BETAPA sedih rasanya jika menatap realitas kaum Muslimin dewasa ini. Mereka diselimuti oleh kemiskinan ideologi, moral, dan material. Mereka telah terjangkiti virus hubbud dunya wa karahiyatul maut (kecintaan secara berlebih-lebihan terhadap dunia dan takut mati). Mereka berbuat zhalim karena miskin iman. Dan mereka sering melakukan tindakan yang tidak terkontrol kerena miskin ilmu. Pemimpin mereka mengajarkan bahwa ilmu adalah cahaya, sedangkan kebodohan adalah kegelapan.. Mereka tidak peduli dengan nasihat para Nabinya, sehingga mereka kurang wawasan, maka gelaplah pikiran dan mata hati mereka dalam mengelola problem yang di hadapi.
Mereka bukanlah penguasa-penguasa di bumi seperti yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Umat Islam yang dijuluki khairu ummah (umat yang paling baik), hanyalah sebagai mainan kecil/bola pimpong di tangan kaum kafir dan musyrik. Keberadaan kaum Muslimin belum berhasil menjadikan diri mereka gambaran Al-Quran yang berjalan secara kongkrit yang bisa disaksikan orang lain. Bahkan, mereka adalah manusia-manusia yang memiliki kelayakan untuk dijajah (qabiliyyah littakhalluf). Jadi, bukanlah musuh yang terlalu kuat untuk dihadapi, tetapi kaum Musliminlah yang kehilangan elan vital, spirit jihad.
Kaum Muslimin kontemporer bukanlah pahlawan ilmu pengetahuan, sekalipun al-Quran memberikan perintah pertama kali, iqra' (bacalah). Mereka bukanlah orang yang berkepala dingin dalam mengelola konflik, sekalipun mereka telah membaca surat Asy Syura. Mereka bukanlah orang yang kuat dalam aspek militer, sekalipun kitab mereka memerintahkan untuk mempersiapkan kekuatan. Mereka bukanlah orang yang pandai berbisnis, sekalipun pasca Jum’atan diintruksikan untuk bertebaran di muka bumi. Alangkah jauhnya jarak kaum Muslimin dengan kitab sucinya?
Gerangan apakah yang menjadikan pendahulu mereka menguasai hampir separo dunia? Gerangan apakah yang mengubah para penunggang onta di gurun sahara yang sunyi dan gersang menjadi referensi/rujukan pahlawan ilmu dan peradaban dunia? Gerangan apakah yang mengubah suku-suku yang hobi minum-minuman, perang karena dipicu persoalan sepele, makan riba, main perempuan, merampok, menjadi komunitas yang disegani oleh kawan dan lawan? Gerangan apa pula yang membuat penggembala-penggembala yang bodoh menjadi penakluk-penakluk Kekaisaran Persia dan Bizantium?
Langkah Fundamental
Perhatikanlah, apakah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam untuk melahirkan revolusi menakjubkan ini dalam jangka waktu kurang dari ¼ abad. Yang paling utama dan pertama-tama yang dilakukan oleh manusia pilihan itu adalah menanamkan di dalam hati pengikut-pengikutnya kalimatut taqwa, kalimat thayyibah, kalimatun sawa, kalimatut tauhid, qaulun tsabitun : “laa Ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah”.
Beliau mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada tuhan yang layak disembah dan dipuja selain Allah Subhanahu Wata’ala. Selain Allah Subhanahu Wata’ala adalah makhluk yang hina (dzalil), bodoh (jahil), faqir (membutuhkan orang lain), ‘ajiz (lemah, tidak kuat menahan ngantuk jika sudah tiba). Betapapun luasnya kekuasaan, keberlimpahan harta, ketinggian ilmu, dan kuatnya pengaruh mereka.
Mereka adalah makhluk yang kecil, remeh, tidak berdaya, tidak ada apa-apanya di hadapan Al-Khaliq, Al-‘Alim, Al-Akram. Semua manusia memiliki kedudukan yang sama. Ukuran seseorang tidak ditentukan oleh asesoris lahiriyah. Misalnya, kekayaan yang dimiliki, kekuasaan yang digenggam, luasnya wawasan dan ilmu serta pengaruh keturunan (darah biru). Yang paling mulia disisi-Nya hanyalah orang yang bertakwa. [QS: Al Hujurat (49) : 13].
Kalimat tauhid tersebut di atas menanamkan sikap harga diri kaum Muslimin awal. Dan pada saat yang bersamaan tercerabut rasa rendah diri. Hilang jiwa kerdil, dan tertanamlah jiwa besar. Hilang sikap jumud, terbukalah wawasan yang baru, luas tak bertepi. Para pengikut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam yakin secara bulat bahwa kemuliaan itu adalah milik Allah, Nabi-Nya dan para mukmin.
Begitu rasa rendah diri lenyap, bersemayamlah di dalam hati mereka identitas yang konstruktif. Mereka bangga bukan karena kelebihan yang mereka miliki, potensi diri yang hebat, dan backing dari kekuatan tertentu, tetapi karena keyakinan yang kuat kepada kebesaran dan keagungan Allah Subhanahu Wata’ala
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran (3) : 139).
Kita semua tahu dari sejarah Islam, bagaimana sahabat yang berasal dari orang Arab dusun Rabi’ bin Amir berdiri dengan gagah berani di hadapan Kaisar Romawi, dengan meyakinkan menampakkan kebanggan berislam, tanpa rasa minder sedikitpun, menolak keharusan bersujud di hadapan raja, sekalipun hanya mengendarai keledai kecil dan pakaian sederhana.
Ketika Kaisar Romawi bertanya dengan penuh keheranan, beliau menjawab: “Aku diutus untuk membebaskan manusia dari penyembahan kepada sesama manusia menuju penyembahan kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan membebaskan mereka dari kesempitan agama menuju keluasan agama.”
Kita tahu bagaimana Umar bin Khathab menolak pakaian-pakaian raja yang diberikan kepadanya ketika ia memasuki Yerusalem sebagai penakluk yang gagah berani. Ia mengatakan, sesungguhnya islam sudah cukup memberikan kemuliaan kepada diri saya. Bukan bersumber dari atribut lahiriyah.
Dari dua kisah tadi, kita dapat mengambil pelajaran penting bahwa kaum Muslimin pertama tidak terpesona dan silau oleh kegemerlapan duniawi, syahwat politik, syahwat perut dan syahwat di bawah perut (syahwatul farji).
Kiat Mengembalikan Harga Diri
Jika kaum Muslimin sekarang ingin mewarisi kepemimpinan/penghulu dunia, mareka harus meraih kembali harga diri/identitas yang hilang. Yaitu dengan memperbaharui daya serap terhadap hakikat kalimat tauhid, laa ilaha illallah. Banyak diantara kita yang terpesona dengan kebesaran lahiriyah. Terkagum-kagum dengan akselerasi sain dan teknologi bangsa lain.
Sehingga kita lupa bahwa kita adalah Muslim/mukmin yang lebih unggul di hadapan Allah Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Yang lebih ironis, sebagian kaum Muslim menyembunyikan keimanannya. Seakan-akan keyakinan itu urusan pribadi, dan mengganggu orang lain. Kadang merendahkan kalimat salam, hanya karena takut dikenali sebagai Muslim. Mereka ragu/skeptis bahwa ajaran Islam adalah sumber kemuliaan dan kejayaan di dunia ini dan di akhirat.
Lihatlah ghirah keislaman Ibnu Masud, yang dikenal seorang ‘alim al-Muqri’ (penghafal al-Quran) dari kalangan sahabat. Dialah orang yang pertama membacakan Al-Quran kepada kaum kafir setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Setelah kaum kafir bersepakat melarang orang mendengarkan Al-Quran, para sahabat berkumpul di suatu tempat. Mereka membahas situasi dan berkesimpulan bahwa salah seorang diantara mereka harus membacakan Al-Quran di hadapan kerumunan dan hiruk pikuk para kuffar dengan kesiapan menanggung resiko yang tidak mudah dan sederhana.
Ternyata, Ibnu Masud yang berkaki kecil itu bersedia melakukannya. Sahabat-sahabat yang lain menolaknya dengan mengatakan : Kami merasa khawatir tentang dirimu. Yang kami perlukan adalah seseorang yang didukung oleh keluarga-keluarganya yang memiliki akses ekonomi dan kekuasaan kabilah Quraisy sehingga meminimalisir penyiksaan kaum kafir.
Sekalipun beliau saat itu kurang dikenal, tetapi bersikeras untuk melaksanakan tugas. Beliau pergi ke pasar dan membaca Al-Quran dengan suara keras. Maka, orang-orang kafir menyiksanya. Dan beliau kembali kepada keluarganya dengan wajah berlumuran darah.
Para sahabat bertanya, Inilah yang kami khawatirkan? Abdullah menjawab;”Kaum kafir itu belum pernah sedemikian hina di mataku kecuali untuk hari ini. Jika kalian sudi, saya akan mengatakan hal yang sama di hadapan mereka besok atau lusa. Tidak, anda salah membacakan kepada mereka apa yang mereka benci.”
Pernyataan Abdullah itu menggambarkan pengaruh/efek dari tauhid/aqidah yang sangat mendalam (atsarun fa’aal) dalam kehidupannya. Sekarang ini, ketika semua filsafat gagal menuntun manusia menuju pintu kebahagiaan, kita merindukan Ibnu Mas’ud, Ibnu Mas’ud pada abad 20. Yaitu, disamping bangga sebagai Muslim, hamba Allah Subhanhu Wata’a, pula siap menanggung resika yang paling pahit demi keimanan yang diyakininya.
Kita perlu meraih kembali identitas Muslim yang telah hilang. Agar tidak mudah silau dengan kemegahan dunia lain. Dan kita tanamkan kembali bahwa sumber kemuliaan yang tidak akan pernah kering oleh perputaran peradaban adalah berasal dari Allah, Rasul-Nya dan kaum beriman sendiri. Bukan atribut yang diimpor dari asing. Di bawah naungan-Nya, rahim Islam pernah melahirkan para pahlawan yang patriotik.
Dengan meraih kembali harga diri itu, kaum Muslimin akan bersikap tegas terhadap orang kafir dan kasih sayang kepada orang-orang beriman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (QS: Al Maidah (5) : 54).
Sumber Kemuliaan Hakiki
Umat Islam diajarkan untuk tidak bangga dengan atribut yang semu, kebanggaan etnis, kekayaan, warna kulit, asesoris lahiriyah. Karena hal itu akan membawa kehancuran dan penyesalan tiada akhir. Tetapi, Islam mengajarkan pemeluknya untuk bangga menjadi hamba Allah yang taat, patuh terhadap hukum-Nya. Tidak meletakkan dahi kepada siapapun. Karena dahi ini hanya layak diletakkan untuk ta’zhim dan hurmat kepada Zat Yang Maha Kuat dan Maha Perkasa. Kebanggan terakhir ini akan mendatangkan kemuliaan dan kemenangan.
Sesungguhnya pemilik kekuasaan tanpa pensiun dini, kekayaan yang tidak pernah habis, ilmu yang tidak pernah kering, hanyalah Allah Subhanahu Wata’ala. Dia berkuasa menurunkan orang yang tadinya memiliki kedudukan tinggi menjadi hina dalam sekejap. Dan Dia berkuasa mengangkat seseorang yang tidak diperhitungkan, orang kecil, menjadi mulia dalam waktu yang singkat pula. Kekuasaan, harta, ilmu, yang dimiliki oleh manusia hanyalah hak guna dan hak pakai. Bukan hak milik. Kita perlu muhasabah, bukan sekedar mempertanyakan apakah kepemilikan kita itu sudah sah secara formal, tetapi apakah yang menjadi milik kita menambah kebaikan diri kita dan bermanfaat untuk banyak orang (barakah)?
Apakah jabatan kita memuliakan kita? Apakah harta kita menambah kebaikan keluarga kita? Apakah ilmu kita dirasakan manfaatnya oleh banyak orang? Apakah pengaruh kita semakin mendekatkan diri kita kepada Allah Subhanahu Wata’ala? Apakah anak dan isteri kita sebagai sumber kebahagian dan ketenteraman kita?
Ahli sastra Arab mengatakan: "Jika engkau membawa keranda ke kuburan ingatlah suatu ketika engkau akan digotong. Dan jika engkau diserahi urusan kaum ingatlah suatu saat engkau akan dimakzulkan (dilengserkan)".*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar