NEGERI ini sepertinya masih enggan diselingkuhi berbagai persoalan pelik. Setelah ribut dengan kasus impor daging, kini giliran bawang. Ya, entah sampai beberapa minggu ke depan, masyarakat sepertinya masih akan dipaksa mencicipi kenaikan harga bawang yang melambung tinggi. Syukur bagi petani? Ternyata tidak juga. Karena usut punya usut, kenaikan harga bawang dipicu kegagalan panen yang akhirnya menyebabkan kurangnya pasokan bawang di pasaran. Gagal berarti petani rugi. Terlebih lagi, banyaknya permainan tengkulak yang justru untung ditengah petani yang buntung.
Di sisi lain, naiknya harga bawang otomatis memicu kenaikan harga komoditas yang lain pula, bahkan harga makanan secara umum. Artinya, masyarakat termasuk petani tetap terkena imbas, dibuat resah dengan pengeluaran yang semakin mahal. Di sini, terlihat jelas bagaimana kebijakan pemerintah begitu lemah dalam melindungi petani dan masyarakat umum.
Lebih jauh lagi, jika menimbang harga bawang yang mahal (sementara bawang adalah bahan dasar dalam bumbu masakan), bisa jadi membuat pedagang makanan beralih pada bumbu sintetik yang lebih murah.
Konsekuensinya?
Ya, masyarakat akan dihadapkan dengan pola konsumsi yang berbeda. Mengkonsumsi bahan makanan yang lebih banyak mengandung MSG yang sudah jadi rahasia umum mampu menimbulkan pengaruh buruk bagi penggunanya. Ini tentu menjadi dilema tersendiri bagi masyarakat, kita butuh makanan halal, tapi gimana kalo ga thoyyib?
Bukan mau menyalahkan, tapi beginilah hidup dalam negara berasas demokrasi. Sistem yang takkan berpihak pada keamanan pangan sejati. Bahkan, dalam sistem ini terpenuhi atau pun tidak kebutuhan pangan bagi masyarakat, ya terserah masing-masing. Negara tak punya kewajiban untuk menjamin pangan yang aman (halal sekaligus thoyyib) sampai ke mulut-mulut rakyatnya. Semua dibebaskan. Padahal jika bahan pangan yang dikonsumsi berbahaya, apa yang akan terjadi dengan generasi masa depan?
Sementara berbeda dengan Islam yang sangat menekankan penjagaan sistem keamanan pangan, dengan berpijak pada konsep halal dan thoyib serta menjelaskan jenis bahan makanan yang diharamkan, seperti babi dan khamr. Selain tentu saja penjaminan yang ketat bagi terpenuhinya kebutuhan pangan masyarakat tanpa kecuali.
Ya, begitulah penjagaan generasi dalam Islam yang tidak hanya dari sisi aqidah dan pemikiran, namun juga dari sisi ashababiyah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakatnya. Di sini, dari bawang kita bicara negara dan dari bumbu dapur kita bicara generasi. Kenapa tidak?
By : Hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar