Arist Merdeka Sirait gusar. Satu hal yang membuat lelaki berambut
gondrong ini uring-uringan adalah tajamnya peningkatan jumlah perokok
anak di negeri ini.
Kata Arist, dari tahun 1995 hingga 2007 ada 45 juta anak di bawah
umur 17 tahun. Riset Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) tahun
2012, jumlah perokok anak usia di bawah 10 tahun 239 ribu anak.
Sementara perokok pasifnya lebih dari itu. “Bisa jadi Anda dan saya
termasuk dari perokok pasif itu,” katanya.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang fenomena perokok anak, berikut
wawancara reporter Suara Hidayatullah, M. Thufail al-Ghifari dengan pria
kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara, 17 Agustus 1960 ini.
Berapa banyak perokok anak di Indonesia?
Sangat memprihatinkan. Dari tahun 1995 hingga 2007 tercatat ada 45 juta
anak di bawah umur sudah merokok. Mereka menjadi perokok aktif dari
umur 10 hingga 14 tahun. Anak-anak sebagai perokok pasif sudah ada di
lebih dari 100 juta keluarga.
Tahun 2008 hingga 2012 jumlah perokok anak di bawah umur 10 tahun di
Indonesia meningkat 239.000 orang. Sedangkan jumlah perokok anak antara
usia 10 hingga 14 tahun meningkat mencapai 1,2 juta orang. Sementara
perokok pasifnya lebih dari itu.
Hasil riset kami membuktikan, pengaruh ayah, ibu, paman dan keluarga
besar yang merokok menjadi sugesti pertama seorang anak ingin merokok
aktif. Kedua, mereka terinspirasi oleh iklan rokok.
Berapa usia rata-rata perokok anak tersebut?
Di Indonesia ini anak sudah merokok sejak masih berumur 11 bulan. Di
dunia ini cuma ada satu negara yang dijuluki baby smoker, dan itu adalah
Indonesia.
Tahun 2012 ini kami menangani 21 kasus bayi merokok padahal masih
berumur 11 bulan. Gila memang, tapi itulah faktanya. Bayi biasanya
dikasih ASI atau susu formula, di Indonesia bayi justru minta nikotin.
Jadi secara normal, umur anak rentan terkontaminasi rokok di
Indonesia antara umur 11 bulan hingga 12 tahun. Negara pengkonsumsi
rokok terbesar di dunia seperti Cina dan India saja tidak ada yang
seperti itu.
Bagaimana mungkin seorang bayi berumur 11 bulan merokok?
Dari 21 kasus balita merokok memang semua berumur 11 bulan. Luar biasa
lagi mereka merokok karena disuruh orangtuanya. Orangtua anak-anak ini
sudah menyundut-nyundutkan rokok ke mulut mereka. Mereka menyalakan
sebatang rokok dan menaruhnya di mulut si balita, akhirnya balita ini
menjadi bisa merokok.
Jujur, ketika seorang balita ingin merokok dan tidak dibelikan orang
tuanya, perilaku mereka lebih tidak terkontrol. Kasus yang kami tangani
saat ini, rata-rata balita-balita tersebut membentur-benturkan kepalanya
ke tembok jika orang tuanya tidak menyediakan rokok.
Bagaimana menanggulangi hal ini? Di mana sumber masalahnya?
Tidak usah bicara soal undang-undang dulu. Kita mulai dari akar yang
paling mendasar yaitu keluarga dan agama. Di Indonesia ini aneh, orang
yang membela rokok itu justru tokoh agama dan orang tua. Banyak orang
ketika diberitahu tentang bahaya merokok selalu membantah. Bahkan fatwa
haram mengenai rokok juga dibantah oleh ustadz-ustadz yang merokok.
Jika orang tua dan tokoh agamanya telah membenarkan rokok bagaimana kita mau menyelesaikan masalah rokok ini?
Banyak orang dari kelompok beragama terjebak pada masalah halal-haram
ketika bicara rokok. Sementara kelompok ekonomi bicara pada aspek
kesejahteraan petani rokok. Kita itu minim data tapi mau bicara banyak.
Rokok itu permasalahan utamanya adalah kesehatan. Apa pun alasannya
rokok itu merusak kesehatan adalah tidak terbantahkan. Kalau kita sayang
diri kita sebagai anugerah dan titipan Tuhan lalu kenapa kita rusak?
Kan, logikanya begitu.
Lalu, apa yang semestinya dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah?
Ada empat hal yang harus dilakukan oleh masyarakat. Pertama kita perlu
menggalakkan program pengendalian rokok di masyarakat. Rokok tidak boleh
dijual secara terbuka di area publik. Bahkan mengonsumsinya pun harus
di tempat tertutup dan bukan di daerah yang ada anak-anak.
Kedua, melarang semua iklan rokok di masyarakat. Yang ini harus
total. Baik di televisi, di jalanan, dan sponsor acara musik. Ketiga,
harus ada undang-undang yang mengatur semua bungkus atau kemasan rokok
harus tanpa merek. Seperti di Australia, semua kemasan rokok yang dijual
polos tidak bergambar, bahkan tidak ada secuil tulisan merek sekalipun.
Kalaupun ada harus didominasi oleh 70% gambar yang menceritakan
kerusakan akibat rokok.
Keempat, kita menaikkan harga cukai rokok. Termasuk juga melarang
menjual rokok satuan. Dengan cara ini maka anak-anak akan sulit membeli
rokok. Di Amerika harga rokok bisa berkisar 200 ribu per bungkus dan
penjualan rokok disembunyikan.
Bagaimana Undang-Undang Kesehatan kita mengatur hal itu semua?
Di Indonesia ini permasalahan undang-undang terkait kesehatan dan rokok baru bersifat peringatan bukan punishment (sanksi/hukuman). Harusnya kita bisa membuat undang-undang yang menghukum jika ada penjual rokok yang mengizinkan seorang anak kecil membeli rokok.
Di Indonesia ini permasalahan undang-undang terkait kesehatan dan rokok baru bersifat peringatan bukan punishment (sanksi/hukuman). Harusnya kita bisa membuat undang-undang yang menghukum jika ada penjual rokok yang mengizinkan seorang anak kecil membeli rokok.
Di Malaysia dan Singapura hal ini sudah diterapkan. Komnas
Pelindungan Anak sedang mempersiapkan agar gagasan ini bisa masuk
menjadi rancangan undang-undang di DPR.
Adakah kepentingan industri rokok asing di balik ini semua?
Oh, itu sudah jelas, tidak perlu diragukan lagi. Indonesia ini ladang
pengembangan industri rokok. Ketika rokok sudah tidak laku di Amerika
dan negara maju maka para produsen rokok memindahkan produk mereka ke
Indonesia.
Bagaimana nasib petani tembakau jika rokok dibatasi, apalagi dilarang?
Petani selama ini dibodohi. Tembakau mereka tidak laku, kalaupun laku
harganya juga sangat murah. Petani Tembakau di Indonesia ini dibayar
dengan upah yang sangat rendah. Kita ini dibodohi oleh industri rokok
bukan pada aspek kesehatan saja, tapi juga masalah upah petani dan cukai
rokok.
Tidak ada satu pun hasil devisa negara dari rokok itu dibayar oleh
produsen rokok. Mau buktinya? Dari setiap harga Rp 10.000 per bungkus,
harga rokok tersebut sebenarnya Rp 8.000. Yang Rp 2.000 itu cukai atau
pajak rokok itu sendiri. Jadi 57 triliun devisa negara dari keuntungan
rokok itu sebenarnya bukan dari produsen rokok. Tapi semua itu dibayar
oleh rakyat Indonesia sendiri. Itulah bodohnya kita.
Apa solusi untuk para petani tembakau?
Itu sangat mudah. Dulu banyak kebun teh, namun ketika harga teh turun
para pengusaha perkebunan mengganti kebunnnya dengan cokelat. Setelah
cokelat turun sekarang sedang tren usaha perkebunan kelapa sawit.
Sebenarnya kalau mengganti pertanian tembakau dengan teh, cokelat,
kelapa sawit dan lainnya itu mudah. Ini masalah kemauan saja kok.
By : Hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar