tua. Sudardjo Adiwikarta (1988) membedakan dua pola yang berpusat pada anak (child centered) dan pola yang berpusat pada orang tua (parent centered). Singgih D. Gunarsa (1983) berdasarkan gaya orang tua membedakan tiga cara yaitu (1) cara otoriter, (2) cara bebas, (3) cara demokrasi, (Singgih D Gunarsa dan Ny. Y. Singgih D. Gunarsa, 1983, p. 82-84).

Pola asuh otoriter :
Pola asuh yang otoriter akan terjadi komunikasi atu dimensi atau satu arah. Orang tua menentukan aturan-aturan dan mengadakan pembatasan-pembatasan terhadap perilaku anak yang boleh dan tidak boleh dilaksanakannya. Anak harus tunduk dan patuh terhadap orang tuanya, anak tidak dapat mempunyai pilihan lain. Orang tua memerintah dan memaksa tanpa kompromi. Anak melakukan perintah orang tua karena takut, bukan karena suatu kesadaran bahwa apa yang dikerjakan itu akan bermanfaat bagi kehidupannya kelak. Orang tua memberikan tugas dan menentukan berbagai aturan tanpa memperhitungkan keadaan anak, keinginan anak, keadaan khusus yang melekat pada individu anak yang berbeda-beda antara anak yang satu dengan yang lain. Perintah yang diberikan berorientasi pada sikap keras orang tua, sikap keras merupakan suatu keharusan bagi orang tua. Sebab tanpa sikao keras ini anak tidak akan melaksanakan tugas dan kewajibannya.

Pola asuh bebas :
Pola asuh bebas, berorientasi bahwa anak itu makhluk hidup yang berpribadi bebas. Anak adalah subiek yang dapat bertindak dan berbuat menurut hati nuraninya. Seorang anak yang lapar, ia harus memasukan nasi ke dalam mulutnya sendiri, mengunyah sendiri dan menelan sendini. Tidak mungkin orang tua yang mengunyah dan memasukkan makanan ke dalam perut anaknya. Orang tua membiarkan anaknya mencari dan menemukan sendiri apa yang diperlukan untuk hidupnya. Anak telah terbiasa mengatur dan menentukan sendiri apa yang dianggap baik. Orang tua sering mempercayakan anaknya kepada orang lain, sebab orang tua terlalu sibuk dalam pekerjaan, organisasi sosial dan sebagainya. Orang tua hanya bertindak sebagai polisi yang mengawasi permainan menegur dan mungkin memarahi. Orang tua kurang bergaul dengan anak-anaknva, hubungan tidak akrab dan anak harus tahu sendini tugas apa yang harus dikerjakan.
 
Jika perhatikan dua pola asuh tersebut di atas kita dapat mengetahui bahwa pola otoriter memandang anak tidak ada pilihan lain, kecuali mengikuti perintah dan orang tua. Pada pola yang kedua anak dipandang sebagal subjek yang diperbolehkan berbuat menurut pilihannya sendiri. Segala tugas diserahkan sepenuhnya pada anak. Dua pola ini memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Pola asuh memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Pola asuh otoriter memang memungkinkan terlaksananya proses transformasi nilai dapat berjalan lancar. Akan tetapi anak mengerjakan tugas dengan rasa tertekan dan takut. Akibatnya jika orang tua tidak ada mereka akan bertindak yang lain. Dia akan melakukan hal-hal yang menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan. Pola asuh bebas memang memandang anak sebagai subyek, anak bebas menentukan pilihannya sendiri. Akan tetápi anak justru menjadi berbuat semau-maunya; ia berbuat dengan mempergunakan ukuran diri sendiri. Pada hal anak berada dalam dunia anak dan dia harus masuk pada dunia nilai dan dunia anak. Oleh karena itu anak akan kebingungan ibarat anak ayam yang ditinggalkan induknya. Akhirnya anak akan lari ke sana-kemari tanpa arah.

Dalam dua kondisi tersebut di atas tidak akan terjadi pola asuh yang bersifat bineka antara orang tua dan anak. Relasi antara orang tua dan anak tampak renggang pada pola asuh bebas dan ada batas yang kuat serta jurang pemisah antara anak dan orang tua pada pola asuh yang otoriter.

Pola asuh domokratis :
Pola asuh ini berpijak pada dua kenyataan bahwa anak adalah subjek yang bebas dan anak sebagal makhluk yang masih lemah dan butuh bantuan untuk mengembangkan diri. Manusia sebagai subjek harus dipandang sebagal pribadi. Anak sebagai pribadi yang masih perlu mempribadikan dirinya, dan terbuka untuk dipribadikan. Proses pempribadian anak akan berjalan dengan lancar jika cinta kasih selalu tersirat dan tersurat dalam proses itu. Dalam suasana yang diliputi oleh rasa cinta kasih ini akan menimbulkan pertemuan sahabat karib, dalam pertemuan dua saudara. Dalam pertemuan itu dua pdbadi bersatu padu. Dalam pertemuan yang bersatu padu akan timbul suasana keterbukaan. Dalam suasana yang demikian ini maka akan terjadi pertumbuhan dan pengembangan bakat-bakat anak yang dimiliki oleh anak dengan subur.
   


VI. KELUARGA, TEMAN SEBAYA DAN PENDIDIKAN   
2.    KELUARGA DAN SEKOLAH
HUBUNGAN KELUARGA DAN SEKOLAH

Telah dijelaskan pendidikan itu adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian anak baik di luar dan di dalam sekolah dan berlangsung seumur hidup. Dan pengertian tersurat suatu pernyataan bahwa pendidikan berlangsung di luar dan di dalam sekolah. Pendidikan di luar sekolah dapat terjadi dalam keluarga dan di dalam masyarakat. Jadi pendidikan itu berlangsung seumur hidup dimulai dari keluarga kemudian diteruskan dalam lingkungan sekolah dan masyarakat.

Manusia sebagai makhluk hidup selalu ingin berkembang. Keinginan ini secara manusia tidak terbatas, akan tetapi kemampuan manusia yang membatasi keinginan tersebut. Oleh karena itu keinginan untuk berkembang berlangsung mulai dan lahir sampai meninggal dunia. Untuk mengembangkan diri itu manusia memerlukan bantuan. Karena keinginan untuk perkembangan itu berlangsung dari lahir sampai meninggal, maka kebutuhan untuk mendapatkan bantuan itu juga harus berlangsung seumur hidup.

Pendidikan yang berlangsung seumur hidup itu berlangsung pada tiga lingkungan pendidikan keluarga, sekolah dan masyarakat. Pelaksanaan pendidikan dalam tiga lingkungan pendidikan sebagai penghasil tenaga yang telah terdidik sebagai berikut :



Dari bagan tersebut di atas dapat diketahui bahwa keluarga merupakan tempat pertama anak itu mendapatkan pendidikan. Sejak anak itu berada dalam kandungan anak telah mendapatkan pendidikan. Seperti telah diketahui di muka bahwa jenis pendidikan yang diberikan keluarga adalah bermacam-macam. Pendidikan berlangsung secara informal. Dalam keluarga orang tua merupakan pendidik utama dan pertama. Pada masyarakat yang sederhana pendidikan berlangsung dalam keluarga dan masyarakat. Anak meniru apa yang dikerjakan orang tua dan orang-orang dewasa dalam masyarakat. Setelah mendapatkan kemampuan yang diperlukan untuk hidup, maka ia dilepaskan dalam masyarakat. Dalam. masyarakat mereka akan menjadi tenaga kerja yang dibutuhkan masyarakat.

Dalam masyarakat yang lebih maju maka pendidikan di dalam keluarga tidak cukup, oleh karena itu orang tua menyerahkan pendidikan pada lembaga pendidikan formal yang disebut sekolah. Dalam sekolah anak diberi berbagai pengetahuan baik pengetahuan yang berkaitan untuk pengembangan pribadi, pengetahuan untuk bekal hidup dalam masyarakat, dan pengetahuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih lanjut. Pendidikan di sekolah dilaksanakan secara bertingkat-tingkat, pada dasarnya dibedakan pendidik dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Anak yang telah selesai pada tingkat pendidikan tertentu yang memerlukan keterampilan tertentu dapat masuk pada pendidikan nonformal dalam lembaga pendidikan masyarakat. Setelah mendapatkan tambahan keterampilan maka ia terjun kedunia kerja dalam masyarakat. Akan tetapi ada juga yang setelah selesai pendidikan pada tingkat pendidikan tetrtentu langsung memasuki dunia kerja dalam masyarakat. Masyarakat sebagai pemakai hasil tiga pendidikan itu akan memberi balikan bagi masing-masing penyelenggara pendidikan dalam ketiga lingkungan pendidikan.

Perbandingan antara pendidikan formal dan pendidikan non formal dan pendidikan dalam keluarga sebagai pendidikan informal dapat disajikan di bawah ini (Edi Suardi, S Nasution, dan M Moh Rffai Joedoprawira, 1976, p.187).
1.    Tempat berlangsung :
Pendidikan formal dilaksanakan di dalam gedung sekolah, pendidikan nonformal dilaksanakan di dalam atau diluar sekolah, sedang pendidikan keluarga dilaksanakan di dalam rumah atau di luar rumah.
 
2.    Persyaratan mengikuti pendidikan :
Syarat mengikuti pendidikan formal adalah umur dan tingkat pendidikan tertentu (ijazah atau STTB), pada pendidikan nonformal kadang-kadang ada persyaratan tetapi tidak memegang peranan yang penting, pada pendidikan informal (keluarga) tidak ada persyaratan semua anak baik anak pungut, anak tiri atau anak sendiri semua mendapatkan pendidikan dalam keluarga itu.
 
3.    Jenjang pendidikan :
Pada pendidikan formal terdapat jenjang pendidikan jaitu pendidikan prasekolah (taman kanak-kanak), pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pada pendidikan nonformal kadang-kadang ada kadang-kadang tidak. Pada pendidikan informal tidak ada jenjang pendidikan.
 
4.    Program pendidikan :
Program pendidikan pada pendidikan formal ditentukan teliti untuk setiap jenjang pendidikan dalam bentuk tertulis. Pada pendidikan nonformal terdapat program tertentu. Pada pendidikan informal tidak ada program.
 
5.    Bahan pelajaran :
Pada pendidikan formal bahan pelajaran lebih bersifat akademis dan umum, bahan pelajaran .pada pendidikan nonforrnal lebih bersifat khusus dan praktis, bahan pelajaran pada pendidikan informal tidak ditentukan.
 
6.    Lama pendidikan :
Pada pendidikan formal lama pendidikan memakan waktu yang panjang, pendidikan nonformal memakan waktu yang singkat dan pendidikan informal sepanjang hidup.
 
7.    Usia peserta didik :
Pads pendidikan formal usia pesórta didik relatif lama, pads pendidikan nonformal usia peserta didik rethtif tidak sama dan pada pendidikan informal usia peserta didik semua umur.
  
8.    Penilaian :
Pada pendidikan formal ada ujian yang diselenggarakan secara formal dan dibenr ijazah atau STTB. Pada pendidikan nonformal juga ada ujian dan diben ijazah atau surat keterangan. Pada pendidikan informal tidak ada ujian dan tidak ada penilaian yang sistematis dan tidak ada surat keterangan atau ijazah.
  
9.    Penyelenggara pendidikan :
Pendidikan formal diselenggarakan oleb pemerintah dan swasta yang diatur dalam suatu perundang undangan tertentu. Pendidikan nonformal diselenggarakan oleh pemenintah dan swasta yang diatur dalam perundang-undangan tertentu. Pendidikan informal diselenggarakan oleh keluarga tidak ada aturan yang harus dipenuhi untuk menyelenggarakan pendidikan.
 
10.    Metode mengajar :
Pada pendidikan formal dituntut untuk menggunakan metode mengajar yang tertentu. Pada pendidikan nonformal dapat menggunakan metode mengajar tertentu walaupun tidak selalu.
 
11.    Persyaratan bagi pengajar :
Pengajar pada pendidikan formal harus mempunyai kewenangan yang didasarkan ijazah dan diangkat untuk mengajar dalam suatu tugas tertentu. Pengajar pada pendidikan nonformal tidak selalu mempunyai ijazah sebagai pengajar. Pada pendidikan informal tidak ada persyaratan ijazah dan surat pengangkatannya.
 
12.    Administrasi :
Pada pendidikan formal administrasi diatur secara sistematis dan sama untuk setiap tingkat sekolah. Pada pendidikan nonformal administrasi ada tetapi tidak begitu uniform (seragam). pada pendidikan informal administrasi tidak ada.
 
13.    Ditinjau dari segi sejarah berdirinya :
Pendidikan formal berdiri paling akhir, disusul pendidikan nonformal. Sedang pendidikan informal ada sejak manusia ada dan tenjadi proses transformasi nilai dan orang dewasa ke anak.
ORGANISASI ORANG TUA MURID

Dari uraian tersebut di alas dapat diketahui bahwa antara keluarga ada hubungan yang erat. Hubungan yang erat antara keluarga dan sekolah itu disebabkan secara hukum mempunyai tanggung jawab bersama terhadap pendidikan anak secara kodrat pendidikan anak memang merupakan tanggung jawab orang tua, tetapi secara hukum pemenintah/negara juga bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Di samping orang tua dan pemerintah masih ada lagi yaitu masyarakat. Oleh karena itu masyarakat dan pemerintah mendirikan sekolah. Masyarakat mendirikan sekolah swasta dan pemenintah mendirikan sekolah negeri.

Tiap-tiap permulaan tahun ajaran baru maka berduyuni-duyun anak usia sekolah membanjiri sekolah, dan taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Peran orang tua dalam pendaftaran siswa baru pada tiap-tiap tingkat dan jenis sekolah tergantung pada usia anak. Pada pendidikan pra sekolah dan pendidikan dasar orang tua bersama anaknya mendaftarkan anak untuk menjadi murid baru di sekolah. Pada Sekolah Menengah Pertama peran orang tua sudah berkurang anak sendiri yang mendaftarkan diri. Akhirnya pada perguruan tinggi anak sendinilah yang mendaftarkan diri sebagai mahasiswa baru. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa terjadi penyerahan tanggung jawab pendidikan dari orang tua kepada sekolah baik negeni maupun swasta. Sebab kemampuan dan waktu untuk melaksanakannya tugas ini memang terbatas. Oleh orang tua yang kebetulan guru SD ia pun juga menyekolahkan anak pada suatu SD tertentu.

Setelah anak menyelesaikan pendidikan pada suatu tingkat atau jenis pendidikan maka sekolah mcnyerabkan kembali anak-anak yang diasuhnya kepada orang tua siswa. Oleh karena itu setiap akhir tahun tiap sckolah dan pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi mengadakan pelepasan siswa-siswa yang telah berhasil menyelesaikan pendidikari di sekolah tersebut.

Setelah menyerahkan anaknya pada sekolah tertentu, tidak berarti orang tua bebas dan tanggung jawab terhadap keberhasilan pendidikan anaknya pada sekolah tersebut. Oleh karena itu dirasa perlu untuk membentuk suatu wadah dalam bentuk organisasi orang tua dalam rangka ikut bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya. Di pihak lain sekolah menyadari bahwa guru juga perlu mengetahui latar belakang kehidupan anak. Oleh karena itu perlu dijalin hubungan yang erat antara guru dan orang tua. Onang tua perlu memberikan penjelasan tentang latar belakang anak dan keluarganya kepada guru atau sekolah agar pendidikan anaknya dapat berjalan dengan lancar dan berhasil dengan memuaskan.

Guru perlu berkomunikasi dengan orang tua siswa berbagai cara perlu ditempuh untuk mengadakan komunikasi dengan orang tua umpama kunjungan kerumah anak, meminta orang tua datang kesekolah, mengadakan pertemuan orang tua munid dengan guru dan sebagainya.

PENGARUH KELUARGA TERHADAP PENDIDIKAN DI SEKOLAH

Dari uraian tersebut di atas kita telah mengetahui bahwa ada hubungan yang erat antara keluarga dan sekolah. Pendidikan dalam keluarga merupakan dasar pada pendidikan di sekolah.

Beriyamin S. Bloom (1976) menyatakan bahwa lingkungan keluarga dan faktor-faktor luar sekolah yang telah secara luas berpengaruh terhadap siswa. Siswa-siswa hidup di kelas pada suatu sekolah relatif singkat, sebagian besar waktunya dipergunakan siswa untuk bertempat tinggal di rumah. Keluarga telah mengajarkan anak berbahasa, kemampuan untuk belajar dari orang dewasa dan beberapa kualitas dan kebutuhan berprestasi, kebiasaan bekerja dan perhatian terhadap tugas yang merupakan dasar terhadap pekerjaan di sekolah. Dari uraian ini dapat diketahui lebih lanjut bahwa kecakapan-kecakapan dan kebiasaan di rumah merupakan dasar bagi studi anak di sekolah.

Suasana keluarga yang bahagia akan mempengaruhi masa depan anak baik di sekolah maupun di masyarakat, dalam lingkungan pekerjaan maupun dalam lingkung keluarga kelak (Sikun Pribadi, 1981, p. 67). Dari kutipan ini dapat diketahui bahwa suasana dalam kelaurga dapat mempengaruhi kehidupan di sekolah.

Menurut Erikson yang dikutip oleh Sikun Pribadi (1981) bahwa pendidikan dalam keluarga yang berpengaruh terhadap kehidupan anak di masa datang ditentukan oleh (1) rasa aman, (2) rasa otonomi, (3) rasa inisiatif. Rasa aman ini merupakan periode perkembangan pertama dalam perkembangan anak. Perasaan aman ini perlu diciptakan, sehingga anak merasakan hidupnya aman dalam kehidupan keluarga.

Rasa aman yang tertanam ini akan menimbulkan dari dalam diri anak suatu kepercayaan pada diri sendini. Anak yang gagal mengembangkan rasa percaya diri ini akan menimbulkan suatu kegelisahan hidup, ia merasa tidak disayangi, dan tidak mampu menyayangi.

Fase perkembangan yang kedua adalah rasa otonomi (sense of autonomy) yang terjadi pada waktu anak berumur 2 sampai 3 tahun. Orang tua harus membimbing anak dengan bijaksana agar anak dapat mengembangkan kesadaran, bahwa ia adalah pribadi yang berharga, yang dapat berdiri sendiri dan dengan caranya sendiri ia dapat memecahkan persoalan yang ia hadapi. Kegagalan pembentukan rasa otonomi, suatu sikap percaya pada diri sendiri dan dapat berdiri sendiri akan menyebabkan anak selalu tergantung hidupnya pada orang lain. Setelah ia memasuki bangku sekolah ia selalu harus dikawal oleh orang tuanya. Ia selalu tidak percaya diri sendiri untuk menghadapi persoalan yang dihadapi di sekolah.

Pada fase perkembangan ketiga disebut perkembangan rasa inisiatip (sense of initiative) yaitu pada umur 4 sampai 6 tahun. Anak harus dibiasakan untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam lingkungan keluarga. Sebab dengan dibiasakan menangani masalah hidupnya maka anak akan mengembangkan inisiastipnya dan daya kreatifnya dalam rangka menghadapi tantangan hidupnya. Jika orang tua selalu membantu dan bahkan melarang anaknya untuk mengerjakan sesuatu hal maka inisiatif dan daya kreasi anak akan lemah dan akan mempengaruhi hidup anak dalam belajar di sekolah.

Pengaruh kualitas pengasuhan anak dan kondisi lingkungan dengan perkembangan kemampuan anak :
Levine dan Hagighurst (1984, p. 169.179) melaporkan hasil penelitian. Anak yang tingkat kondisi IQ rendah dari suatu rumah yatim piatu dengan kondisi yang menyedihkan sebagian kemudian diasuh dalam rumah yatim piatu yang kondisi baik dengan penyelenggaraan program-program perawatan yang baik. Setelah satu tahun anak dari dua lingkungan yatim piatu tersebut dites intelegensi. Dari hasil tes intelegensi diperoleh hasil bahwa IQ anak dipelihara dalam rumah yatim piatu dalam kondisi yang menyedihkan IQ-nya teap bahkan ada yang menurun, scdang anak yang diasuh dalam kondisi rumah yatim piatu yang baik IQ naik. Setelah belajar di sekolah anak-anak diasuh dalam kondisi yang baik berhasil memperoleh ijazah pendidikan tinggi.
 
Pengaruh fasilitas hidup dalam keluarga dan rumah tangga terhadap perkembangan kognitif :
Keluarga lapisan bawah, lapisan menengah dan lapisan atas memiliki fasilitas yang berbeda-beda. Keluarga lapisan bawah fasilitas yang kurang lengkap bila dibanding keluarga lapisan menengah dan lapisan atas. Kelengkapan fasilitas mempunyai dampak yang positif terbadap pengembangan kognitif anak yang belajar di sekolah.

Pengaruh besamya keluarga terhadap kemamuan intelektual :
Dari hasil-hasil penelitian dilaporkan bahwa besarnya keluarga berkorelasi negatif terhadap kemampuan intelektual Dari hasil penelitian diketahui bahwa makin besar jumlah keluarga makin rendah kemampuan intelektual anak. Sebaliknya makin kecil jumlah keluarga kemampuan intelektual makin tinggi. Jika ditambah variabel lapisan keluarga, maka jumlah keluarga yang besar pada lapisan bawah kemampuan intelaktual akan lebih rendah lagi di banding pada keluarga besar pada lapisan menengah Oleh karena makin banyak jumlah anak maka kemampuan intelektual makin rendah apalagi jika ditambah dengan lapisan keluarga rendah (miskin).

Pengaruh urutan kelahiran terhadap kemampuan intelektual :
Pengaruh urutan kelahiran telah dilaporkan oleh Laosa dan Sigel (1982). Dari hasil penelitian ini diketahui makin menurun urutan kelahiran maka prestasi belajar makin rendah. Umumnya prestasi belajar anak sulung lebih baik daripada prestasi bclajar anak kedua, anak kedua prestasi belajar lebih baik dari anak ketiga dan seterusnya.

Pengaruh pekerjaan ibu :
Pengaruh antara ibu yang bekerja di luar rumah terhadap prestasi belajar anak belum ada kata sepakat. Dari berbagai penelitian ada kecenderungan bahwa prestasi belajar anak dan ibu yang bekerja lebih tinggi dari anak dan ibu yang tidak bekerja. Tetapi pada beberapa penelitian juga menghasilkan bahwa prestasi belajar ibu yang tidak bekenja lebih tinggi dari pada prestasi belajar dari anak ibu yang bekerja. Oleh karena itu perlu dilacak faktor yang lain yang menyebabkan keragu-raguan tersebut di atas umpama jenis kerja dari ibu, kualitas keluarga dan sebagaiya.

Hubungan perlakuan orang tua dengan kemampuan kognitif :
Dari hasil penelitian Rollins dan Thomas yang dilaporkan oleh Lewin dan Havighurst (1982, p. 172-173) menyatakan bahwa (1) makin besar dukungan orang tua makin tinggi tingkat perkembangan kognitif anak, (2) makin kuat pemaksaan yang diberikan oleh orang tua maka makin rendah perkembangan kognitif anak, (3) makin besar dukungan orang tua, makin tinggi kemampuan sosial dan kemampuan instrumental anak, (4) makin kuat tingkat pemaksaan yang diberikan orang tua terhadap anak-anaknya maka makin rendah kemampuan sosialnya, (5) bagi anak perempuan besarnya dukungan dan frekuensi usaha pengawasan orang tua berkorelasi negatif terhadaap pencapaian prestasi akademik, (6) bagi anak laki.laki besarnya dukungan orang tua dan kuatnya pengawasan orang tua berkorelasi positif terhadap pencapaian prestasi belajar.

Luis M. Laosa dan Irving Sigel (1982) yang merangkumkan berbagai hasil penelitian juga melaporkan hasil penelitian hubungan orang tua dengan keberhasilan belajar anak. Clarke dan Stewart meneliti tentang penlakuan ibu dalam hubungan antara ibu dan anak terhadap prestasi belajar siswa menyimpulkan bahwa prestasi belajar anak dipengaruhi oleh hubungan akrab antara ibu dan anak. Dalam hubungan yang akrab itu ibu sering mengajak berbincang-bincang anaknya, ibu memberikan hiburan terhadap anaknya, memberi pujian, pertolongan dan keterangan-keterangan ibu juga mengajar berbagai hal seperti bekerja sama dengan anak lain serta mengembangkan kegiatan anak. Apabila perlakuan tersebut di atas disertai suasana hubungan dan kasih sayang ternyata lebih meningkatkan kemampuan intelektual dari pada penerapan disiplin yang kaku, pengawasan yang ketat, membujuk, memberi perintah, dan larangan atau ancaman dan hukuman.

Pengaruh hubungan akrab antara ayah dan anak juga mempengaruhi kemampuan intelektual anak. Pergaulan yang akrab antara orang tua ayah dan anak akan mengurangi rasa takut terhadap pengaulan antara anak dengan orang-orang di luar keluarga. Pengaruh hubungan akrab anak laki-laki dan ayahnya terhadap prestasi belajar lebih tinggi dari pada pengaruh hubungan akrab antara ayah dan anak putri terhadap prestasi belajar.

Pengaruh latar belakang keluanga terhadap hasil belajar di sekolah :
Menurut John Simmons dan Leigh Alexander (1983) latar belakang keluarga biasanya berkaitan dengan status sosial ekonomi keluarga. Status sosial ekonomi ini biasanya mempergunakan indikator pendidikan keluarga, pekerjaan dan penghasilan orang tua. Beberapa penelitian juga memasukkan indikator-indikator lain seperti harapan siswa, harapan keluarga, harapan masyarakat setempat terhadap hasil belajar anak serta sikap mereka terhadap hasil belajar. Hasil penelitian yang dilaksanakan di India, Chile, Iran, dan Thailand yang dilaporkan oleh Thorndike menjelaskan bahwa latar belakang keluarga itu dapat menjelaskan perubahan prestasi belajar antara 1,5% sampai 8,7%. Jika dikontrol dengan indikator-indikator yang berasal dari sekolah seperti kualitas pengajaran, fasilitas sekolah, jumlah siswa dalam kelas dan sebagainya, hasil test menunjukkan sumbangan latar belakang keluarga itu tidak signifikan.



VI. KELUARGA, TEMAN SEBAYA DAN PENDIDIKAN   
3.    TEMAN SEBAYA DAN PENDIDIKAN
KARAKTERISTIK SOSIAL

Marilah kita perhatikan apa yang ada dan apa yang terjadi di luar sekolah dan di luar keluarga. Di luar keluarga dan di luar sekolah selalu terjadi kelompok-kelompok anak. Kelompok-kelompok ini sibuk dengan kegiatan-kegiatannya sendiri. Mereka ada yang berbincang-bincang tentang sesuatu yang sama-sama menarik baginya, ada yang bermain-main dengan suka riangnya. Apakah kelompok-kelompok ini dapat disebut kelompok sosial dan kelompok teman sebaya?

Seperti telah kita ketahui bahwa manusia itu merupakan makhluk individu yang sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individu ia akan selalu terikat pada akunya sendiri. Ia akan berbahagia jika ia dapat memuaskan dirinya. Sebagai makhluk individu Ia akan berjuang untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginannya sendiri.

Manusia sebagai makhluk sosial merasa terikat oleh hal-hal dirinya sendiri. Ia akan merasa puas dan bahagia jika berada dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu ia selalu berjuang untuk dapat bersatu dengan orang lain. Soerjono Soekanto (1981) menjelaskan bahwa sejak lahir manusia sudah mempunyai dua hasrat atau keinginan yaitu (1) keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain yang berbeda di sekelilingnya (masyarakat), (2) keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya. Atas dasar dua keinginan ini maka manusia dengan sadar membentuk kelompok-kelornpok sosial sebagai himpunan atau kesatuan-kesatuan dalam hidup bersama, dimana di dalamnya terjadi hubungan timbal balik antara anggota kelompok, dan terjadi kerja sama dan tolong-menolong di antara mereka.

Himpunan atau kesatuan hidup itu dapat disebut kelompok, jika memenuhi beberapa persyaratan. Menurut Soerjono Soekanto (1981, p.94-95) ada 3 persyaratan agar himpunan atau kesatuan hidup bersama disebüt kelompok yaitu: (1) setiap anggota kelompok harus sadar bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok yang bersangkutan, (2) ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dan anggota yang lain, (3) terdapat suatu faktor yang dimiliki oleh anggota-anggota kelompok itu, sehingga hubungan antara mereka menjadi bertambah erat. Faktor tadi dapat berupa hasil yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama, musuh bersama dan sebagainya.

Macam-macam kelompok sosial dapat dibedakan menjadi 3 kelompok besar yaitu (1) berdasarkan kesatuan-kesatuan wilayah, (2) kesatuan-kesatuan berdasarkan kepentingan sama tanpa organisasi yang tetap, (3) kesatuan-kesatuari atas dasar kepentingan yang sama dengan organisasi yang tetap (Soerjono Soekanto, 1981, p. 97).

Kelompok sosial berdasarkan kesatuan wilayah mempunyai kriteria utama bahkan masing-masing mempunyai kepentingan yang sama dan bertempat tinggal pada suatu wilayah tertentu. Kelompok sosial yang bersifat umurn adalah masyarakat dan yang bersifat khusus adalah suku, bangsa, daerah, kota, desa, rukun tetangga.

Kelompok-kelompok sosial berdasarkan atas kepentingan yang sama, tetapi tanpa organisasi yang tetap. Kriteria utarna (1) adalah adanya sikap yang sama di antara anggota-anggota kelompok dan (2) organisasi sosial tidak tetap. Kelompok sosial ini dibedakan menjadi tiga tipe yaitu:
1.    Kelas dengan tipe yang bersifat khusus yaitu kasta, elite, kelas dasar persaingan, kelas atas dasar kerja sarna. Di samping mempunyai kriteria utama tersebut di atas mempunyai kriteria tambahan yaitu (1) adanya kernampuan untuk pindah dari satu kelompok ke kelompok lain dan (2) ada perbedaan dalam kedudukan prestise, kesempatan dan tingkat ekonomi.
 
2.    Kelompok etnis dan ras dengan tipe khusus kelompok-kelompok atas dasar perbedaan warna kulit, kelompok-kelompok emigran dan kelompok nasional. Kriteria tambahan untuk type khusus ini adalah daerah asal kelompok, golongan, luas wilayah tempat tinggal dan ciri-ciri badaniah seperti rambut, kulit, mata dan seagamanya.
 
3.    Kelompok sosial kerumusan dengan tipe khusus kerurnusan dengan kepentingan yang sarna dan kepentingan urn urn. Kriteria tambahan khusus adalah kepentingan-kepentingan dari para anggota bersifat sernentara dan sifat kelompoknya juga sementara.
Kelompok-kelompok sosial berdasarkan kesatuan-kesatuan atas dasar kepentingan yang sama dengan organisasi yang tetap. Kelompok sosial ini disebut juga kelpmpok sosial asosiasi (association). Kriteria utama kelompok sosial asosiasi adalah adanya kepentingan-kepentingan terbatas dari kelompok sosial ini dan organisasi sosialnya tertentu. Kelompok sosial asosiasi ini dibagi dua kelompok asosiasi yang besar dan kelompok asosiasi yang kecil. Kelompok pertama sebagai kelompok sosial asosiasi besar mempunyai kriteria tambahan sebagai berikut (1) jumlah anggota secara relatif terbatas, (2) mempunyai organisasi formal, (3) mempunyai hubungan-hubungan penting yang tidak pribadi, (4) ada jenis kepentingan yang dikejar. Tipe khusus dari kelompok sosial asosiasi ini adalah negara, gereja, perkumpulan atas dasar ekonomi, persatuan buruh dan sebagainya. Kedua kelompok sosial asosiasi yang kecil dalam tipe umum kelompok utama atau (primary group) . Kelompok sosial ini mempunyai ciri khusus (1) jumlah anggotanya terbatas, (2) organisasi formal, (3) menganggap penting hubungan-hubungan yang tidak pribadi, (4) ada jenis kepentingan yang dikejar. Tipe-tipe khusus kelompok sosial ini adalah keluarga, kelompok bermain, klik, (clique), club (perkumpulan pemuda) dan sebagainya.

Dari uraian tersebut di atas dapat diketahul bahwa ada bermacam-macam kelompok sosial. Kelompok teman sebaya atau kelompok permainan (peer group) temasuk kelompok sosial berdasarkan ke kesatuan atas dasar kepentingan yang sama dengan organisasi. Kelompok teman sebaya termasuk tipe kelompok utama atau primary group dalam tipe khusus.

KARATERISTIK TEMAN SEBAYA

Menurut WFConnell(1972) kelompok teman sebaya (peer frienship group) adalah kelompok anak-anak atau pemuda yang berumur sama atau berasosiasi sama dan mempunyai kepentingan umum tertutup, seperti persoalan-persoalan anak-anak umur sekolah sampai dengan masa remaja (adolesence).

Kelompok teman sebaya dalam kelompok utama. Kelompok utama merupakan kelompok sosial di mana masing-masing anggota terjalin hubungan yang erat dan bersifat pribadi.Sebagai hasil hubungan yang bersifat pribadi adalah peleburan dan individu dalam kelompok, sehingga tujuan individu menjadi tujuan kelompoknya. Kelompok-kelompok sebaya di kampung-kampung mereka bersatu dalam Satu permainan, berdiskusi tentang sesuatu masalah. Dalam kelompok ini mereka menemukan sesuatu yang tidak mereka ketemukan di rumah. Saling hubungan yang bersifat pribadi itu menyebabkan seseorang dapat mencurahkan isi hatinya kepada teman-temannya baik sesuatu yang menyenangkan atau sesuatu yang menyedihkan. Oleh karena itu anak-anak ini sering meninggalkan rumah dalam waktu yang berjam-jam lamanya. Dalam kelompok ini terjadi kerja sama, tolong-menolong, akan tetapi sering juga terjadi persaingan, dan pertentangan.

WF Connell menyatakan bahwa kelompok utama itu mempunyai ciri-ciri (1) jumlah anggotanya kecil, (2) ada kepentingan yang bersifat umum dan dibagi secara langsung, (3) terjadi kerja sama dalam suatu kepentingan yang diharapkan, (4) pengertian pribadi dan saling hubungan yang tertinggi antar anggota dalam kelompok biarpun dapat terjadi pertentangan (WF. Connell, 1972, p.76). Kelompok teman sebaya baik yang terjadi di masyarakat maupun di sekolah terdiri kelompok-kelompok sosial yang beranggotakan beberapa orang. Dalam kelompok ini sering terjadi tukar-menukar pengalaman, berbagai pengalaman, kerja sama, tolong-menolong, tenggang masa dalam kelompok sebaya adalah tinggi. Dalam kelompok sosial terjadi empati, simpati, dan antipati. Antipati yang terjadi dalam kelompok disebabkan oleh adanya ketidak cocokan antara individu sehingga tenjadi pertentangan dan percecokan antar anggota.

Untuk mengetahui kelompok sebaya sebagai kelompok utama, maka perlu beberapa hal. Kingley Davis (1960) menyatakan bahwa untuk memahami kelompok utama perlu diperhatikan (1) kondisi pisik dari kelompok utama, (2) sifat-sifat hubungan primair dan (3) kelompok-kelompok yang konknit dan hubungan primair (Soenjono Soekanto, 1981, p.102).

Suatu kelompok sosial untuk dapat menjadi kelompok utama tidak cukup dengan hubungan yang saling kenal-mengenal. Ada tiga syarat yang penting agar kelompok sosial menjadi kelompok utama yaitu (1) secara fisik berdekatan satu sama lain, (2) anggota kelompok kecil, (3) adanya hubungan yang tetap antar anggota anggota kelompok. Agar kelompok sosial menjadi kelompok utama maka secara fisik harus berdekatan, terjadi hubungan tatap muka, sehingga terjalin hubungan yang akrab. Dalam hubungan yang akrab ini akan saling berbicara, bertukar pikiran, cita-cita, maupun perasaan. Mereka berjalan bersama, belajar bersama, bermain-main bersama, makan bersama dan lain sebagainya. Keadaan akrab yang demikian hanya bisa berjalan dengan baik jika jumlah anggotanya relatif kecil.

Keakraban ini dapat terganggu jika dalam masyarakat terdapat norma yang ketat umpamanya kasta atau kelompok atas (elite), atau kelompok bangsawan, kelompok priyayi. Kelompok-kelompok ini akan sulit mendorong timbulnya kelompok utama dalam masyarakat yang bersifat majemuk. Dalam kelompok yang kecil akan mudah tejalin hubungan yang bersifat pribadi. Jika terjadi percecokan yang melibatkan orang tua maka orang tua masing-masing kelompok belum akrab justru anaknya sudah bermain bersama kembali. Hal ini menunjukkan kelompok ini mempunyai sifat tetap.

Salah satu sifat.utama dari hubungan yang bersifat primair adalah adanya kesamaan tujuan dan individu yang tergabung dalam kelompok. Hubungan-hubungan ini bersifat pribadi, spontan, sentimental dan inklusif. Persamaan tujuan ini mempunyai dua arti yaitu (1) individu yang bersangkutan mempunyai keinginan dan sikap yang sama pula, (2) satu pihak ada yang bersedia untuk berkorban demi kepentingan pihak lain. Sebagai contob suatu kelompok ingin bermain sepak bola, maka mereka yang membeli bola. Dalam kejadian itu ada anak yang mengorbankan uangnya untuk membeli bola dan digunakan bermain bersama-sama. Dalam saling hubungan tersebut adanya nilai sosial, sebab dalam saling hubungan ini bersifat suka rela, semua pihak benar benar merasakan suatu kebebasan dalam pelaksanaan. Sifat hubungan bersifat pribadi. Hal ini berarti bahwa saling hubungan dalam kelompok itu teijalin bukan karena diberi sesuatu yang bersifat material, hubungan antar pribadi tidak dapat pula digantikan dengan orang lain. Suatu kelompok belajar yang terdiri dan lima orang, kelompok ini tidak dimasuki oleh anak lain biarpun dapat menurunkan biaya yang ditanggung kelompok ini. Oleh karena itu kelompok utama juga bersifat inklusif.

Kelompok sosial yang termasuk dalam kelompok utama adalah banyak, tetapi kelompok kelempok itu sulit untuk memenuhi persyaratan itu. Menurut kenya sehari-hani dapat terjadi perselisihan dan perpecahan di dalam kelompok ini, dapat terjadi saling membenci antara anggota kelompok.

TEMAN SEBAYA DAN PENDIDIKAN

Seperti telah dijelaskan bahwa menurut bentuknya pendidikan dapat menjadi pendidikan informal, pendidikan formal, dan pendidikan nonformal. Dalam ketiga bentuk pendidikan itu terdapat dua dunia yang saling berhadapan yaitu dunia anak didik dan dunia pendidik. Dalam keluarga berhadapan dunia orang tua dan dunia anak, dalam pendidikan formal dan pendidikan nonformal ada dua dunia pendidik (guru) dan dunia siswa. Dunia anak dan dunia siswa ini akan berkaitan dengan kelompok sebaya. Oleh karena sekolah dan keluarga akan berhadapan dengan kelompok sebaya.

TEMAN SEBAYA DAN KELUARGA

Kelompok sebaya telah terbentuk sejak anak itu masih kanak-kanak (W.F Connell, 1972, F.J Monks, A.M.P. Noers, Siti Rahayu Haditono, 1982 dan B. Simandjuntak dan I.L Pasanibu, 1981). Kelompok teman sebaya ini timbul sejak anak itu telah mempunyai perhatian terhadap dunia sekeilingnya. Singgih D. Gunarsa (1983) menjelaskan bahwa anak umur 9 bulan sampai 14 bulan telah memperhatikan dunia sekelilingnya terutama melalui alat permainannya. Baru pada usia 2 tahun anak mempunyai sikap ingin berkawan yaitu dengan tukar-menukar alat permainannya, meskipun suasana berkawan ini tidak berlangsung dalam waktu yang lama. Keinginannya untuk bermain dengan anak yang lain makin jelas ketika anak itu berusia 3 tahun. Dalam usia 4 tahun anak makin senang bergaul dengan anak lain, terutama teman yang usianya sebaya. ia dapat bermain dengan anak lain berdua, atau bertiga, tetapi bila teman bermain lebih banyak akan terjadi pertengkaran. Pada usia ini akan dapat bermain bersama tetapi belum dapat bekerja sama. Oleh karena itu kelompok sebaya juga disebut kelompok bermain. Anak-anak berkumpul untuk bermain bersama. Anak sibuk dalam dunia anak yaitu dunia permainan. Dalam dunia permainan ini anak mulai belajar berkawan, di sini ia dapat dipengaruhi hal-hal yang berasal dari temannya yang berasal dari lingkungan keluarga lain. Dalam kelompok bermain ini dapat dimasuki berbagai nilai yang berasal dari keluarga masing-masing Anak dapat dipengaruhi hal-hal yang baik juga hal-hal yang buruk. Sebagai contoh anak-anak yang marah-marah di rumahnya, karena diganggu kakaknya, anak itu mengatakan kata yang kotor kepada kakaknya. maka ibu anak tersebut merasa heran, sebab dalam keluarganya tidak diajarkan kata-kata yang kotor tersebut. Pada hari lain, ibu minta penjelasan dari mana diperoleh kata kotor itu. Anak aitu memberi tahukan kepada ibunya bahwa kata tersebut diucapkan oleh temannya bermain, waktu ia marah marah kepada teman lain. Jika orang tua itu hanya meihat aspek yang kurang baik, maka ibu akan melarang anak untuk bermain dengan kawannya lagi. Tetapi orang tua yang bijaksana justru meminta anaknya, untuk memperingatkan kawannya, jika kawannya mengatakan kata yang kotor itu lagi.

Dari uraian tersebut teman sebaya dan pendidikan dalam keluarga berhubungan erat. Keluarga dapat menanamkan nilai-nilai dalam kelompok sebaya, sebaliknya kelompok sebaya juga dapat membantu anak untuk memahami nilai-nilai moral dan sosial.

HUBUNGAN TEMAN SEBAYA, KELUARGA DAN SEKOLAH

Sejak anak usia sekolah umur 5 tahun sampai 6 tahun, teman atau kelompok sebaya tidak hanya berhubungan dengan keluarga, tetapi juga sekolah. Kelompok sebaya merupakan lingkungan di mana saling berbagi pengalaman baik yang diperoleh melalui sekolah maupun pengalaman yang diperoleh dari keluarga. Anak-anak mulai memilih teman bermain, entah teman tetangga, entah teman sebayanya yang ditemukan. Pada anak-anak yang lebih besar, mereka akan memilih teman sendiri siapa yang akan menjadi teman bermain. Biasanya anak perempuan menyukai teman perempuan karena adanya persamaan minat dan kemampuan bermain yang sama. Sedangkan anak laki-laki mencari teman yang Ia kagumi karena misalnya pandai bemain catur, gemar berolah raga dan sebagainya.

Pada anak-anak remaja dalam perkembangan sosial menunjukkan dua arah yaitu (1) memisahkan diri dari orang tuanya dan (2) menuju ke arah teman-teman sebaya (FJ Monks, AMP Knoers, Siti Rahayu Haditono, 1982, p.231). Dua macam gerak ini tidak merupakan dua hal yang berturutan meskipun yang satu dapat terkait dengan yang lain. Adanya gerakan pertama tanpa adanya gerak yang kedua dapat menyebabkan rasa kesepian. Aurubel (1965) menjelaskan adanya keadaan ini yang ekstrim akan menyebabkan timbulnya bunuh diri. Dengan mulai berseminya dorongan sexual maka kelompok sebaya tidak saja terdiri dari satu jenis kelamin, tetapi kelompok pada masa remaja telah bercampur antara pria dan wanita. Anak remaja merasa dirinya bukan lagi anak, tetapi mereka masih diperlakukan sebagai kanak-kanak. Oleh karena itu dia mencoba utuk membentuk dunianya sendiri yaitu dunia remaja. Kelompok sebaya ini terbentuk karena mereka memiliki dunia yang sama. Dalam kelompok sebaya ini mereka saling mengisi.

Dalam masa remaja, remaja berusaha untuk melepaskan dirinya dari lingkungan orang tua, untuk identitas ego. Remaja melepaskan dirinya dari orang tua dan membentuk kelompok. Dalam kelompok yang terjadi frekuensi interaksi yang makin banyak maka korelasi kelompok akan semakin kuat. Dalam kelompok-kelompok dengan korelasi yang kuat berkembanglah satu iklim kelompok dan norma-norma kelompok tertentu. Norma-norma kelompok itu sangat ditentukan oleh pemimpin-pemimpin dalam kelompok. Moral kelompok dapat berbeda dengan moral dalam keluarga. Bila moral kelompok lebih baik dan moral keluarga tidak akan membedkan masalah apa pun, asal remaja itu betul-betul meyakini moral kelompok yang dianutnya. Akan tetapi jika moral kelompok berbeda dengan moral keluarga, padahal moral keluarga lebih baik, maka akan terjadi permasalahan antara anak dan keluarga, dan akhirnya akan timbul persoalan antara hubungan antar kelompok sebaya dan keluarga.

Di dalam sekolah kelompok-kelompok remaja sering juga dapat menimbulkan kesukaran-kesukaran bila pemimpin nonformal dalam kelas bertentangan dengan pemimpin formal atau gurunya. Bila pelajaran yang dibenikan tidak menarik dan dipandang tidak ada artinya maka konflik sosial tersebut dengan mudah dapat terjadi. Ketua kelas sebagai pimpinan formal dalam kelas akan berhadapan dengan pimpinan nonformal di luar kelas atau pimpinan kelompok sebaya. Adanya kelompok sebaya yang bermacam-macam maka dapat tejadi bertentangan kelompok bila norma kelompok berbeda-beda. Pertentangan kelompok akan menyeret pertentangan antar sekolah atau antar kelas. Sebagai contoh perkelahian siswa yang sampai merenggut jiwa siswa di Jakarta. Data kepolisian dari bulan Januari sampai Oktober 1989 terjadi 86 kali perkelaian antar pelajar. Dari perkelahian itu terjadi pembunuhan 2 orang, luka berat 28 anak,juga luka ringan 22 anak, Dari dengar pendapat Komisi IX DPR RI dengan Pengurus OSIS berbagai SLTAdi Jakarta diketahui bahwa pimpinan kelompok sebaya atau pimpinan nonformal lebih berpengaruh dari pada pimpinan formal, seperti ketua OSIS atau ketua kelas. Pimpinan-pimpinan nonformal inilah yang biasa berpengaruh kuat. Jika pada persoalan dengan sekolah mereka inilah yang mengajak kawan-kawannya untuk menentang sekolah (Kompas, Jumat, 24 September 1989). Jadi ada hubungan yang kuat antara kelompok sebaya dengan sekolah. Jika kelompok sebaya itu mempunyai norma-norma yang baik akan berpengaruh yang baik terhadap sekolah, dapat membawa nama baik sekolah, tetapi jika terdapat norma-norma yang kurang baik juga akan mencemarkan nama sekolah.

Kelompok sebaya memang dapat dimanfaatkan untuk membantu peran keluarga maupun sekolah sebagai pemegang peran pendidikan. Oleb karena itu kelompok sebaya perlu mendapat bimbingan dan pengarahan agar memilih kegiatan-kegiatan yang baik. Sekolah dapat menggunakan kelompok sebaya ini dengan membentuk kelompok-kelompok belajar. Para guru pembimbing dapat memanfaatkan kelompok teman sebaya ini sebagai media bimbingan secara kelompok.

Agar perlu mengetahui kelompok lebih lanjut maka perlulah kiranya diketahui berbagai sikap remaja dalam kelompok (Rahayu Haditono, 1981, p.14-15)
1.    Kompetisi (persaingan) :
Persaingan mengandung kebaikan juga karena kompetisi dapat merupakan daya pendorong untuk maju. Selain itu kompetisi membuat remaja mengenal kemampuan-kemampuannya sendiri. Kompetisi menjadikan baik bila merupakan dorongan yang terus-menerus untuk berbuat begitu.
 
2.    Konformitas (berbuat sama dengan yang lain) :
Sikap ini membuat remaja ingin menyamakan dirinya dengan teman-temannya, berpakaian sama, berlagak sama dan berbuat hal-hal yang sama. Banyak kenakalan anak dilakukan karena ajakan atau pengaruh teman.
 
3.    Menonjolkan diri atau menarik perhatian :
Selain sikap kompetisi dan komformitas, remaja juga bersikap ingin menonjolkan dirinya, ingin menarik perhatian kelompoknya. Dan itulah ia sering berbuat aneh-aneh, berpakaian yang mencolok ketawa dibuat-buat. Tingkah laku ngebut, show off ugal-ugalan, sering didorong oleh keinginan untuk menarik perhatian ini dan dihargai oleh kelompoknya.
 
4.    Menentang kekuasaan otorita atau orang tua :
Sikap ini sebetulnya sudah ada pada masa sebelum remaja, tetapi menjadi dominan pada masa remaja. Memasuki dunia kelompok teman, remaja sering menolak aturan-aturan yang dikenakan padanya, ia menolak campur tangan orang tuanya terhadap urusan-urusan pribadinya. Sering timbul bentrokan-bentrokan antara orang tua dan anak.
 
5.    Kesadaran sosial :
Kalau masih banyak kesalahan-kesalahan dalam tingkah laku remaja, namun pengertian-pengertian mengenai kewajiban-kewajiban yang dikenakan padanya dan kelompok maupun masyarakat, sudah timbul pada remaja. Terutama pada masa remaja akhir, remaja berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan tuntutan-tuntutan masyarakat, walau masih sering melakukan kesalahan-kesalahan. Remaja sudah lebih pandai untuk mencari cara-cara menarik perhatian yang tidak bertentangan dengan norma- norma masyarakat.
Di samping remaja mempunyai sikap terhadap kelompok-kelompok juga mempunyai kriteria untuk dapat menenima seorang remaja dalam suatu kelompok. Tingkat penerimaan seorang individu dalam kelompok tergantung pada beberapa hal seperti di bawah ini (Siti Rahayu Haditono, 1981, p.16-i7).
1.    Kesan pertama :
Kesan pertama banyak menentukan popularitas remaja dalam kelompoknya. Misalnya seorang remaja yang pemalu mempunyai kesan kurang ramah sedangkan remaja yang supel dianggap sebagai baik hati, cakap dan sebagainya. Kesan pertama ini ikut menentukan status remaja dalam kelompoknya.
 
2.    Mempunyai penampilan yang menanik :
Karena seseorang dinilai dari kesannya terhadap orang-orang lain, maka penampilan yang menarik sangat menguntungkan. Penampilan yang kurang menarik membuat seseorang merasa rendah diri, kurang ramah, malu dan akhirnya bersikap kurang sosial.
 
3.    Reputasi :
Reputasi seseorang sering memberikan kesan “halo”, sekali jelek, sukar untuk diubah begitu pula kalau terlanjur baik, akan mempengaruhi kesan terhadap dirinya cukup lama. Beberapa remaja berusaha untuk mempertinggi kesan terhadap dirinya dengan berbuat macam-macam tindakan berani. Tindakan tindakan apa yang memberikan reputasi baik atau jelek berbeda-beda menurut jenis kelamin dan menurut kelas sosial seseorang.
 
4.    Partisipasi sosial :
Makin banyak partisipasi sosialnya, makin terkenal seorang remaja dalam kelompoknya dan makin baik kesempatannya untuk diterima. Biasanya remaja yang accepted lebih terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler.
 
5.    Kemampuan bicara :
Remaja yang pandai dalam berbicara, dapat leading dalam konversasi, mungkin pandai berpidato sering dikagumi dan dianggap hebat atau pandai. Juga mereka yang dapat melucu, dapat membuat suasana gembira dan hidup, membantu acceptance di dalam kelompok.
 
6.    Kesehatan :
Biasanya remaja yang populer juga mempunyai kesehatan yang baik. Ikut aktif dalam aktivitas kelompok. Remaja yang terganggu kesehatannya tak mungkin dapat ikut kegiatan kelompok dan dengan sendirinya tidak mendapatkan populeritas di antara teman-temannya. Remaja yang mempunyai cacat juga sering mempunyai konsep diri yang tidak baik.
 
7.    Jauh dekatnya rumah dengan kelompok :
Bagi para remaja yang dekat rumahnya tentu akan lebih dapat mengikuti aktivitas-aktivitas kelompok dibanding dengan mereka yang jauh rumahnya. Para remaja yang sering mengikuti aktivitas-aktivitas kelompok akan lebih dapat diterima oleh kelompoknya.
 
8.    Lama waktu menjadi anggota kelompok :
Lama waktu menjadi anggota kelompok berguna untuk diterima oleh kelompok itu bagi sementara orang, tetapi juga kurang ada pengaruhnya bagi sementara orang lagi. Seorang remaja yang mempunyai kesan pertama yang kurang baik atau yang mempunyai norma-norma yang bertentangan dengan norma kelompok akan tetap tidak disukai oleh kelompoknya, tetapi bagi remaja yang malu dan terasing makin lama makin kenal teman-temannya, dan dengan begitu makin dapat menyesuaikan diri dan diterima oleh kelompoknya.
 
9.    Sifat kelompok :
Kelompok yang besar atau kelompok yang kecil mempunyai kriteria sendiri untuk menerima anggota anggotanya. kelompok yang kecil lebih mementingkan akan pribadi seseorang, apa kemampuannya, bagaimana sifat-sifat. kelompok yang besar lebih mementingkan sumbangan/kontribusi seseorang kepada kelompoknya meskipun sifat-sifat pribadi juga diperhatikan.
 
10.    Status sosial ekonomi :
Keadaan sosial ekonomi seseorang memberikan pengaruh yang penting dalam penilaian kelompok. Seseorang yang dapat membenikan sumbangan material untuk kepentingan kelompok menambah popularitasnya dan memberikan lebih banyak kesempatan untuk diterima, meskipun juga sifat-sifat pribadi seseorang ikut menentukan penerimaan ini.
 
11.    Mempunyai kemampuan untuk lekas mengerti keaadaan :
Kemampuan yang dibutuhkan untuk dapat diterima adalah yang disebut social skill yaitu kekampuan untuk lekas mengerti situasi-situasi sosial dan dapat menyesuaikan dirinya pada situasi tersebut.   



Tidak ada komentar:

Posting Komentar