Oleh: Dr. Adian Husaini
PADA hari Jumat (01/3/2013), saya mendapatkan kesempatan menyampaikan pidato pembukaan (Keynote Speech) pada acara Munas III Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT), di Palembang. Sumatera Selatan. Sekitar 1200 hadir dalam acara itu. Anggota JSIT sendiri sekarang mencapai lebih dari 1600 sekolah. Acara pembukaan di Arena Olah Raga Jakabaring Palembang itu sangat semarak. Gubernur Sumatera Selatan Alex Nurdin dan Wakil Mendikbud bidang Kebudayaan hadir memberikan sambutan dan membuka acara yang dihadiri para guru dan pengelola sekolah Islam dari Sabang sampai Merauke.
Hadir pula, pada perhelatan ini, sejumlah cendekiawan dan praktisi pendidikan dari Pakistan, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Yang patut diapresiasi, menurut pengurus JSIT, para hadirin hadir atas biaya sendiri. Semangat dan antusiasme para hadirin antara lain ditandai dengan terdengarnya pekik takbir berulang kali saat acara berlangsung. Ini benar-benar sebuah momentum yang penting dalam dunia pendidikan Islam.
Pada kesempatan itulah, saya berkesempatan berbagi pikiran dan perasaan dengan para pakar dan praktisi pendidikan Islam itu. Kepada mereka saya sampaikan, bahwa saat ini, -- tanpa menafikan setor-sektor lainnya -- bisa dikatakan, pendidikan adalah satu-satunya sektor dakwah yang bisa dengan mudah ditunjukkan berbagai keberhasilannya. Dalam kurun sekitar 20 tahun terakhir, berbagai prestasi pendidikan Islam tampak menonjol, khususnya di tingkat taman kanak-kanak, tingkat dasar, dan menengah. Prestasi yang sangat menonjol adalah tertanamnya rasa kepercayaan dan bahkan rasa bangga kaum Muslim terhadap sekolah-sekolah Islam di berbagai daerah – apakah yang menggunakan label terpadu atau tidak.
Kini, dengan mudah kita menjumpai elite-elite muslim yang tanpa malu-malu dan bahkan merasa bangga mengirimkan anaknya ke sekolah Islam atau pondok-pondok pesantren. Prestasi-prestasi akademik sekolah Islam pun banyak yang membanggakan. Kini dengan begitu mudahnya kita menunjukkan sekolah-sekolah Islam unggulan di kota-kota di Indonesia yang nilai ujian nasionalnya melampaui prestasi sekolah-sekolah non-muslim atau sekolah umum.
“Kebanggaan” (pride/izzah) dalam diri seorang Muslim merupakan aspek penting dan mendasar untuk meraih prestasi-prestasi besar berikutnya. Jika kaum Muslim tidak bangga, tidak percaya, dan tidak memiliki ‘izzah terhadap lembaga-lembaga Islamnya sendiri, sulit diharapkan lembaga Islam itu akan berkembang. Kita ingat sebuah ungkapan terkenal dari cendekiawan Muslim Muhammad Asad yang beberapa kali kita kutip dalam CAP: no civilization can prosper or even exist after having lost this pride and the connection with its own past. Tidak ada satu peradaban yang akan berjaya atau bahkan akan eksis jika sudah hilang kebanggaannya terhadap dirinya atau terputus dari sejarahnya.
Jadi, kebanggan dan kepercayaan kaum Muslim terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah modal dasar yang sangat penting bagi kemajuan pendidikan Islam di masa depan.
Jangan sampai kepercayaan (trust) itu disia-siakan. Perlu disadari bahwa prestasi ini tidak dicapai dengan mudah. Sejumlah pengelola lembaga pendidikan Islam bercerita suka-dukanya merintis pendidikan Islam di era 1980 dan 1990-an. Banyak di antara mereka yang datang dari rumah ke rumah untuk meyakinkan para orang tua muslim, bahwa sekolah yang akan mereka dirikan adalah sekolah yang serius dan bermutu tinggi. Tidak jarang mereka menjadikan anak-anak mereka sebagai “singa percobaan”. Dengan cara itu orang lain mau percaya. Uniknya, banyak perintis lembaga-lembaga pendidikan Islam “terpadu” ini adalah para professional muslim; apakah dokter, insinyur, pengusaha, dan sebagainya.
Dalam kaitan inilah, di Jakabaring Palembang itu, saya mengajak para guru untuk “bangga” sebagai guru. Pengelola pendidikan seyogyanya benar-benar menempatkan guru sebagai posisi terhormat, tidak kalah terhormatnya dengan pejabat. Guru – dalam pandangan saya – bukanlah sebuah profesi yang dihargai karena bayaran. Guru dalam Islam adalah mujahid. Menyampaikan ilmu adalah jihad fi-sabilillah. Kata Nabi: “Barang siapa yang keluar rumah untuk mencari ilmu maka dia sedang berjihad di jalan Allah.”
Karena itu, sungguh rugi jika guru tidak serius dalam mengajar dan hanya mau mengajar karena dibayar. Dibayar atau tidak dibayar, orang yang punya ilmu wajib mengajarkan ilmunya. Tapi, sebagai mujahid, guru berhak mendapatkan “honor” (kehormatan) yang layak. Mujahid harus dimulyakan. Patut kita sampaikan: “Anda, para guru derajatnya sangat mulia, tidak kalah mulia dengan anggota DPR!”
Memang, kadangkala masih ada kesalahpahaman. Masih ada guru – termasuk dosen, rektor, dekan, dan sebagainya – merasa lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan para pejabat negara. Lembaga Pendidikan Islam harus benar-benar sangat serius untuk meningkatkan kualitas guru, sehingga mereka dapat menjadi “mujahid” di bidang keilmuan dan pendidikan. Keliru, jika masih ada lembaga pendidikan Islam yang lebih mengutamakan membangun gedung ketimbang meningkatkan kualitas guru.
Tantangan
Pada kesempatan itu saya juga menyampaikan bahwa di tengah-tengah pencapaian penting yang dicapai, ada dua tantangan besar yang sedang dihadapi oleh dunia pendidikan Islam. Pertama, godaan materialisme; godaan penyakit hubbud-dunya, cinta dunia. Kedua, jebakan kurikulum sekuler.
Tentang tantangan pertama, Rasulullah Muhammad sudah bersabda: “Hampir tiba suatu zaman dimana bangsa-bangsa dari seluruh dunia akan datang mengerumuni kamu bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka.” Maka salah seorang sahabat bertanya: “Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada hari itu?” Nabi menjawab: “Bahkan, pada hari itu jumlah kamu banyak sekali, tetapi kamu umpama buih di waktu banjir, dan Allah akan mencabut rasa gentar terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan melemparkan ke dalam hati kamu penyakit al wahnu.” Seorang sahabat bertanya: “Apakah al wahnu itu Ya Rasulallah?” Rasulullah menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Daud)
Hadits Rasulullah Muhammad ini menjelaskan kondisi umat yang sangat lemah, tidak berdaya, tiada arti, meskipun jumlahnya sangat besar. Tanpa perlu melakukan riset yang rumit, dengan mudah dapat dilihat, bahwa kondisi umat Islam saat ini sangat mirip dengan apa yang digambarkan Rasulullah Muhammad tersebut.
Di berbagai belahan dunia, umat menghadapi ujian dan cobaan yang berat. Di Palestina, Moro, Xin Jiang, India, Kashmir, Moro, Patani, dan di berbagai belahan dunia, umat Islam menghadapi penindasan dalam berbagai bidang kehidupan. Umat Islam, yang jumlahnya sekarang sekitar 1,4 milyar jiwa, bernasib seperti buih, kehilangan kepercayaan diri, diombang-ambingkan situasi dan kondisi.
Dalam sejarah kita bisa menyaksikan, bagaimana kehancuran kekuatan Muslim di Andalusia, Baghdad, juga Palestina, akibat meruyaknya budaya hubbud-dunya. Imam al-Ghazali, dalam Kitabnya, Ihya’ Ulumuddin, sudah menggariskan sebuah teori: “Rakyat rusak gara-gara rusaknya penguasa; penguasa rusak gara-gara ulama rusak; dan ulama rusak karena terjangkit penyakit gila jabatan dan gila harta (hubbul jaah wal maal).”
Peringatan Rasulullah ini dapat kita refleksikan dalam skala kecil pada lembaga-lembaga Islam. Jika penyakit “gila dunia” sudah merejalela di sekolah-sekolah Islam, maka sekolah Islam itu tinggal menunggu waktu kehancurannya. Mungkin bangunan sekolah itu tampak megah, bayarannya mahal, tetapi ruh pendidikan Islamnya sejatinya sudah hilang. Sekolah Islam itu tidak lagi menjadi tempat ideal untuk menanamkan aqidah dan akhlak yang mulia, sebab yang mereka saksikan, sekolahnya sendiri tidak memberikan teladan. Apalagi, jika para orang tua dan siswa mendapati praktik-praktik korup dan keserakahan di sekolahnya.
Di tengah meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam, godaan materi ini bisa jadi begitu menggiurkan. Sekolah Islam menjadi lahan bisnis yang menjanjikan keuntungan besar, sejalan dengan meningkatnya kesadaran ber-Islam di kalangan elite-elite muslim. Jika niat mendirikan sekolah Islam bukan lagi karena semangat jihad dalam bidang keilmuan, tetapi dimotivasi untuk mengeruk keuntungan duniawi semata, maka niat yang salah itu akan merusak seluruh aspek pendidikan Islam.
Perlu dicatat dengan baik, JSIT sudah menetapkan bahwa Karakteristik JSIT Indonesia diantaranya adalah: (1) Menjadikan Islam sebagai landasan filosofis dan operasional sekolah, (2) Mengintegrasikan ilmu dan nilai kauniyah dan qauliyah dalam bangunan kurikulum, (3) Menerapkan dan mengembangkan metode pembelajaran efektif untuk mencapai optimalisasi proses belajar mengajar, (4) Mengedepankan qudwah hasanah dalam membentuk karakter peserta didik, (5) Menumbuhkan bi’ah sholihah dalam iklim dan lingkungan sekolah
Mudah-mudahan karakteristik ideal sekolah Islam seperti itu bisa benar-benar terwujud. Karakteristik ideal itu akan berantakan jika penyakit al-wahnu sudah membudaya dalam kehidupan para guru dan pengalola sekolah.
Tantangan kedua yang sangat penting untuk kita pahami benar-benar adalah “jebakan kurikulum sekuler”. Saat ini, masih banyak lembaga pendidikan Islam yang belum benar-benar menata kurikulumnya berdasarkan konsep keilmuan Islam. Mereka masih menggunakan kurikulum-kurikulum yang bercampur aduk antara yang benar dan yang salah. Kurikulum sains, misalnya, belum diarahkan untuk mencetak manusia-manusia yang beriman dan bertaqwa, tetapi hanya diarahkan semata-mata untuk memberikan kemampuan siswa menjawab soal-soal ujian. Tentu saja itu tidak keliru, tetapi masih sangat belum memadai jika dilihat dalam perspektif keilmuan dalam Islam.
Masih banyak siswa-siswa sekolah Islam yang belum mengenal ilmuwan-ilmuwan Muslim sejati, yang bukan hanya pakar di bidang sains, tetapi mereka juga ulama-ulama yang sangat hebat, seperti Abu rayhan al-Biruni, Fakhruddin al-Razi, Ibn Khaldun, Imam al-Ghazali, dan sebagainya. Mereka tidak mengenal sejarah sains. Bahwa, peradaban Barat mewarisi sains bukan langsung dari khazanah peradaban Yunani. Tetapi, mereka banyak mewarisi sains dari para ilmuwan muslim.
Karena itu, dalam bukunya yang berjudul “What Islam Did For Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization” (London: Watkins Publishing, 2006), Tim Wallace-Murphy meletakkan satu sub-bab khusus berjudul “The West Debt to Islam” (Hutang Barat terhadap Islam). Menurut penulis buku ini, hutang Barat terhadap Islam adalah hal yang tak ternilai harganya. “Even the brief study of history revealed in these pages demonstrates that European culture owes an immense and immeasurable debt to the world of Islam,” tulisnya. Juga ia tegaskan: “Kita di Barat menanggung hutang kepada dunia Islam yang tidak akan pernah lunas terbayarkan.” (We in the West owe a debt to the Muslim world that can be never fully repaid).
Fakta sejarah seperti ini sangat perlu dipahami oleh siswa-siswa sekolah Islam, agar mereka tidak memandang kemajuan Barat secara membabi-buta. Mereka perlu dibekali dengan sikap kritis dan apresiatif terhadap peradaban lain. Tidak menolak dan menerima secara membabi-buta apa pun yang datang dari peradaban lain. Apalagi, dalam kaitan pandangan hidup dan nilai-nilai kebenaran. Juga, agar tidak tertanam rasa ”minder”, rendah diri, dalam berhadapan dengan dunia modern yang menghegemoni seluruh aspek kehidupan manusia dewasa ini.
Contoh jebakan kurikulum sekuler lainnya. Misalnya, dalam kurikulum sejarah masih banyak yang mengajarkan sejarah manusia secara sekuler dan meterialis, semata-mata hanya merujuk kepada fosil-fosil manusia. Cara belajar sejarah semacam ini jauh dari konsep ilmu dalam Islam yang menggunakan pendekatan epistemologis Islami, yang memadukan tiga sumber ilmu: panca indera, akal, dan khabar shadiq; bukan mengandalkan panca indera dan akal semata.
Tahun 1988, pakar filsafat Islam, Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas memberikan perhatian khusus terhadap kitab akidah Islam tertua yang beredar di wilayah Melayu, yaitu kitab Aqa’id al-Nasafiah. Tahun 1988, Prof. al-Attas menerbitkan salah satu karya monumentalnya: The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the ‘Aqaid of al-Nasafi (Kuala Lumpur: University Malaya, 1988).
Kitab Aqidah al-Nasafi ini unik. Baris-baris awal diawali dengan bimbingan cara berpikir dan cara meraih ilmu dalam Islam. Imam al-Nasafi menulis kalimat awal pada kitabnya: “haqa’iq al-asyya’ tsaaibitatun, wal- ilmu biha mutahaqqiqun, khilafan li-sifastha’iyyah.” (Hakekat segala sesuatu adalah tetap; dan memahaminya adalah kenyataan; berbeda dengan pandangan kaum sofis). Kaum sofir adalah kaum yang tidak percaya bahwa manusia bisa meraih ilmu. Mereka selalu ragu dengan pengatahuan yang diraihnya.
Lalu, Imam al-Nasafi melanjutkan uraiannya dengan mengunkapkan tiga sebab manusia meraih ilmu, yaitu melalui panca indera, akal, dan khabar shadiq (true report). Konsep epistemology al-Nasafi ini sangatlah penting untuk dipahami para pengkaji ilmu, khususnya para akademisi, dan juga setiap muslim. Kekeliruan dalam memahami konsep ilmu dapat menjauhkan manusia dari kebahagiaan sebab tidak pernah mengenal Tuhan Sang Pencipta.
Faktanya, di berbagai sekolah Islam, kini masih diajarkan buku-buku pelajaran yang sekular yang hanya mengandalkan ilmu empiris dan rasional. Bahkan, banyak yang terjebak oleh cara berpikir, bahwa agama adalah bukan ilmu; al-Quran bukan sebagai sumber ilmu, sehingga pelajaran sains, sejarah, sosiologi, filsafat, dan sebagainya, dijauhkan dari sumber-sumber al-Quran. Cara berpikir dikotomis dan sekuler semacam ini adalah keliru dan seyogyanya tidak mendapatkan tempat di lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Apapun kondisinya, kita patut mensyukuri segala macam anugerah Allah dalam bidang pendidikan Islam. Kita tidak boleh sombong. Apalagi merasa bahwa keberhasilan saat ini adalah semata-mata hasil kerja keras manusia, dan bukan anugerah Allah AL-QAIDAH. Pada saat yang sama, kita wajib mengevaluasi segala macam kelebihan dan kelemahan yang ada, sehingga lembaga-lembaga pendidikan Islam akan semakin baik kedepan dan mampu menjalankan fungsinya sebagaimana sepatutnya.
Kita camkan bersama perintah Allah Subhanahu Wata'ala: “Wahai orang-orang beriman, bersabarlah, perkuatlah kesabaranmu, bersiapsiagalah selalu, dan bertakwalah kepada Allah, semoga kamu akan menang.” (QS Ali Imran:200).*
Catatan Akhir Pekan (CAP) adalah hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
PADA hari Jumat (01/3/2013), saya mendapatkan kesempatan menyampaikan pidato pembukaan (Keynote Speech) pada acara Munas III Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT), di Palembang. Sumatera Selatan. Sekitar 1200 hadir dalam acara itu. Anggota JSIT sendiri sekarang mencapai lebih dari 1600 sekolah. Acara pembukaan di Arena Olah Raga Jakabaring Palembang itu sangat semarak. Gubernur Sumatera Selatan Alex Nurdin dan Wakil Mendikbud bidang Kebudayaan hadir memberikan sambutan dan membuka acara yang dihadiri para guru dan pengelola sekolah Islam dari Sabang sampai Merauke.
Hadir pula, pada perhelatan ini, sejumlah cendekiawan dan praktisi pendidikan dari Pakistan, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Yang patut diapresiasi, menurut pengurus JSIT, para hadirin hadir atas biaya sendiri. Semangat dan antusiasme para hadirin antara lain ditandai dengan terdengarnya pekik takbir berulang kali saat acara berlangsung. Ini benar-benar sebuah momentum yang penting dalam dunia pendidikan Islam.
Pada kesempatan itulah, saya berkesempatan berbagi pikiran dan perasaan dengan para pakar dan praktisi pendidikan Islam itu. Kepada mereka saya sampaikan, bahwa saat ini, -- tanpa menafikan setor-sektor lainnya -- bisa dikatakan, pendidikan adalah satu-satunya sektor dakwah yang bisa dengan mudah ditunjukkan berbagai keberhasilannya. Dalam kurun sekitar 20 tahun terakhir, berbagai prestasi pendidikan Islam tampak menonjol, khususnya di tingkat taman kanak-kanak, tingkat dasar, dan menengah. Prestasi yang sangat menonjol adalah tertanamnya rasa kepercayaan dan bahkan rasa bangga kaum Muslim terhadap sekolah-sekolah Islam di berbagai daerah – apakah yang menggunakan label terpadu atau tidak.
Kini, dengan mudah kita menjumpai elite-elite muslim yang tanpa malu-malu dan bahkan merasa bangga mengirimkan anaknya ke sekolah Islam atau pondok-pondok pesantren. Prestasi-prestasi akademik sekolah Islam pun banyak yang membanggakan. Kini dengan begitu mudahnya kita menunjukkan sekolah-sekolah Islam unggulan di kota-kota di Indonesia yang nilai ujian nasionalnya melampaui prestasi sekolah-sekolah non-muslim atau sekolah umum.
“Kebanggaan” (pride/izzah) dalam diri seorang Muslim merupakan aspek penting dan mendasar untuk meraih prestasi-prestasi besar berikutnya. Jika kaum Muslim tidak bangga, tidak percaya, dan tidak memiliki ‘izzah terhadap lembaga-lembaga Islamnya sendiri, sulit diharapkan lembaga Islam itu akan berkembang. Kita ingat sebuah ungkapan terkenal dari cendekiawan Muslim Muhammad Asad yang beberapa kali kita kutip dalam CAP: no civilization can prosper or even exist after having lost this pride and the connection with its own past. Tidak ada satu peradaban yang akan berjaya atau bahkan akan eksis jika sudah hilang kebanggaannya terhadap dirinya atau terputus dari sejarahnya.
Jadi, kebanggan dan kepercayaan kaum Muslim terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah modal dasar yang sangat penting bagi kemajuan pendidikan Islam di masa depan.
Jangan sampai kepercayaan (trust) itu disia-siakan. Perlu disadari bahwa prestasi ini tidak dicapai dengan mudah. Sejumlah pengelola lembaga pendidikan Islam bercerita suka-dukanya merintis pendidikan Islam di era 1980 dan 1990-an. Banyak di antara mereka yang datang dari rumah ke rumah untuk meyakinkan para orang tua muslim, bahwa sekolah yang akan mereka dirikan adalah sekolah yang serius dan bermutu tinggi. Tidak jarang mereka menjadikan anak-anak mereka sebagai “singa percobaan”. Dengan cara itu orang lain mau percaya. Uniknya, banyak perintis lembaga-lembaga pendidikan Islam “terpadu” ini adalah para professional muslim; apakah dokter, insinyur, pengusaha, dan sebagainya.
Dalam kaitan inilah, di Jakabaring Palembang itu, saya mengajak para guru untuk “bangga” sebagai guru. Pengelola pendidikan seyogyanya benar-benar menempatkan guru sebagai posisi terhormat, tidak kalah terhormatnya dengan pejabat. Guru – dalam pandangan saya – bukanlah sebuah profesi yang dihargai karena bayaran. Guru dalam Islam adalah mujahid. Menyampaikan ilmu adalah jihad fi-sabilillah. Kata Nabi: “Barang siapa yang keluar rumah untuk mencari ilmu maka dia sedang berjihad di jalan Allah.”
Karena itu, sungguh rugi jika guru tidak serius dalam mengajar dan hanya mau mengajar karena dibayar. Dibayar atau tidak dibayar, orang yang punya ilmu wajib mengajarkan ilmunya. Tapi, sebagai mujahid, guru berhak mendapatkan “honor” (kehormatan) yang layak. Mujahid harus dimulyakan. Patut kita sampaikan: “Anda, para guru derajatnya sangat mulia, tidak kalah mulia dengan anggota DPR!”
Memang, kadangkala masih ada kesalahpahaman. Masih ada guru – termasuk dosen, rektor, dekan, dan sebagainya – merasa lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan para pejabat negara. Lembaga Pendidikan Islam harus benar-benar sangat serius untuk meningkatkan kualitas guru, sehingga mereka dapat menjadi “mujahid” di bidang keilmuan dan pendidikan. Keliru, jika masih ada lembaga pendidikan Islam yang lebih mengutamakan membangun gedung ketimbang meningkatkan kualitas guru.
Tantangan
Pada kesempatan itu saya juga menyampaikan bahwa di tengah-tengah pencapaian penting yang dicapai, ada dua tantangan besar yang sedang dihadapi oleh dunia pendidikan Islam. Pertama, godaan materialisme; godaan penyakit hubbud-dunya, cinta dunia. Kedua, jebakan kurikulum sekuler.
Tentang tantangan pertama, Rasulullah Muhammad sudah bersabda: “Hampir tiba suatu zaman dimana bangsa-bangsa dari seluruh dunia akan datang mengerumuni kamu bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka.” Maka salah seorang sahabat bertanya: “Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada hari itu?” Nabi menjawab: “Bahkan, pada hari itu jumlah kamu banyak sekali, tetapi kamu umpama buih di waktu banjir, dan Allah akan mencabut rasa gentar terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan melemparkan ke dalam hati kamu penyakit al wahnu.” Seorang sahabat bertanya: “Apakah al wahnu itu Ya Rasulallah?” Rasulullah menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Daud)
Hadits Rasulullah Muhammad ini menjelaskan kondisi umat yang sangat lemah, tidak berdaya, tiada arti, meskipun jumlahnya sangat besar. Tanpa perlu melakukan riset yang rumit, dengan mudah dapat dilihat, bahwa kondisi umat Islam saat ini sangat mirip dengan apa yang digambarkan Rasulullah Muhammad tersebut.
Di berbagai belahan dunia, umat menghadapi ujian dan cobaan yang berat. Di Palestina, Moro, Xin Jiang, India, Kashmir, Moro, Patani, dan di berbagai belahan dunia, umat Islam menghadapi penindasan dalam berbagai bidang kehidupan. Umat Islam, yang jumlahnya sekarang sekitar 1,4 milyar jiwa, bernasib seperti buih, kehilangan kepercayaan diri, diombang-ambingkan situasi dan kondisi.
Dalam sejarah kita bisa menyaksikan, bagaimana kehancuran kekuatan Muslim di Andalusia, Baghdad, juga Palestina, akibat meruyaknya budaya hubbud-dunya. Imam al-Ghazali, dalam Kitabnya, Ihya’ Ulumuddin, sudah menggariskan sebuah teori: “Rakyat rusak gara-gara rusaknya penguasa; penguasa rusak gara-gara ulama rusak; dan ulama rusak karena terjangkit penyakit gila jabatan dan gila harta (hubbul jaah wal maal).”
Peringatan Rasulullah ini dapat kita refleksikan dalam skala kecil pada lembaga-lembaga Islam. Jika penyakit “gila dunia” sudah merejalela di sekolah-sekolah Islam, maka sekolah Islam itu tinggal menunggu waktu kehancurannya. Mungkin bangunan sekolah itu tampak megah, bayarannya mahal, tetapi ruh pendidikan Islamnya sejatinya sudah hilang. Sekolah Islam itu tidak lagi menjadi tempat ideal untuk menanamkan aqidah dan akhlak yang mulia, sebab yang mereka saksikan, sekolahnya sendiri tidak memberikan teladan. Apalagi, jika para orang tua dan siswa mendapati praktik-praktik korup dan keserakahan di sekolahnya.
Di tengah meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam, godaan materi ini bisa jadi begitu menggiurkan. Sekolah Islam menjadi lahan bisnis yang menjanjikan keuntungan besar, sejalan dengan meningkatnya kesadaran ber-Islam di kalangan elite-elite muslim. Jika niat mendirikan sekolah Islam bukan lagi karena semangat jihad dalam bidang keilmuan, tetapi dimotivasi untuk mengeruk keuntungan duniawi semata, maka niat yang salah itu akan merusak seluruh aspek pendidikan Islam.
Perlu dicatat dengan baik, JSIT sudah menetapkan bahwa Karakteristik JSIT Indonesia diantaranya adalah: (1) Menjadikan Islam sebagai landasan filosofis dan operasional sekolah, (2) Mengintegrasikan ilmu dan nilai kauniyah dan qauliyah dalam bangunan kurikulum, (3) Menerapkan dan mengembangkan metode pembelajaran efektif untuk mencapai optimalisasi proses belajar mengajar, (4) Mengedepankan qudwah hasanah dalam membentuk karakter peserta didik, (5) Menumbuhkan bi’ah sholihah dalam iklim dan lingkungan sekolah
Mudah-mudahan karakteristik ideal sekolah Islam seperti itu bisa benar-benar terwujud. Karakteristik ideal itu akan berantakan jika penyakit al-wahnu sudah membudaya dalam kehidupan para guru dan pengalola sekolah.
Tantangan kedua yang sangat penting untuk kita pahami benar-benar adalah “jebakan kurikulum sekuler”. Saat ini, masih banyak lembaga pendidikan Islam yang belum benar-benar menata kurikulumnya berdasarkan konsep keilmuan Islam. Mereka masih menggunakan kurikulum-kurikulum yang bercampur aduk antara yang benar dan yang salah. Kurikulum sains, misalnya, belum diarahkan untuk mencetak manusia-manusia yang beriman dan bertaqwa, tetapi hanya diarahkan semata-mata untuk memberikan kemampuan siswa menjawab soal-soal ujian. Tentu saja itu tidak keliru, tetapi masih sangat belum memadai jika dilihat dalam perspektif keilmuan dalam Islam.
Masih banyak siswa-siswa sekolah Islam yang belum mengenal ilmuwan-ilmuwan Muslim sejati, yang bukan hanya pakar di bidang sains, tetapi mereka juga ulama-ulama yang sangat hebat, seperti Abu rayhan al-Biruni, Fakhruddin al-Razi, Ibn Khaldun, Imam al-Ghazali, dan sebagainya. Mereka tidak mengenal sejarah sains. Bahwa, peradaban Barat mewarisi sains bukan langsung dari khazanah peradaban Yunani. Tetapi, mereka banyak mewarisi sains dari para ilmuwan muslim.
Karena itu, dalam bukunya yang berjudul “What Islam Did For Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization” (London: Watkins Publishing, 2006), Tim Wallace-Murphy meletakkan satu sub-bab khusus berjudul “The West Debt to Islam” (Hutang Barat terhadap Islam). Menurut penulis buku ini, hutang Barat terhadap Islam adalah hal yang tak ternilai harganya. “Even the brief study of history revealed in these pages demonstrates that European culture owes an immense and immeasurable debt to the world of Islam,” tulisnya. Juga ia tegaskan: “Kita di Barat menanggung hutang kepada dunia Islam yang tidak akan pernah lunas terbayarkan.” (We in the West owe a debt to the Muslim world that can be never fully repaid).
Fakta sejarah seperti ini sangat perlu dipahami oleh siswa-siswa sekolah Islam, agar mereka tidak memandang kemajuan Barat secara membabi-buta. Mereka perlu dibekali dengan sikap kritis dan apresiatif terhadap peradaban lain. Tidak menolak dan menerima secara membabi-buta apa pun yang datang dari peradaban lain. Apalagi, dalam kaitan pandangan hidup dan nilai-nilai kebenaran. Juga, agar tidak tertanam rasa ”minder”, rendah diri, dalam berhadapan dengan dunia modern yang menghegemoni seluruh aspek kehidupan manusia dewasa ini.
Contoh jebakan kurikulum sekuler lainnya. Misalnya, dalam kurikulum sejarah masih banyak yang mengajarkan sejarah manusia secara sekuler dan meterialis, semata-mata hanya merujuk kepada fosil-fosil manusia. Cara belajar sejarah semacam ini jauh dari konsep ilmu dalam Islam yang menggunakan pendekatan epistemologis Islami, yang memadukan tiga sumber ilmu: panca indera, akal, dan khabar shadiq; bukan mengandalkan panca indera dan akal semata.
Tahun 1988, pakar filsafat Islam, Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas memberikan perhatian khusus terhadap kitab akidah Islam tertua yang beredar di wilayah Melayu, yaitu kitab Aqa’id al-Nasafiah. Tahun 1988, Prof. al-Attas menerbitkan salah satu karya monumentalnya: The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the ‘Aqaid of al-Nasafi (Kuala Lumpur: University Malaya, 1988).
Kitab Aqidah al-Nasafi ini unik. Baris-baris awal diawali dengan bimbingan cara berpikir dan cara meraih ilmu dalam Islam. Imam al-Nasafi menulis kalimat awal pada kitabnya: “haqa’iq al-asyya’ tsaaibitatun, wal- ilmu biha mutahaqqiqun, khilafan li-sifastha’iyyah.” (Hakekat segala sesuatu adalah tetap; dan memahaminya adalah kenyataan; berbeda dengan pandangan kaum sofis). Kaum sofir adalah kaum yang tidak percaya bahwa manusia bisa meraih ilmu. Mereka selalu ragu dengan pengatahuan yang diraihnya.
Lalu, Imam al-Nasafi melanjutkan uraiannya dengan mengunkapkan tiga sebab manusia meraih ilmu, yaitu melalui panca indera, akal, dan khabar shadiq (true report). Konsep epistemology al-Nasafi ini sangatlah penting untuk dipahami para pengkaji ilmu, khususnya para akademisi, dan juga setiap muslim. Kekeliruan dalam memahami konsep ilmu dapat menjauhkan manusia dari kebahagiaan sebab tidak pernah mengenal Tuhan Sang Pencipta.
Faktanya, di berbagai sekolah Islam, kini masih diajarkan buku-buku pelajaran yang sekular yang hanya mengandalkan ilmu empiris dan rasional. Bahkan, banyak yang terjebak oleh cara berpikir, bahwa agama adalah bukan ilmu; al-Quran bukan sebagai sumber ilmu, sehingga pelajaran sains, sejarah, sosiologi, filsafat, dan sebagainya, dijauhkan dari sumber-sumber al-Quran. Cara berpikir dikotomis dan sekuler semacam ini adalah keliru dan seyogyanya tidak mendapatkan tempat di lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Apapun kondisinya, kita patut mensyukuri segala macam anugerah Allah dalam bidang pendidikan Islam. Kita tidak boleh sombong. Apalagi merasa bahwa keberhasilan saat ini adalah semata-mata hasil kerja keras manusia, dan bukan anugerah Allah AL-QAIDAH. Pada saat yang sama, kita wajib mengevaluasi segala macam kelebihan dan kelemahan yang ada, sehingga lembaga-lembaga pendidikan Islam akan semakin baik kedepan dan mampu menjalankan fungsinya sebagaimana sepatutnya.
Kita camkan bersama perintah Allah Subhanahu Wata'ala: “Wahai orang-orang beriman, bersabarlah, perkuatlah kesabaranmu, bersiapsiagalah selalu, dan bertakwalah kepada Allah, semoga kamu akan menang.” (QS Ali Imran:200).*
Catatan Akhir Pekan (CAP) adalah hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar