Translate

Jumat, 19 April 2013

“Mengkristenkan Jawa”

Oleh: Dr. Adian Husaini

”Mengkristenkan Jawa: Dukungan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Penetrasi Misi Kristen”. Itulah judul buku karya Muhammad Isa Anshary, alumnus Program Magister Pemikiran Islam—Universitas Muhammadiyah Surakarta. Buku terbitan Pustaka Lir-Ilir, Surakarta, tahun 2013, ini diangkat dari Tesis penulis di Universitas yang sama. Karena kajiannya yang mendalam dan komprehensif, buku ini bisa dijadikan sebagai salah satu rujukan penting dalam studi Misi Kristen di Indonesia, khususnya di Tanah Jawa.

Studi yang dilakukan Muhammad Isa Anshory melengkapi studi sejenis yang pernah dilakukan oleh Aqib Suminto, Deliar Noer, Alwi Shihab, dan sebagainya. Studi ini juga menguatkan kesimpulan para peneliti sebelumnya, bahwa pemerintah penjajah Belanda secara sistematis membantu kegiatan misi Kristen di Indonesia. Disimpulkan: ”Melihat praktiknya, politik etis sebenarnya adalah upaya pemerintah Hindia Belanda untuk

mengkristenkan atau membaratkan rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim.”

Catatan Akhir Pekan (CAP) kali ini sepenuhnya didasarkan pada data yang disajikan dalam buku ”Mengkristenkan Jawa” tersebut. Untuk bahan-bahan referensi lebih lanjut, pembaca dipersilakan merujuk langsung pada buku tersebut.

Hasil kajian Isa Anshory ini menunjukkan, bahwa laju penyebaran agama Kristen di Hindia Belanda (Indonesia) sangat terkait erat dengan perkembangan politik kolonial. Awal abad ke-20 ditandai dengan peningkatan kegiatan misi Kristen. Pidato Ratu Wihelmina (1901) lebih menegaskan sikap terhadap kebijakan mendukung kegiatan misi Kristen yang telah berjalan.

Politik etis dilaksanakan pada masa kejayaan kolonialisme Belanda di Indonesia dan saat umat Islam mengalami kebangkitan. Arus Kristenisasi mencapai puncaknya saat Abraham Kuyper, pemimpin Partai Kristen Anti-Revolusioner, menduduki kursi Perdana Menteri Belanda pada 1901. Banyak anggota Parlemen Belanda menuntut agar pemerintah membatasi pengaruh Islam di Indonesia. Van Baylant, misalnya, memperingatkan pemerintah akan seriusnya bahaya penyebaran Islam dan menuntut ditingkatkannya misi Kristen. Sementara itu, W.H. Bogat meluncurkan kampanye anti-Islam yang keras dan menuduh agama ini sebagai penyebab ”kurang bermoralnya” masyarakat.”

Diangkatnya Alexander Willem Frederik Idenburg sebagai Menteri Urusan Penjajahan (1902—1909) dan selanjutnya sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda (1909—1916) lebih menguatkian arus Kristenisasi. Setelah tahun 1909, kelompok misi Kristen dengan cepat meluaskan kegiatan mereka di kepulauan Indonesia. Gerakan misi Kristen beroperasi dalam ruang lingkup yang luas untuk pembangunan kesejahteraan dan ekonomi. Pembatasan jumlah dan tempat misi dihapuskan, sehingga daerah baru di kepulauan ini pun terbuka bagi kegiatan misi Kristen. Idenburg menjadikan Kristenisasi sebagai tugas politik utama pemerintahannya. Di hadapan Tweede Kamer, dia mengucapkan: De uitbreiding van het Christendom in Indië, als wortel van onze hoogere beschaving, is een zaak van groot politiek belang. (Penyebaran agama Kristen di Hindia Belanda sebagai dasar peradaban yang tinggi adalah tugas politik utama).

Pemerintah Penjajah juga mencoba untuk melanjutkan pokok-pokok ajaran Kristen di dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dan tata pemerintahan Hindia Belanda. Sebagai contoh adalah keluarnya ”Edaran Minggu” atau ”Edaran Pasar” yang diterbitkan oleh Gubernur Jenderal Idenburg, 1910. ”Edaran Minggu” memberi sugesti bahwa tidak pantas untuk mengadakan pesta kenegaraan pada hari Minggu. Edaran ini juga meminta agar seluruh administratur dan pegawai sipil agar menghindari kegiatan-kegiatan resmi atau setengah resmi pada hari Minggu. ”Edaran Pasar” melarang diadakannya hari pasar orang Indonesia apabila ini jatuh pada hari Minggu.

Fakta tentang ”Edaran Minggu” ini menarik untuk kita cermati. Jangan-jangan tradisi libur pada hari Minggu kita saat ini masih melanjutkan kebijakan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Idenburg yang sangat fanatik Kristen dan anti-Islam. Idenburg, misalnya, menyatakan, bahwa satu-satunya jalan untuk melanjutkan penjajahan adalah pengkristenan.

Seperti dikutip Robert E. Speer, Idenburg menegaskan: ”The issue for Mohammedan world is not Mohammed and Christ. Ia not Mohammed or Christ. It is Christ. It is Christ or decay and death.” (Pilihan untuk dunia Islam bukan Muhammad dan Kristus; bukan Muhammad atau Kristus; tetapi pilihannya hanya Kristus. Pilih Kristus atau akan mengalami pembusukan dan kematian).

Misi dengan lembaga

Selain mendapat bantuan dari negara, peningkatan Kristenisasi pada masa politik etis juga diakibatkan adanya perubahan strategi. Abad ke-19, strategi zending Protestan maupun misi Katolik pada umumnya masih diarahkan pada misi secara langsung. Tapi, pada abad ke-20, strategi misi sudah berganti dengan pendirian kelembagaan misi, seperti sekolah, rumah sakit, rumah yatim piatu,  dan beberapa kegiatan sosial lainnya. Melalui kegiatan di bidang pendidikan dan kesehatan itu, zending sanggup memikat hati orang yang masih bersikap menolak terhadap Kristenisasi secara langsung.

Strategi ini disebut pre-evangelisation, yaitu suatu usaha yang perlu diadakan untuk mempersiapkan daerah supaya siap menerima Kristen. Di sekolah-sekolah zending, kesetiaan kepada pemerintah dan ratu Belanda ditanamkan ke dalam hati para murid. Meski membutuhkan biaya besar dan waktu lama, Kristenisasi lewat pendidikan ini berhasil mengkonversi banyak pribumi Muslim.

Sebagai contoh, sekolah yang didirikan oleh Frans van Lith di Muntilan, Jawa Tengah. Di desa kecil Semampir dia mendirikan sebuah sekolah desa dan sebuah bangunan gereja. Saat itulah dia memulai kompleks persekolahan Katolik di Muntilan, mulai dari Normaalschool pada 1900, sekolah guru berbahasa Belanda atau Kweekschool pada 1904, kemudian pendidikan guru-guru kepala pada 1906. Anak-anak lelaki yang masuk sekolah ini semuanya Muslim. Akan tetapi, mereka semua tamat sebagai orang Katolik. Beberapa dari kelompok siswa pertama bahkan melanjutkan studi mereka untuk menjadi pastor.

Teman van Lith, Hoevenaars, juga menempuh cara serupa. Dia membangun berbagai sekolah di Mendut dan mengumpulkan para murid yang masih belia. Semua guru sekolah tersebut beragama Katolik, namun para muridnya seluruhnya berasal dari keluarga-keluarga Muslim. Sebagaimana misionaris lainnya, Hoevenaars berpikir bahwa agama Islam yang mereka anut hanyalah kepatuhan superfisial atau nominal sehingga tidak akan menghalangi para murid untuk berpindah ke agama Katolik. Mantan murid sekolah-sekolah Muntilan dan Mendut itu kebanyakan menjadi guru pada jejaring sekolah-sekolah dasar Katolik yang dikembangkan dengan cepat di berbagai kota dan kampung di Jawa. Para guru itu kemudian berupaya menghasilkan jemaat-jemaat Katolik baru. Dengan demikian, sekolah yang dibangun oleh Frans van Lith maupun Hoevenaars adalah sekolah kader.   

Sebuah ungkapan penting dari Frans van Lith:

“Tujuan kita adalah memberi pendidikan yang tinggi kepada pemuda-pemuda Jawa sehingga mereka mendapat kedudukan yang baik dalam masyarakat. Kepada mereka kita memberikan pendidikan Kristiani, dan bila mereka nanti tersebar di seluruh Pulau Jawa, kita akan menanti tumbuh dan mekarnya benih-benih yang kita sebar.”

Strategi budaya

Strategi lain dalam menyebarkan agama Kristen di Jawa pada dekade pertama abad ke-20 adalah penyesuaian ajaran Kristen dengan budaya Jawa. Strateginya: memisahkan agama Islam dari budaya Jawa, setidak-tidaknya dalam teori dan juga dalam praktek sejauh hal itu dimungkinkan. Semua konfrontasi langsung dengan agama Islam mesti dihindari.

Untuk itulah di sekolah Muntilan, penggunaan bahasa Melayu dihindari sejauh mungkin. Sebab, bahasa Melayu dianggap identik dengan bahasa kaum Muslim. Penggunaan bahasa Melayu dikhawatirkan akan menyiratkan dukungan terhadap agama Islam. J.D. Wolterbeek mengatakan, “Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya.”  Senada dengan ini,  Pastor Yesuit Frans van Lith berpendapat,

Dua bahasa di sekolah-sekolah dasar (yaitu bahasa Jawa dan Belanda) adalah batasannya. Bahasa ketiga hanya mungkin bila kedua bahasa yang lain dianggap tidak memadai. Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara.

Dengan bantuan pemerintah kolonial dan strategi pre-evangelisation, kegiatan misi Kristen di Jawa meningkat tajam pada masa politik etis. Walaupun orang Kristen tetap terbilang sebagai minoritas kecil, namun jumlah pribumi Muslim Jawa, terutama di Jawa Tengah, yang murtad ke agama Kristen cukup besar. Mengutip kesimpulan seorang anggota muda Yesuit, Karel Steenbrink mengatakan: ”Barangkali tidak ada wilayah misi lain di seantero dunia dimana pastor pribumi dikembangkan sedemikian cepat dan berhasil seperti di Jawa Tengah.”

Total populasi penduduk Pulau Jawa pada 1906 adalah 28.746.688 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 24.270.600 adalah Muslim. Lapangan yang sangat luas dan sulit ini digarap oleh enam lembaga misionaris. C. Albers, Jr. dan J. Verhoeven, Sr. melaporkan pada tahun tersebut bahwa pengaruh Islam menjadi rintangan berat bagi para misionaris. Akan tetapi, berkat bantuan medis dan penyelenggaraan sekolah, mereka berhasil mengkonversi pribumi Muslim ke agama Kristen.
Dengan sokongan pemerintah jajahan, pada era 1930-an, banyak terjadi kasus pelecehan Islam oleh kaum Kristen. Di Pesako Sulawesi Utara, pasukan Bala Keselamatan masuk ke dalam masjid dengan memakai sepatu dan menyanyikan lagu-lagu Kristen dalam masjid dengan alat-alat musik yang mereka bawa. Di Solo, buku-buku Kristen ditulis dalam bahasa Arab, dibagikan secara gratis kepada umat Islam yang sedang melaksanakan shalat Jumat di Masjid Mangkunegaran. Di Tasikmalaya, seekor anjing dibawa masuk ke mushalla. Di Menado, opsir Bala Keselamatan, Ernst Brandt, pada 13 April 1938 dengan terang-terangan menghina Nabi Muhammad SAW, dengan mengatakan: “Muhammad seorang miskin dan penggembala. Ia menikah dengan Khadijah janda kaya dan menghabiskan hartanya. Muhammad mempunyai 14 istri, perampas istri orang, dan menuruti hawa nafsunya. Mana bisa kesucian dari orang begitu. Siapa saja yang tidak mau mengikuti agamanya, ditusuknya dengan pedang terhunus.”

Respon Muslim

Menghadapi serbuan misi Kristen yang dahsyat seperti itu, kaum Muslim tentu saja tidak berdiam diri. Sebuah respon penting dalam menghadapi misi Kristen dilakukan oleh Muhammadiyah, yang berdiri tahun 1912 –di masa Gubernur Jenderal Idenburg. Tahun 1933, Muhammadiyah bersama 30 organisasi Islam, mengadakan rapat akbar di Solo,  menentang pemberian izin masuknya dua orang misionaris Kristen Advent dari pemerintah Jajahan di Vorstenlanden (Yogyakarta dan Surakarta).

Tahun 1939, Sidang Tanwir Muhammadiyah di Kudus, juga menolak dicabutnya artikel 177 Indische Staatsregeling  yang isinya adalah kewajiban misionaris untuk mendapat izin dari pemerintah Jajahan. Secara individual, mubaligh Muhammadiyah asal Surakarta, R. Moehammad Sardjana, pernah menerbitkan buku “Agama Kristen” sebagai jawaban terhadap dua jilid buku tokoh Gereja, Henderick Kraemer, yang berjudul “Agama Islam”. Secara kelembagaan, Muhammadiyah masih terus menjadi salah satu garda penting umat Islam dalam membendung arus Kristenisasi, sampai hengkangnya penjajah Kristen dari bumi Indonesia.
Pendiri organisasi ini, KH Ahmad Dahlan, dikenal sangat serius dalam mengajak umat Islam untuk membandung arus Kristenisasi. Sebuah ucapannya yang terkenal: “Islam tak mungkin lenyap dari seluruh dunia, tetapi tidak mustahil Islam hapus dari bumi Indonesia. Siapakah yang bertanggungjawab?”Walhasil, dalam rangka memahami sejarah, strategi, dan taktik Kristenisasi di Indonesia, buku Muhammad Isa Anshory ini sangat baik untuk dibaca. Wallahu a’lam.*/Depok, 28 Maret 2013

Penulis Ketua Program Doktor Pendidikan Islam – Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar