Translate

Jumat, 29 Maret 2013

Pelesir Politis Obama dan Kejutan KTT Arab

Oleh: Musthafa Luthfi

KUNJUNGAN empat hari Presiden AS, Barack Obama ke dua di negara kawasan Timur Tengah (Timteng), yakni Israel dan Yordania disamping Palestina (di bawah penjajahan Israel) pada 20-23 Maret lalu oleh sebagian analis Arab dianggap sekedar pelesir politis karena tidak membawa wijhah nazhar (point of view) baru. Sebagian lainnya menyebutnya kunjungan politis sambil pesiar (ziarah siyasiyah siyahiyah).

Kedua istilah yang digunakan sejumlah analis Arab itu, sebagai bentuk sikap pesimis bahwa kunjungan Obama ke kawasan selain tidak membawa sudut pandang baru bagi solusi “damai” Israel Palestina, juga terkesan sekedar basa-basi menyangkut isu Palestina. Seperti biasa, kunjungan petinggi negeri adikuasa itu lebih dikhususnya untuk mengakomodir keluhan atau pengaduan si anak emas Israel.

Terlepas dari istilah yang dicuatkan sejumlah analis tersebut, kiranya tetap saja perlu dicermati hasil kunjungan pelesir politis tersebut khususnya yang terkait dengan perkembangan situasi kawasan yang masih memanas dan terkesan semakin tereskalasi. Terutama yang berhubungan dengan masa depan isu Palestina, krisis Suriah, kedekatan kembali Israel-Turki dan respon Iran.

Mengenai isu Palestina, sebagaimana pendahulu-pendahulunya tidak ada yang baru selain menyampaikan dukungannya terhadap terbentuknya sebuah negara Palestina merdeka. "Rakyat Palestina layak mendapatkan negaranya sendiri. AS berkomitmen untuk melihat sebuah negara Palestina yang independen dan berdaulat," ujar Obama dalam jumpa pers bersama dengan Presiden Palestina Mahmud Abbas di Ramallah, Tepi Barat, Kamis (21/03/3013).

Dalam kesempatan yang sama, Obama mengecam keputusan Israel yang tidak menghentikan pembangunan permukiman Yahudi di wilayah pendudukan Palestina terutama di kota al-Quds dan Tepi Barat.  "Kami menilai, melanjutkan pembangunan permukiman Yahudi tidak mempercepat upaya menciptakan perdamaian," kata Obama dalam jumpa pers tersebut.
“Dukungan” Obama tersebut bukannya disambut gembira warga Tepi Barat bahkan mereka menolak kedatangan Presiden kulit hitam pertama negeri Paman Sam itu, sebab mereka kelihatannya “muak” dengan basa-basi serupa yang selama ini mewarnai penyelesaian isu sentral Arab ini. Di lain pihak para pejabat Palestina juga meragukan keseriusan Obama untuk menggunakan kekuatan politiknya untuk menekan Israel agar menghentikan pembangunan permukiman Yahudi.

Intinya, isu Palestina tidak mungkin diselesaiakan oleh pihak luar, namun oleh bangsa Arab dan umat Islam secara bersamaan sebab menyandarkan solusi “damai” pada pihak luar, lebih-lebih lagi AS dan Barat sebagai pendukung mutlak negeri Zionis itu, hanya akan berbuah kekecewaan terus menerus. Kesempatan singgah di Tepi Barat, tak lebih dari sekedar konsumsi publik Arab untuk mendapatkan simpati seolah-olah negeri Paman Sam itu tidak pernah melupakan penderitaan bangsa Palestina.

Namun publik Palestina khususnya dan publik Arab pada umumnya sudah tidak mempan lagi terperangkap bujuk rayu dan basa-basi yang terkesan sudah klise tersebut. Apalagi dalam kunjungan Obama kali ini, ia tidak ragu-ragu mendesak dunia Arab agar mengakui Israel sebagai negara Yahudi dan dukungan mutlaknya untuk mempertahankan ancaman eksistensi negeri Zionis itu.

Desakan ini justeru sebagai kejutan yang paling menonjol dari hasil kunjungannya ke kawasan, papar seorang analis Arab. “Kita dikejutkan oleh Tuan Barack “Husein” Obama dalam orasinya di hadapan kelompok pemuda Israel di kota pendudukan al-Quds yang mendesak dunia Arab mengakui Israel sebagai negeri Yahudi....Mereka yang mengingkari eksistensi Israel sama dengan mengingkari keberadaan bumi dan langit,” papar Abdul Bari Athwan mengutip penggalan orasi Obama.

“Kita tidak mengerti mengapa Obama menggunakan kata-kata tersebut, mengapa mengedepankan sikap menjilat yang sangat memalukan, padahal Israel sendiri yang mengancam eksistensi kami, negeri ini yang mengingkari hak-hak kami, ia pula yang memiliki 300 hulu ledak nuklir yang cukup untuk meluluh-lantahkan kawasan,” papar analis Arab yang mukim di London itu.

Saling berkaitan

Mungkin ada tiga isu penting yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya yang dapat dicatat sebagai hasil paling menonjol dari kunjungan Obama tersebut yakni rekonsiliasi Israel-Turki, gambaran penyelesaian krisis Suriah dan isu nuklir Iran. Karena menjadi pertanyaan besar, mengapa PM Benjamin Netanyahu, tiba-tiba siap menyampaikan permintaan maaf dan menyetujui persyaratan PM Turki, Recep Tayyip Erdogan (belum jelas apakah termasuk syarat penghentian embargo atas Gaza).

Dilaporkan bahwa Netanyahu tanpa sedikit keraguan pun langsung menelpon mitranya Erdogan untuk menyampaikan permintaan maaf atas insiden penyerangan militer Israel ke kapal kemanusiaan Turki, Mavi Marmara. Insiden pada bulan Mei 2010 tersebut menewaskan 8 warga Turki dan 1 warga AS keturunan Turki yang berada di kapal tersebut yang langsung mengundang reaksi keras Turki.

Gara-gara aksi brutal militer Israel yang melanggar hukum karena kapal berada di perairan internasional itu, Turki memutuskan hubungan diplomatik yang juga dibarengi penghentian kerja sama kedua negara dalam bidang keamanan dan finansial.  Awalnya, Israel bersikeras menolak meminta maaf, namun, dialog yang terus-menerus antara kedua pihak membuat Israel resmi meminta maaf kepada Turki.

Selain pertanyaan kesediaan Netanyahu meminta maaf, pertanyaan yang tak kalah pentingnya juga adalah terkait kesediaan Erdogan menerima langsung uluran tangan bekas seterunya itu yang ditandai pula dengan kesediaan segera menormalisasikan hubungan bilateral dengan dipercepatnya penempatan kembali Dubes kedua negara. Mengapa Erdogan, dengan serta merta menyambut baik tanpa memberikan tenggang waktu transisi paling tidak untuk sekedar menguji keseriusan bekas seterunya tersebut?

Sejumlah analis Arab melihatnya, normalisasi hubungan Israel-Turki tersebut sebagai semacam strategi yang sudah dimatangkan sejak beberapa bulan sebelum kunjungan empat hari Obama tersebut. Normalisasi ini tidak bisa dianggap sebagai kebetulan saja, tapi ada kaitannya dengan krisis Suriah dan isu program nuklir Iran.

Turki sebagai salah satu negara besar dan penentu di kawasan serta anggota pakta militer NATO telah memainkan peran di garis depan dan secara terang-terangan membantu oposisi untuk menjatuhkan rezim Suriah. Kekhawatiran negeri bekas pusat Kekhalifahan Othmaniyah (Otoman) itu terhadap program nuklir Iran, sebenarnya sama dengan kekhawatiran negeri-negeri lainnya di kawasan terutama negara-negara Teluk dan Israel.

Terkait isu Suriah tersebut, Obama juga telah menjanjikan Yordania bantuan sebesar 200 juta dolar untuk membantu mengatasi dampak dari membanjirnya puluhan ribu pengungsi Suriah ke negeri kerajaan itu. Bantuan ini tentunya tidak mungkin gratis begitu saja pasti ada imbalannya, sehingga Raja Abdullah langsung mengumumkan bahwa tapal batas negaranya terbuka bagi pengungsi Suriah.

Dengan demikian, pesan terpenting dari kunjungan Obama kali ini sebagai “pesan perang”, menurut sejumlah pengamat Arab. Mereka melihat tidak menutup kemungkinan setelah kunjungan tersebut akan terjadi perang terbuka sebagai bencana baru di kawasan karena ada kemungkinan stagnansi krisis Suriah dan isu nuklir Iran tidak bisa dibiarkan berlarut-larut dan harus dilakukan aksi menentukan.

Bila demikian adanya, bisa jadi tahun 2013 ini adalah tahun solusi militer di kawasan sehingga tak berlebihan seorang analis Arab menilai hasil kunjungan tersebut sebagai “bakal bencana”. “Paling tidak gambaran yang bisa kita katakan tentang hasil kunjungan Obama ini adalah hasil kunjungan yang akan memunculkan bencana,” papar Khamis Bin Habib al-Toubi dalam artikelnya di harian al-Watan, Oman, Senin (25/03/2013).

Salah satu pengamat Arab itu mencontohkan, “pemaksaan” Yordania untuk terlibat secara utuh dalam rencana mengatasi krisis Suriah dengan keyakinan bahwa rezim Bashar Assad bakal jatuh mengingatkan kembali kepada skenario invasi atas Iraq. Gambaran ini, sebagai bentuk kekhawatiran akan kemungkinan terjadi bencana baru seperti halnya Iraq dengan giliran kali ini adalah Suriah.

Lalu apakah Iran sebagai sekutu utama Suriah di kawasan akan berdiam diri, tentu jawab pastinya adalah negara Persia itu tidak akan berdiam diri melihat normalisasi Israel-Turki yang sebenarnya bersifat sementara dan “terpaksa” guna mengatur kembali kartu masing-masing menghadapi masalah yang jauh lebih pelik dan berbahaya yakni krisis Suriah dan nuklir Iran.

“Intinya, rujuk Israel-Turki bersifat terpaksa untuk mengatur strategi masing-masing menghadapi masalah yang lebih sulit dan lebih berbahaya. Inilah yang dibaca oleh Iran sehingga besar kemungkinan kawasan akan menghadapi eskalasi baru dari pihak Iran guna menyulitkan kembali posisi Turki dan sebagai upaya menyelamatkan rezim Assad,” papar Tareq Hamid, seorang pengamat Arab, Senin (25/03/2013).

Kejutan

Di tengah kekhawatiran eskalasi baru di kawasan pasca kunjungan Obama tersebut, berlangsung KTT Liga Arab di Doha, Qatar Selasa (26/03/2013) dengan isu utama yang tak beda dengan agenda kunjungan Obama, khususnya krisis Suriah. Sedangkan isu menahun yakni inisiatif perdamaian Arab-Israel, meskipun sebagai salah satu agenda utama KTT, nasibnya diperkirakan seperti KTT-KTT sebelumnya yakni berlarut-larut dengan penolakan Israel yang didukung kuat AS dan Barat.

Pada KTT Arab kali ini setidaknya terjadi kejutan dengan disetujuinya Ketua Koalisi Nasional Suriah, Ahmad Mouaz Al-Khatib sebagai wakil Suriah. Bagi tuan rumah Qatar, duduknya Al-Khatib, mantan Imam Mesjid Umayyah Damaskus sebagai ketua delegasi Suriah dan rombongan sebagai prestasi menonjol KTT Doha, mengingat Qatar adalah salah satu negara Arab yang berada di paling depan menyuarakan berakhirnya legitimasi rezim Assad di Liga Arab.

Dua hari sebelum KTT berlangsung Al-Khatib telah menyatakan pengunduran  dirinya sebagai ketua koalisi oposisi yang sempat menyulitkan posisi Liga Arab menjelang KTT Doha tersebut. Namun sejumlah pengamat Arab memprediksikan, Al-Khatib akan urung mengundurkan diri dan prediksi tersebut telah terbukti dengan kehadirannya mewakili Suriah, dan tercatat kasus ini sebagai pertama kali terjadi dalam KTT Liga Arab yang dibentuk tahun 1945 itu.

Liga Arab untuk pertamakali mengganti posisi keterwakilan resmi sebuah negara anggota dengan pemimpin oposisi dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi kasus serupa dalam KTT-KTT berikutnya. Sejumlah negara anggota sebenarnya tidak menyetujui keputusan ini karena akan menjadi preseden nantinya dan mengajukan opsi agar kursi Suriah tetap dikosongkan, namun sikap ini kalah dari sikap mayoritas anggota.

Al-Khatib seorang ahli geofisika kelahiran tahun 1960, adalah berasal dari keturunan ulama Sunni terkemu Suriah yakni Syeikh Mohammad Abu al-Faraj Al-Khatib sehingga kemunculannya sebagai ketua koalisi boleh dikatakan diterima oleh hampir seluruh faksi. Ia terpilih sebagai ketua koalisi pada bulan Juli 2012 dan sejak saat itu, ia menegaskan bahwa perundingan dengan rezim Bashar Assad sudah tidak ada gunanya lagi.

KTT Doha dengan kehadiran Al-Khatib tersebut, selain sebagai tekanan lebih intensif secara politis dan diplomatis atas rezim Assad, juga sebagai mimbar bagi Al-Khatib untuk menjelaskan opini umum Arab tentang perjuangan kelompoknya. Dan memang terbukti, lewat sambutannya yang mengundang simpati, berhasil menggugah dukungan semakin kuat oponi umum Arab.

Dalam sambutannya pada KTT Doha tersebut, Al-Khatib menyampaikan sejumlah pesan di antaranya ditujukan kepada AS tentang permintaan senjata canggih terutama rudal patriot untuk menjaga wilayah barat daya negerinya. Pesan lainnya ditujukan kepada para kepala negara Arab agar segera membebaskan para tahanan Suriah di negara-negara mereka karena rakyat Suriah satu-satunya yang akan menentukan siapa yang bersalah.

Adapun pesan khusus ke rezim Assad adalah peringatan akan semakin banyaknya korban dan pertumpahan darah akibat sikapnya yang tetap bersikeras mempertahankan kekuasaan. Setelah KTT Doha berlalu, publik tentunya menunggu dengan cemas, kira-kira bagaimana respon negara-negara pendukung oposisi menanggapi pidato Al-Khatib tersebut.

Tidak kalah mencemaskan juga adalah respon negara-negara pendukung rezim Assad terutama Iran dan Rusia yang kelihatannya masih tetap menginginkan kelanggengan kekuasaan Bashar Assad.*/Sana`a, 15 Jumadal Ula 1434 H
sumber hidayatullah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar